Sabtu, 16 April 2016

BARANG LOAKAN



Setelah tidak menjadi rektor Unesa, saya tidak lagi disibukkan oleh tugas birokrasi kampus sehingga memiliki banyak waktu untuk mengerjakan ini dan itu.  Jadinya saya banyak menerima permintaan mengisi diskusi, seminar, menjadi tim ini dan itu, serta menjadi konsultan lepas di beberapa lembaga.  Tentu semua dalam bidang pendidikan dan tentu tidak melupakan tugas mengajar dan penelitian kecil-kecilan di Unesa.

Ketika mengisi acara diskusi atau seminar dan harus memperkenalkan diri saya sering kikuk.  Maksudnya kikuk akan menyebut diri sebagai apa atau apa pekerjaan saya.  Supaya mudah, biasanya saya menyebut sebagai dosen Unesa, karena itulah pekerjaan formal saya. Kalau teman moderator atau panitia yang memperkenalkan, biasanya disebutkan saya sebagai mantan direktur, mantan rektor, konsultan lembaga internasional dan sebagainya.  Kalau Pak Rektor Unesa (Prof Warsono) punya cara sendiri, dengan menyebut saya sebagai Rektor Unesa ke-9, sedangkan beliau Rektor Unesa ke-10.  Kalau Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Sumarna Surapranata, PhD), dengan berkelakar menyebut bahkan memanggil saya Pak Rektor Unesa, karena rektor yang sekarang itu penggantinya.  Menanggapi ungkapan seperti itu, saya menyahut “ya tapi semuanya bekas”.

Berbeda dengan Pak Warsono dan Pak Pranata, pada suatu forum di Jakarta Pak Jiyono (mantan pejabat dan Balitbang Dikbud dan Unicef) mengatakan: “pak Muchlas sekarang telah kembali ke habitatnya”.  “Direktur, Rektor dan jabatan birokrasi lainnya itu hanya selingan, karena habitat asli pak Muchlas ya pemikir pendidikan”.  Pak Bagiono, tokoh Pendidikan Kejuruan punya istilah lain dengan mengatakan: “pak Muchlas itu penjahit tetapi bukan penjahit baju, karena yang dijahit adalah potongan-potongan gagasan dari banyak orang menjadi suatu konsep yang utuh”.

Nah, yang repot kalau saya harus menjelaskan pengalaman kerja.  Pada suatu acara, setelah memperkenalkan diri sebagai dosen Unesa, moderator meminta saya menjelaskan apa pengalaman kerja yang saya miliki.  Mungkin maksudnya baik, ingin menunjukkan orang desa-anak petani kecil seperti saya kok bisa menjadi direktur dan rektor.  Saya bingung, sehingga dengan kelakar saya menyebut diri saya sebagai barang loakan.  Memang pernah menjadi ini dan itu, tetapi semuanya “bekas”, jadi mirip barang bekas yang dijual di pasar loak di Jalan Demak.

Kalau sedang berkumpul dengan Pak Nuh (mantan Mendikbud) dan Pak Yazidie (mantan Dirjen Dikmen) dan beberapa teman lain, seringkali Pak Nuh mengatakan: “kami ini asosiasi pensiunan”. Karena pensiunan kami berkumpul agar tidak merasa nganggur dan nggak terpakai.  Biasanya saya menimpali:  “kami ini barang loakan dan ruangan ini seperti pasar loak karena isinya barang loak, yaitu orang-orang pensiunan”.   Mendengar kelakar seperti itu, seorang teman menimpali: “ya memang bekas tetapi tetap penting dan banyak yang memerlukan”.  Saya menimpali lagi “ya mafaatkanlah seperti prinsip memanfaatkan kertas bekas botol bekas, TV bekas dan sebagainya”.  Biasanya dialog seperti itu diakhir dengan sama-sama tertawa, atau bahkan kelakar lain yang lebih seru.

Beberapa waktu lalu, saya diundang untuk mengisi acara pertemuan kepala sekolah se Surabaya.  Sewaktu jadwal saya pukul 11.00-12.30, tetapi karena saya harus ke RSI Jemursari acara ditukar menjadi pukul 13.00-14.30.  Kepala Diknas Kota Surabaya (Dr. Ihsan) sendiri yang menjadi moderator dan ketika mengantar diskusi saya beliau menyampaikan bahwa saya punya pengalaman panjang sebagai ini dan itu.  Disambung dengan ajakan “mari kita kuras pengalaman beliau”.   Seperti biasanya, saya berkelakar: “mohon dicatat semua yang disampaikan Pak Kepala Dinas tadi harus ditambah kata bekas”.  “Jadi saya ini mirip barang loakan di jalan Demak”.

Sepulang dari acara itu saya jadi berpikir, apakah orang seperti saya ini punya pengalaman yang dapat dengan orang lain?  Bukankah selama ini saya mengerjakan tugas di beberapa jabatan lebih berdasarkan impian yang ingin diwujudkan.  Bukankah kalau saya melakukan terobosan banyak meniru atau paling tidak terinspirasi pengalaman orang lain?  Bukankah ide-ide yang saya keluarkan lebih banyak merupakan ramuan dari buku yang saya baca, sehingga dengan kata lain itu pengalaman atau pendapat orang lain.  Jadi mana sebenarnya yang milik saya sendiri?

Ketika pikiran itu saya kemukakan kepada beberapa teman yang sama-sama pensiunan ternyata ada yang tersinggung.  Yang bersangkutan sampai mengatakan apakah saya menyindir orang lain. Dengan bersemangat beliau menjelaskan berbagai terobosan yang dilakukan ketika menjabat dan menurut beliau itu gagasan orisinalnya.  Tentu saya mohon maaf, dengan mengatakan ungkapan saya itu hanya untuk diri saya sendiri dan saya menyetujui bahwa beliau melakukan banyak terobosan yang sampai sekarang dikenang oleh mantan anak buahnya.

Kawan lain yang saat itu hadir menengahi.  Kawan ini memang dikenal punya pemikiran jernih dan perkataannya sejuk sehingga walaupun usianya relatif muda sering dimintai nasehat oleh orang lain.  Kawan ini menimpali: “ya semua orang kan punya gagasan, terlepas itu mengadopsi atau terinspirasi orang lain”. “Nah, ketika digunakan pastilah disesuaikan dengan kondisi setempat, sehingga yang bersangkutan juga punya hak mengatakan itu gagasannya”. “Apalagi, berbagi pengalaman dengan orang lain itu kan sama artinya menyampaikan ilmu, sehingga jika ilmu atau pengalamannya itu bermanfaat, yang membagi pengalaman akan dapat pahala berkesinambungan”.

Kalimat terakhir itulah yang secara pribadi membuat saya bersemangat untuk berbagi gagasan dan berbagi pengalaman.  Hampir tidak ada permintaan yang saya tolak, selama waktunya tidak bertabrakan dengan jadwal mengajar dan tugas pokok lainnya serta kegiatan keluarga yang penting.  Siapapun yang minta atau mengundang dan dimana lokasi kegiatan atau lembaga hampir tidak menjadi pertimbangan.  Oleh karena itu, Mas Nardi yang sering membantu membelikan tiket pesawat berkomentar: “bapak sudah tidak jadi rektor tetapi tetap sibuk sekali”.

Namun akhir-akhir ini ada dua hal yang mengganggu. Pertama, terkait dengan honorarium.  Saya sudah faham kalau diundang untuk mengisi diskusi, seminar atau sebagai konsultan suatu lembaga/kegiatan mendapatkan honorarium.  Namun selama ini saya tidak pernah bertanya dan bahkan menghitung secara teliti berapa honorarium yang saya terima.  Nah, suatu saat saya diminta oleh suatu yayasan besar di Jakarta untuk mengisi acara pembinaan guru di beberapa kota.  Saya ditanya berapa tarif saya sekali datang.  Saya menjawab tidak tahu, tetapi terus dikejar untuk menyebutkan saya minta berapa.  Karena yang bertanya teman baik dan saya tahu yayasan itu sangat kaya karena menampung CSR beberapa perusahaan besar, saya menjawab sekenanya dengan menyebut angka tertentu.  Sungguh kaget karena teman itu berkomentar: “kok kecil amat”.   Betul juga, ketika selesai mengisi acara acara di Semarang saya disodori amplop dan kwitansi untuk ditandatangani.  Jumlah honorariumnya sungguh sangat besar.

Kaget dan tidak nyaman hati, saya menilpun pimpinan yayasan yang dahulu menanyakan tarif saya.  Apa jawaban beliau?  “Tarif panjenengan itu terlalu kecil, itu bukan kelas Prof Muchlas”.  Mendengar itu saya tercenung dan bertanya-tanya dalam hati, apakah memang mengisi diskusi, seminar dan pembinaan guru sudah menjadi profesi komersial yang harus ada tarifnya?

Kekagetan saya karena masalah tarif ternyata belum berhenti disitu.  Selang beberapa minggu setelah itu, saya dihubungi oleh mantan mahasiswa Unesa.  Yang bersangkutan menginformasikan saya diminta menjadi konsultan lepas di tempat dia bekerja.  Untuk itu saya diundang untuk bertemu dengan bosnya.  Ketika bertemu dan berdiskusi dengan sang bos saya disodori TOR sebagai konsultan lepas.  Dalam TOR itu tercantum honorariumnya dihitung man days, berdasar jumlah hari saya bekerja sesuai dengan kegiatan yang perlu saya hadiri atau pekerjakan yang saya lakukan di rumah.  Sangat kaget, honorarium per hari itu sangat mirip dengan honorarium yang saya terima ketika mengisi acara di Semarang bersama yayasan besar Jakarta.

Jujur, saya senang mendapatkan honorarium yang sangat besar itu.  Bukan sekedar karena nilai uangnya, tetapi merasa ahli pendidikan (maaf menyebut diri sbg ahli) mendapat penghargaan tinggi.  Namun bersamaan dengan itu, saya takut kalau kemudian terdorong untuk pilih-pilih berdasarkan honorarium.   Kalau ada beberapa undangan yang bersamaan, kemudian memilih berdasarkan honorarium dan bukan mana yang lebih membutuhkan.  Bukankah banyak sekolah dan lembaga kecil yang sering mengundang saya?  Bukankah sekolah dan lembaga seperti itu yang justru lebih memerlukan bantuan.

Kedua, keluhan isteri saya.  Beberapa minggu lalu saya tidak enak badan.  Sakit betul sih tidak, tetapi batuk tidak sembuh-sembuh.  Mendapati suaminya seperti itu, isteri saya berusaha meyakinkan dengan mengatakan: “papa jangan capek-capek, tidak usah ngoyo mencari uang”.  “Anak sudah besar-besar dan mandiri”. “Sudah saatnya seperti kita ini menikmati hidup”. “Kalau sakit, mereka tidak akan banyak peduli kok”.

Anak sulung saya yang tinggal di Edinbrugh, Titi, menimpali di WA: “pap, mesti banyak istirahat dan jalan-jalan gitu lho”.  “Kemana gitu sama mama biar fresh”.  Si bungsu, Lala pernah komentar: “papa kalau nggak punya kesibukan nanti malah bingung”.  Sepertinya mereka, tiga anak saya itu berembuk ketika ayahnya agak sakit.  Sepertinya si bungsu yang menjadi juru bicara, dengan mengatakan: “papa harus punya kesibukan, tetapi jangan banyak-banyak agar tidak kecapekan”.

Betulkah saya kecapekan?  Betulkah saya harus punya kesibukan?  Apakah tugas mengajar dan peneliti belum cukup membuat saya sibuk?  Bukankah saya punya keinginan untuk menulis buku dan artikel untuk mengisi waktu.  Saya mencoba menganalisis diri sediri dan ternyata justru tidak mudah. 

Setelah melakukan refleksi diri, rasanya tugas mengajar dan menulis tampaknya memang kurang menantang, sehingga saya memerlukan tantangan yang lain.  Hanya saja ketika tawaran kegiatan yang menantang itu datang, ternyata saya bukanlah orang yang baik dalam manajemen diri.  Seringkali saya tidak mampu menolak permintaan, sehingga kadang-kadang overload. Untunglah Allah menganugerahkan detektor kelelahan dalam diri saya, yaitu sariawan.  Jadi kalau saya terkena sariawan pada hal sudah makan buah cukup, itu artinya harus mengurangi kesibukan.

Sampai saat ini saya belum menemukan formulasi kegiatan seperti apa dan seberapa agar saya merasa enjoy tetapi tidak sampai kecapekan.  Ternyata orang yang sudah menjadi barang loakan ini belum juga memahami diri sendiri, pada hal itu kemampuan penting yang harus dimiliki setiap orang.  Semoga ada pembaca yang mau mengajari saya bagaimana cara sederhana untuk dapat memahami diri sendiri.

Tidak ada komentar: