Sabtu, 23 April 2016

REFLEKSI DIRI ALA GUS MUS



Beberapa hari lalu saya menonton Gus Mus di acara Mata Najwa-Metro TV.  Tampaknya Najwa Sihab sengaja ingin menampilkan Gus Mus sebagai sosok utuh, sehingga yang hadir dan diminta pendapat tentang Gus Mus adalah berbagai orang yang tentu memberikan testomoni tentang Gus Mus dari berbagai sudut pandang pula.  Sosok Gus Mus sebagai ulama, sebagai budayawan dan juga sebagai “manusia” sedikit banyak tergambarkan.   
Di akhir acara, Najwa minta Gus Mus membacakan puisinya dengan judul Puisi Islam.  Seingat saya, saya sudah pernah membaca puisi itu, tetapi ketika dibacakan oleh penulisnya saya menjadi tercenung.  Saya merasa baru dapat menangkap makna puisi itu ya saat dibacakan oleh Gus Mus sendiri.  Itupun kalau benar tangkapan saya sebagai orang awam dalam hal puisi.  Ijinkan saya mengutip puisi Gus Mus itu secara utuh.
Islam agamaku nomor satu di dunia
Islam benderaku berkibar di mana-mana
Islam tempat ibadahku mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku tak kalah dengan yang lainnya
Islam sorbanku
Islam sajadahku
Islam kitabku
Islam podiumku kelas exclussive yang mengubah cara dunia memandang
Tempat aku menusuk kanan kiri
Islam media massaku
Cahaya komunikasi islami masa kini
Tempat aku menikam saat ini
Islam organisasiku
Islam perusahaanku
Islam yayasanku
Islam istansiku , menara dengan seribu pengeras suara
Islam muktamarku, forum hiruk pikuk tiada tara
Islam pulsaku
Islam warungku hanya menjual makanan sorgawi
Islam supermarketku melayani segala keperluan manusiawi
Islam makananku
Islam teaterku menampilkan karakter-karakter suci
Islam festifalku memeriahkan hari-hari mati
Islam kaosku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa saja
Tuhan islamkah aku?
Dalam pemahaman saya, kalimat terakhir puisi itu seakan mempertanyakan semua kalimat sebelumnya.  Pada kalimat-kalimat sebelumnya Gus Mus menyodorkan Islam sebagai label kita dalam segala aktivitas, yang tentu dengan segala warna-warninya.  Nah, puisi diakhiri dengan sebuah pertanyaan jika kita punya aktivitas seperti itu apakah kita layak disebut sebagai orang Islam.  Seakan Gus mempertanyakan apakah orang-orang yang mengaku Islam, memiliki berbagai aktivitas berlabel Islam dan bahkan seringkali menyelekean orang  lain yang tidak sefaham, betul-betul dia Islam.  Saya sungguh tidak faham apa yang dimaksud dengan kata “Islamkah aku” oleh Gus Mus.  Apakah masuknya “yang benar-benar Islam dan bukan hanya kulitnya saja”.  Jika itu seperti apa ya indikatornya?  Jujur saya tidak tahu dan moga-moga ada teman yang berkenan memberikan pencerahan.
Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu.  Saya justru ingin menggunakan puisi itu sebagai analogi kehidupan kita sehari-hari.  Rasanya kita sering melihat fenomena seperti itu atau bahkan kita juga termasuk yang melakukannya.  Kita sering mempertanyakan betulkah yang diungkapkan di si Fulan itu akan dilaksanakan.  Atau betulkah apa yang dilakukan di Fulan itu bertujuan mulia seperti yang diomongkan.  Bahkan kita juga dapat mempertanyakan kepada diri sendiri, betulkah apa yang saya lakukan bertujuan mulia seperti yang saya ucapkan?  Jangan-jangan itu semua hanya kedok, karena di balik itu ada tujuan lain.
Merenungkan itu saya teringat seorang teman baik di Unesa yang menyampaikan kelakar berupa pertanyaa sebagai berikut.  Bangsa mana yang sedikit bicara tetapi banyak kerja?  Biasanya teman lain menjawab: bangsa Jepang.  Betul, nah bangsa mana yang banyak bicara dan juga banyak kerja.  Ketika tidak ada yang menjawab kawab tadi menjawab sendiri: bangsa Amerika.  Pertanyaan selanjutnya, bangsa mana yan banyak bicara tetapi sedikit kerja.  Beberapa kawan menjawab; bangsa Indonesia.  Teman tadi mengatakan: bukan, itu bangsa Arab.  Lha kalau kita bangsa Indonesia termasuk apa?  Kalau kita, apa yang dibicarakan dan dikerjakan berbeda.
Tentu itu hanya kelakar dan kita tidak harus menanggapinya dengan serius. Namun ketika kawan tadi mengatakan: kalau bangsa kita, apa yang dikatakan berbeda dengan yang dikerjakan, jangan-jangan seiring dengan puisi Gus Mus di atas.  Mari kita menggunakan puisi Gus Mus untuk cermin untuk melakukan refleksi diri.

Tidak ada komentar: