Rabu, 20 April 2016

LULUSAN IPA BANYAK YANG MEMILIH SOSHUM



Judul di atas diambil dari berita di Jawa Pos tanggal 17 April 2016.  Pada sambungannya di halaman berlakang, judulnya diubah menjadi “Dan banyak yang diterima”.  Sore harinya saya mendapat banyak SMS, WA maupun telepon mempertanyakan mengapa seperti itu. Sebenarnya fenomena itu yang sudah lama terjadi, tetapi baru kali ini ada koran yang memuat. 

Dalam satu rapat pantia SBMPTN beberapa tahun lalu fenomena itu juga pernah didiskusikan bahkan melebar sampai ketidakselarasan penjurusan di SMA dengan SBMPTN.  Dalam diskusi itu terungkap kalau penjurusan di SMA lebih merupakan klasifikasi kemampuan siswa.  Siswa yang nilai MIPA-nya (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi) bagus masuk ke jurusan IPA, sedangkan yang kurang bagus masuk ke jurusan IPS dan atau Bahasa.  Sepanjang informasi yang saya peroleh sangat jarang sekolah yang mendasarkan penjurusan itu atas dasar bakat dan minat siswa.

Apa pola itu baru sekarang terjadi?  Tidak.  Anak sulung saya yang sekolah di salah satu SMA Kompleks Surabaya awal tahun 2000 pernah mengalami hal menarik.  Saat itu penjurusan dimulai di kelas 2.  Nah anak saya naik ke kelas 2 IPA, karena nilai untuk matapelajaran MIPA memang baik. Namun dia minta pindah ke IPS, karena dia lebih tertarik ke hal-hal yang bersifat seni dan aktif di kegiatan sosial.  Inginnya dia nanti akan kuliah di Psikologi atau Komunikasi.  Ketika menyampaikan keinginan itu kepada wali kelas, justru ditertawakan dan dikomentari “kamu aneh, lainnya merengek pindah dari IPS ke IPA kok malah minta pindah dari IPA ke IPS”. Tampaknya nilai matapelajaran IPS, Bahasa dan Kesenian tampaknya tidak begitu menjadi pertimbangan. 

Memang akhirnya terbukti.  Saat S1 anak saya mengambil bidang Manajemen Komunikasi yang isinya merupakan perpaduan antara sosial dan seni.  Setelah malang melintang di pekerjaan, kemudian mengambil S2 di bidang Lingkungan dengan peminatan food security.  Agak berat karena banyak matakuliah yang termasuk kelompok MIPA dan itu tidak pernah didapat di SMA IPS maupun S1 Manajemen Komunikasi.  Namun kerja keras dan mungkin potensi bidang MIPA yang cukup toh dia dapat lulus dengan baik dan sekarang aktif di kegiatan NGO bidang food security.  Tampaknya potensi seni dan aktivis sosial tidak dikenali atau tidak mendapat perhatian saat penjurusan di SMA.  Bahwa nilainya untuk matapelajaran MIPA bagus bukan karena minatnya, melainkan karena kemampuan dasarnya baik.

Tahun lalu keponakan saya, anak kedua adik bungsu saya, juga mengalami hal yang sangat menarik.  Ketika pendaftaran SMA keponakan saya ikut tes psikologi dan atas dasar tes itu keponakan saya dimasukkan di jurusan IPS.  Namun karena si anak lebih tertarik IPA dan bapaknya menyampaikan hal itu ke Kepala Sekolah, oleh sekolah keponakan saya diberi peluang untuk semacam uji coba kelas IPA dan nanti akan dilihat hasilnya.  Ketika uji coba berjalan setengah sementer, wali kelas dan kepala sekolahnya bingung karena nilai bidang MIPA dan IPS seimbang.  Yang menarik kepala sekolahnya berkomentar “kok nilai Biologi rendah, kalau sampai akhir sementer seperti itu akan dimasukkan ke IPS”.

Untungnya ada hal “ajaib” terjadi.  Ketika hasil tes psikologi per siswa dikirim oleh lembaga pengetes dan dibagikan kepada masing-masing siswa diketahui bahwa hasil tes keponakan saya cenderung ke IPA. Ternyata lembaga itu melakukan kesalahan saat melakukan tabulasi hasil tes psikologi, sehingga keponakan saya yang hasilnya cenderung ke MIPA-Engineering dimasukan ke IPS.  Akhirnya walaupun nilai Biologi tetap kurang baik, keponakan saya  dimasukkan  kelas IPA.  Tampaknya nilai Biologi yang kurang baik menjadi pertimbangan untuk memasukkan ke IPS, pada hal nilai mapel IPS juga kurang baik. 

Jadi kenapa banyak lulusan IPA memilih Soshum dan banyak yang diterima bukan karena salah pilih, tetapi karena mereka memang “anak pintar”, sehingga dapat masuk kelas IPA.  Teman-teman saya yang lulusan Psikologi, Ekonomi dan bahkan bahasa Indonesia dengan prestasi menonjol ternyata banyak yang lulusan SMA IPA.  Jadi mereka yang lulusan IPA mendaftar ke Soshum dan diterima bukan karena matapelajaran IPA-nya, tetapi karena mereka memang anak pintar.

Penelitian yang memandingkan lulusan SMA dan SMK mungkin dapat menjadi tambahan penjelasan.  Ada studi yang menyimpulkan lulusan SMA lebih baik kinerjanya dan kariernya dibanding lulusan STM (sekarang disebut SMK Bidang Rekayasa).  Nah, ketika datanya dikoreksi dengan NEM mereka saat SMP, ternyata kinerja dan karier mereka tidak berbeda.  Jika NEM SMP dapat dimaknai sebagai indikator “pintarnya” seseorang, berarti setelah dikoreksi dengan analisis kovariat, perbandingan lulusan SMA dan STM sudah disamakan kepintarannya dan hasilnya tidak beda.  Jadi perbedaan kinerja dan karier bukan karena asal sekolah tetapi karena kepintarannya.

Nama Soshum dalam SBMPTN adalah istilah yang baru digunakan mulai tahun 2012 atau 2013 untuk menggantikan istilah IPS.  Seingat saya penggunaan istilah Soshum sebagai solusi terhadap fenomena ketidaksesuaikan penjurusan di SMA dengan tes di UMPTN atau yang sekarang disebut SBMPTN.  Di SMA ada tiga jurusan yaitu IPA, IPS dan Bahasa, tetapi di waktu lalu UMPTN hanya punya dua pilihan program yaitu IPA dan IPS.  Nah akhirnya istilah IPS diubah menjadi Soshum yang merupakan “gabungan” IPS dan Bahasa.

Tidak ada komentar: