Senin, 02 Februari 2015

KYAI ACEP DENGAN DAYA JUANGNYA YANG HEBAT



Saya mengenal Kyai Acep Saifudin, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah sekitar tahun 2011.   Saya lupa bagaimana awalnya, seingat saya diperkenalkan oleh Pak Nurhasan yang saat itu menjadi Pembantu Rektor IV Unesa.  Sejak saat itu kami saling berkomunikasi dalam berbagai hal.  Sebagai pimpinan PP Amanatul Ummah yang memiliki SMP/MTs dan SMA/MA, beliau mengirim beberapa lulusannya masuk ke Unesa.  Saya juga pernah silaturahim ke pondoknya di Pacet.

Tanggal 1 Februari 2015 beliau menjadi tuan rumah acara Temu Alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya (sekarang menjadi Unesa).  Beliau memang alumni jurusan itu Angkatan 1978.  Acara dilaksanakan di rumah makan milik beliau di Pandaan (Rumah Makan Parahyangan).

Hadir di acara tersebut, para dosen yang sebagian besar sudah pensiun, antara lain Prof Budi Darma, Prof Soekemi dengan ibu, Pak Mas Mulyono dengan ibu, Pak Djoko Soeloeh Marhaen dengan ibu, Pak Bahudin dengan ibu, Pak Kuncahyo dengan ibu, Ibu Thea Kusuma, Ibu Sukriyah, Ibu Kumalarini, Ibu Kutsi, Ibu Kurnia, Ibu Titut, Ibu Harijoso.  Alumni yang datang dan saya kenal antara lain: Mbak Yuni (angkatan 1976 dan mantan bendahara Dewan Mahasiswa), Mbak Yani (biasa disebut Yani Komering karena rumahnya jl Komering), Mbak Ratna (angkatan 1977 isteri Mas Yulius dosen UB), Mas Jalu (angkatan 1977), Mbak Ema (angkatan 1978, adiknya ustad Taufiq AB), Mbak Anda (angkatan 1978, adiknya Mas Surya), Mbak Wulan (angkatan 1978, guru SMA anak bontot saya), Mbak Sirikit Syah (angkatan 1979, aktivis Media).  Yang lain banyak, namun saya tidak tahu namanya. Saya sendiri hadir, sebagai sopir kerena isteri saya alumni angkatan 1977.

Di samping itu hadir Mas Djoko Pitono, seingat saya alumni jurusan bahasa Indonesia dan bertindak sebagai pembawa acara.  Nah saat acara itu Kyai Acep diminta Mas Djoko bercerita bagaimana perjalanan hidupnya sampai sekarang sukses mengembangkan PP Amanatul Ummah dengan santri lebih 6.000 orang.

Ternyata beliau kelahiran Cirebon, jadi pantas kalau namanya pakai “Acep”, khas nama orang Sunda.  Ketika SMA kelas 2 (jurusan PAS-PaL, sekarang disebut IPA), ayah beliau wafat dan terpaksa beliau berhenti sekolah dan mondok di pesantren.

Karena punya keinginan kuat untuk kuliah, maka beliau meminta surat keterangan dari pondol pesantren tempat ngaji itu dan digunakan untuk mendafar di Jurusan Sasta Arab IAIN Sunan Ampel Surabaya.  Sambil kuliah, beliau mengajar di beberapa sekolah swasta (kecil) untuk matapelajaran Ilmu Ukur, Aljabar (keduanya sekarang disebut Matematika), bahasa Arab dan bahasa Inggris.  Pokoknya matapelajaran apa saja diterima demi mendapatkan biaya hidup.  Bahkan beliau sering tidur du mushola, karena tidak punya tempat tinggal.

Suatu saat sekolah tempat beliau mengajar harus melakukan akreditasi dan beliau diminta menyerahkan ijasah SMA PASPAL sebagai dasar mengajar Ilmu Ukur dan Aljabar.  Beliau bingung karena memang tidak punya. Yang dipunyai “hanya surat keterangan dari Pondok”.  Akhirnya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan beliau mengundurkan diri dari tempat mengajar.

Karena sudah senang mengajar, beliau memutuskan harus kuliah di IKIP agar punya kewenangan sebagai guru.  Diputuskan untuk mendaftar program D3 Pendidikan Bahasa Inggris.  Karena tidak punya ijasah beliau harus menghadap PR1 waktu itu yang kebetulan juga dari Jawa Barat (Prof Tresa Sastrawijaya), sehingga mudah memahami masalah beliau.

Setelah diterima dan kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, beliau dapat mengajar lagi tetapi hanya untuk matapelajaran bahasa Inggris.  Da setelah lulus diterima mengajar di SMA Negeri di Lamongan.  Namun karena nyambi mengajar di beberapa sekolah di Surabaya, belia tetap tinggal di Siwalankerto Surabaya dengan cara pulang balik Surabaya-Lamongan.

Di Siwalankerto beliau dipercaya menjadi kepala sekolah swasta (berstatus wajaf) dan berhasil mengembangkannya menjadi besar serta mampu membangun beberapa gedung bertingkat.  Ketika sekolah sudah maju, tampaknya anak-anak pemiliki yayasan ingin mengambil alih. Sangat menarik, beliau menyerahkan semuanya.  Tawaran beberapa teman untuk menjadi pengacara ditolak dengan keyakinan, dengan menyerahkan nanti Sang Khaliq akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Setelah sekolah diserahkan yang waktu tahun 1980an itu bernilai sekitar 3 milyar, beliau mulai merintis sekolah baru dengan nama Amanatul Ummah.  Rintisan dari nol itulah yang sekarang berkembang menjadi PP Amanatul Ummah dengan SMP/MTs dan SMA/MA di Siwalankerto dan Pacet dengan santri lebih dari 6.000 orang. Bangunan sekolahnya cukup modern dan lulusannya banyak yang diterima di universitas negeri ternama.

Ketika Ibu Djoko Soeloeh Marhaen bertanya apa kiatnya mengembangkan sekolah sehingga sukses dan darimana dana pembangunan diperoleh, jawaban Kyai Acep sangat menarik.  PP Amanatul Ummah tidak pernah minta bantuan kepada pemerintah maupun perseorangan. Semua dikembangkan secara mandiri, denga kegigihan, kerja keras dan manajemen yang baik.  Memang  disamping menjadi pemangku pondok beliau punya bimbingan jamaah haji dan umrah.  Juga punya rumah makan dan usaha lainnya.

Yang sangat menarik, semua guru harus menyekolahkan anak-anaknya di Amanatul Ummah sebaga bukti bahwa Sekolah Amanatul Ummah memang baik.  Dan dengan cara itu, para guru akan mengajar dengan baik, kaena di dalam sekolah itu ada anak kandungnya.

Sampai sekarang saya juga masih bertanya-tanya dari mana dana untuk membangun gedung yang begitu megah.  Rasanya tidak hanya dari pemasukan sekolah maupun biro bimbingan haji/umrah.  Namun Kyai Acep tampaknya tidak berkenan menceritakan.  Yang pasti, menurut saya beliau punya cita-cita tinggi, agar Amanatul Ummah melahirkan calon pemimpin bangsa, beliau pekerja keras, sangat berani mengambil risiko dan punya relasi sangat luas.  Semoga menginspirasi banyak orang lain.

4 komentar:

Sutomo mengatakan...

Bagus sekali ceritanya, semoga menginspirasi yang membacanya.Sutomo Alumni IKIP Surabaya Teknik Mesin Ankatan 1987. Pak Muklas Terima kasih atas ilmu yangdiberikan kepada saya.

Unknown mengatakan...

ikutan numpang baca artikel ini
http://pucangsewuku.blogspot.co.id/2015/08/hakikat-kepribadian-santri-menurut.html

Unknown mengatakan...

kh.asep saefudin chalim kelahiran leuwimunding majalengka sob..bukan cirebon.karna beliau banyak sedekah,waktu pulang kampung z suka bagi"sedekah sm orang"&beliau g sombong sm teman kecil nya di kampung&satu hal lg beliau klo jumatan suka bagi bagi sarung,yg ngebagiin bukan beliau v santrinya itu rutin sampe sekarang,itulah keajaiban sedekah bagi kh.asep saefudin chalim

Benny mengatakan...

Senang dengar nama Ibuku disebut: Thea Kusumo. Aku sangat kehilangan beliau.