Rabu, 11 Februari 2015

ANAK SEKARANG ANAKNYA TV



Rabu tanggal 11 Februari 2015 saya dengan Bu Lutfi punya janji bertemu dengan beberapa teman dari Bina Anak Sholeh Tuban.  Pertemuannya di kantornya Bu Lutfi di gedung PPG Kampus Lidah.  Maklum saya tidak punya kantor, sehingga meminjam kantor Bu Lutfi untuk menerima tamu dari Tuban dan kebetulan  Lutfi juga ikut terlibat.

Saat sampai di PPG, Prof Taat (dosen FK Unair) menilpun menyampaikan kerisauannya tentang perilaku orang sekarang yang mencari benarnya sendiri dan sebagainya.  Saya bisa memahami karena beliau seorang psikiater yang sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Ujung-ujungnya mengajak ketemu untuk diskusi apa yang dapat dilakukan.

Saya bukan sosilog dan bukan ahli politik, apalagi saya juga bukan dukun yang bisa menerawang kejadian masa lampau.  Sebagai guru tahunya hanya pendidikan sehingga melihat gejala itu dari sudut pandang pendidikan.  Saya sampaikan bahwa kalau sangat mungkin itu hasil pendidikan kita 20-30 tahun lalu. 

Sebenarnya sedang terjadi masa transisi di pola kehidupan kekeluargaan kita.  Dahulu, banyak ibu yang tidak bekerja di luar rumah.  Kalau toh bekerja, waktunya tidak terlalu ketat sehingga punya waktu cukup untuk membimbing anak-anaknya ketika masih kecil. 

Ini bukan masalah gender, tetapi secara psikologis hubungan anak yang masih kecil itu akan selalu lebih dekat dengan ibu dibanding dengan orang lain, termasuk bapaknya.  Itulah sebabnya sering dikatakan ibu itu pendidik pertama dan pendidik utama bagi anaknya.  Jadi di waktu lalu banyak ibu yang dapat melaksanakan fungsi itu dengan maksimal.

Sekarang sebagian besar ibu bekerja di luar rumah dan berangkat pagi-pagi, pulang sudah sore.  Beberapa teman saya yang menjadi guru, sekarang juga berangkat pagi-pagi dan pulang sudah sore.  Biasanya anak diasuh oleh pembantu atau siapa yang ada di rumah.  Biasanya distelkan TV agar tidak rewel. Jadi yang dilihat sehari-hari ya tingkah laku bintang sinetron dan para selebritis.

Sangat ingat ungkapan Pak Boediono, mantan Ka Balitbang Dikbud “lakukan berulang-ulang, nanti akan menjadi sebuah kebenaran”.  Maksudnya jika sesuatu ungkapan diucapkan berulang-ulang atau suatu tindakan dilakukan berulang-ulang, lama-lama difahami orang sebagai sesuatu yan benar.  Paling tidak sesuatu yang dianggap wajar.  Setiap hari saya melihat banyak mobil parkir di sepanjang jalan Margorejo Indah, bahkan banyak mobil yang digunakan untuk berjualan buah dan makanan disitu.  Pada hal, jelas-jelas di sepanjang jalan itu ada tanda dilarang parkir.  Namun karena setiap hari seperti itu, orang termasuk saya menganggap mobil-mobil itu tidak salah. Saya juga merasa tidak salah ketika parkir disitu. Jadi kita tidak boleh heran ketika anak-anak kita banyak yang meniru perilaku selebritis di TV, karena setiap hari mereka melihatnya di TV.

Di negara maju, seperti Inggris, Belanda dan lainya, ada undang-undang yang melarang anak sampai umur tertentu (ingat saya sampai 12 tahun) tinggal sendirian di rumah.  Disama tidak lazim punya pembantu, sehingga jika suatu keluarga punya anak kecil, pilihannya salah satu orangtua (ayah atau ibu) yang tinggal dirumah atau membawa anaknya ke day care (child care) ketika ditinggal bekerja.  Jadi anak sampai usia 12 tahun selalu diauh oleh orang yang “faham” bagaimana mengasuh anak kecil.

TV juga taat memuat “peringatan” untuk tayangannya, misalnya BO untuk tayangan yang jika anak melihat harus didampingi orangtua dan AO jika itu khusus untuk orang dewasa.  Anak-anak juga patuh terhadap peringatan itu, karena sudah dibiasakan sejak kecil.  Jadi walaupun isi tayangan TV tidak karuhan, penonton sadar untuk memilih yang cocok buat dirinya.

Saya jadi ingat pendapat Pak Kadir Baradja dari Al Hikmah.  Menjadi orangtua (ayah dan ibu) itu suatu keniscayaan, tetapi pendidikan kita tidak memberikan bekal tentang itu.  Jadi orangtua baru itu memang tidak punya bekal apa-apa tentang bagaimana mendidik anaknya.  Paling banter hanya sedikit cerita dari KUA sewaktu mendaftar akan menikah.  Itupun kalau datang sendiri dan petuga KUA tidak terlalu sibuk.

Lantas apa yang dapat dilakukan?  Mungkinkah memasukan persiapan menjadi ayah/ibu dalam pendidikan kita?  Mungkinkah PAUD diperluas menjadi semacam day care (child care) di negara maju?  Mungkinkan PAUD itu sebagai bagian wajib belajar yang biayanya ditanggung negara? Apa kita mau meniru Jepang dengan program "mother back home"?  Pertanyaan yang saya sendiri juga belum tahu jawabannya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

miris sekali pak,setahu saya ada sekolah pranikah, yang memuat persiapan untuk menjadi orang tua yang mengerti tentang mendidik anak sejak dalam kandungan, sayangnya itu hanya ada di kota2 besar biasanya, nah yang di desa2, mereka tidak ada yang mengarahkan. tahunya praktis saja, mengasuh anak seperti yang dikatakan orang2 tua jaman dulu. idealnya mereka (calon ayah dan ibu) tahu tahap perkembangan anak.