Minggu, 08 Februari 2015

APA MAU MANDITO?



Pertanyaan itu berkali-kali saya terima dari beberapa teman dekat.  Seingat saya, pertama saya terima via telepon beberapa bulan lalu, ketika saat itu Unesa sedang proses pemilihan pembantu rektor.  Bulan Januari lalu, ketika proses pemilihan dekan mulai menggelinding kembali saya dihujani pertanyaan senada.  Intinya, mengapa saya tidak ikut memberi masukan dalam proses pemilihan pembantu rektor dan dekan.  Termasuk dekan di fakultas tempat saya bertugas. 

Apa saya ingin mandito dan menjauhkan diri dari umyek masyarakat kampus?  Saya menanggapi dengan kelakar, mandito dimana?  Kan saya tidak punya pertapaan dan juga tidak biasa bertapa. Juga tidak punya cantrik, apalagi satrio yang ditengah malam menghadap minta diwejang seperti dalam wayang kulit. Saya juga masih mengajar dan mencari sesuap nasi untuk kami berdua, saya sendiri dengan istri.

Sebenarnya memang dengan sengaja saya menghindari dari keterlibatan dalam proses pemilihan pembantu rektor maupun dekan.  Kalau toh diminta memberikan pendapat, sekali lagi kalau diminta, maksimal saya hanya akan memberikan kriteria.  Biarlah adik-adik dan teman-teman yang muda yang memikirkan siapa yang cocok untuk mengemban tugas itu ke depan.  Untungnya tidak pernah ada yang minta pendapat, jadi saya lebih bahagia.

Zaman akan terus berubah dan sesuai hukum alam, orang tua semacam saya akan tidak lagi cocok dengan perubahan yang cepat itu.  Kata teori psikologi, orang itu seperti karet, punya elastisitas.  Makin bertambah usia, elastisitas akan menurun sehingga tidak lagi baik dan cepat mengikuti perubahan zaman.  Contoh yang paling mudah adalah tentang ICT.  Orang setua saya ini akan selalu “jadul”, karena merupakan emigran dan bukan native seperti anak-anak muda.  Maksud saya, tantangan ke depan akan berbeda dari masa lalu, berbeda dengan pengalaman yang dialami orang-orang tua seperti saya ini.  Jadi tentu orang yang muda yang lebih tahu.  Oleh karena itu, paling banter orang tua seperti saya ini hanya dapat memberi contoh pengalaman, syukur kalau masih ada yang relevan.  Biarlah yang muda yang mencerna, memilah dan memilih, dan akhirnya memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan.

Alasan kedua, saya tidak ingin membayangi apalagi mempengaruhi pimpinan generasi penerus. Mereka dipilih tentu karena diyakini punya kemamuan dan kematangan serta mengetahui akan dibawa kemana biduk Unesa ini.  Mereka juga pasti punya cita-cita yang ingin dicapai oleh organisasi yang bernama Unesa.  Mungkin saja cita-cita itu tidak saya ketahui dan saya fahami, karena menggunakan paradigma baru yang mungkin lebih maju dari yang saya miliki.

Metaphora orang yang baru mantu mungkin baik difahami. Biasanya mertua baru ingin sekali ikut mengatur rumah tangga anak dan menantunya.  “Begini lho caranya.  Sini saya tunjukkan caranya”.   Sementara sangat penganten baru menggerutu: “Orang tua sok tahu dan ingin ngatur melulu.  Itu kan model jadul yang nggak zamannya lagi”.   Pemimpin yang lengser seringkali juga terjangkiti “penyakit mertua baru” itu. Inginnya mengajari penggantinya.   Pada hal pemimpin yang baru juga ingin punya cara sendiri yang mungkin berbeda dengan yang digantikan.   Saya berusaha menghindari “sindrom mertua baru itu”.

Ketika itu saya sampaikan, ada teman yang bertanya apakah dengan begitu tidak terjadi ketidaksinambungan program.   Apa tidak kawatir apa yang selama 4 tahun dikembangkan terus terhenti.  Saya yakin tidak.  Pemimpin baru punya hak mengkaji program yang sebelumnya berjalan daa memutuskan mana yang diteruskan, mana yang diubah dan bahkan mana yang dihentikan karena sudah tidak cocok dengan eranya.  Pemimpin lama, apalagi yang sudah tua tidak boleh marah apalagi protes.

Itu berarti Pak Muchlas tidak punya rasa memiliki Unesa, sehigga setelah lengser terus pasif. Bukankah seharusnya sebagai senior Pak Muchlas ikut menata Unesa.  Begitu bebera komentar keras yang saya terima.  Unesa itu milik publik dan sebagai bagian dari publik, apalagi masih sebagai dosen, tentu saya merasa ikut memiliki.  Namun, saya tidak boleh merasa paling punya hak untuk mengatur.  Saya harus menyadari hak saya sama dengan dosen/karyawan lain.  Oleh karena itu, keinginan untuk menata-mengatur harus direm.  Jangan sampai generasi muda ngrasai “orang tua tidak tahu diri, suka ngatur pada hal eranya sudah berubah”.

Lantas apa yang dapat saya lakukan untuk Unesa?  Ya mengajar, meneliti, menulis dan sekali waktu ikut PKM.  Rasanya bagi orang setua saya ini yang paling cocok yang ikut membina dosen muda dalam kaitannya keilmuan.  Melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah bersama dosen muda, akan merupakan lahan tepat. Semoga.

1 komentar:

ulilmultazam mengatakan...

kebijakan yang melahirkan kebajikan.