Rabu, 24 Agustus 2016

FULL DAY SCHOOL



Full day school merupakan gagasan pertama dari Mendikbud baru kita, Prof Dr. Muhajir Effendi.  Menurut berita di koran, dengan full day school diharapkan lama waktu siswa di sekolah lebih lama, sehingga proses pengembangan karakter lebih intensif.  Dengan full day, siswa tidak terlalu lama di rumah tanpa ada pendampingan orangtua karena kedua orangtuanya bekerja di luar rumah.  Mungkin pagi hari orangtua dapat megantar anaknya ke sekolah sambil berangkat kerja dan sore hari menjemputnya sambil pulang kerja.  Dengan begitu ketika di sekolah ada pendamping yaitu para guru, ketika di rumah juga ada pendamping yaitu orangtuanya.

Seperti kebiasaan di Indonesia, ide itu mendapat tanggapan beragam dan bahkan menjadi diskusi berkepanjangan. Arah diskusipun menjadi tidak jelas, karena masing-masing penanggap menafsirkan gagasan Pak Mendikbud menurut versinya masing-masing.  Media sosial menjadi ajang perdebatan berkepanjangan.  Kebebasan menyampaikan gagasan di medsos tampaknya menumbuhkan kontrol diri yang kurang baik di masyarakat kita.

Apa sebetulnya yang dipikirkan Pak Mendikbud di balik ide full day school?  Jika benar, bahwa muculnya gagasan full day school itu dilatarbelakangi kerisauan beliau karena pendidikan karakter belum optimal, maka itu optimalisasi pendidikan karakter itulah yang harus dipikirkan.  Full day school adalah jawaban “hipotetik”, yang masih harus “diuji” kebenarannya.  Bahkan full day school barulah salah satu dari sekian banyak wahana untuk mengoptimalkan pendidikan karakter.

Bahwa pendidikan karakter perlu segera dioptimalkan rasanya tidak ada orang yang tidak setuju.  Banyak pakar yang menyatakan, keruwetan bangsa ini bersumber dari moral atau karakter kita yang kurang baik.  Korupsi konon sudah terjadi di semua lapisan dan melibatkan segala profesi.  Eksekutif, legistatif, yudikatif, tentara, polisi, pengusaha dan lainnya.  Seorang kawan bahkan bertanya “bukankah pengawai yang bermain saat jam kerja itu juga korupsi, yaitu korupsi waktu”.   “Bukankah warung yang melayani karyawan makan di jam kerja itu juga membantu terjadinya korupsi waktu oleh di karyawan”.  “Bukankah nyontek itu benih korupsi, karena ingin mendapat hasil yang baik tanpa mau bekerja keras”.

Untuk mengoptimalkan pendidikan karakter, sebaiknya didiskusikan dulu bagaimana proses pendidikan karakter yang efektif.  Liinckona menyebutkan karakter itu memiliki 3 lapisan yang hirarkhis, yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action.  Orang yang tahu suatu aturan (moral knowing) belum tentu merasa itu harus dilakukan (moral feeling).  Contoh sederhana adalah perilaku kita dalam berlalu lintas.  Saya yakin hampir semua pengendara tahu makna rambu-rambu lalu lintas (moral knowing), namun betapa banyak yang tidak merasa itu harus ditaati (moral feeling).

Orang yang merasa itu harus dilakukan (moral feeling) belum tentu benar-benar melakukan (moral action), karena situasi di sekitar mungkin mendorong atau memaksanya melakukan itu.  Konon ada seorang yang dihukum karena korupsi bercerita, bahwa yang bersangkutan tahu dan sangat yakin apa yang dilakukan itu salah dan bertentangan dengan hukum maupun agamnya.  Namun situasi tempat yang bersangkutan bekerja, organisasi dimana yang bersangkutan terikat memaksa harus berbuat begitu.

Jadi pendidikan karakter tidak boleh hanya berupa ceramah dan diskusi atau baca referensi yang intinya menambah pengetahuan.  Juga tidak boleh hanya sampai pada membaca biografi tokoh atau bahkan bermain peran, karena itu hanya sampai internalisasi (moral feeling).  Diperlukan situasi yang membuat anak-anak terbiasa mengimplementasikan karakter dalam kehidupan sehari-hari.  Jadi idealnya kehidupan di sekolah dan di rumah mencerminkan implementasi karakter itu.

Dalam teori yang pernah saya baca, pendidikan karakter akan efektif jika dilakukan melalui habituasi (pembiasaan) yang dilanjutkan dengan inkulturisasi (pembudayaan).  Untuk itu diperlukan situasi sekolah/rumah yang cocok, diperlukan norma kehidupan (agama sbg sumber) yang relevan dan diperlukan teladan dalam kehidupan keseharian.

Nah, dengan begitu sebelum gagasan full day school itu diterapkan secara masal, perlu disiapkan agar situasi di sekolah memenuhi syarat untuk habituasi dan inkulturisasi karakter. Guru dan karyawan di sekolah, serta fasilitas di sekolah juga perlu dipersiapkan agar mendukung implementasi habituasi dan inkulturisasi itu.

Apakah habituasi dan inkulturisasi hanya dapat dilaksanakan di sekolah?  Tidak.  Di rumah dan bahkan di masyarakatpun juga bisa.  Asalkan, seperti disebutkan di atas, situasi di rumah dan atau di masyarakat mendukung prinsip habituasi dan inkulturisasi itu.  Dengan demikian, jika situasi di sekolah belum memungkinkan dan masyarakat masih belum kondusif, maka rumah menjadi alternatif.  Asalnya orangtua faham dan bersedia menjadi fasilitator dan teladan penumbuhka karakter. Untuk itu program parenting untuk menyamakan visi antara sekolah dan rumah menjadi penting, agar dalam berjalan seiring dan berbagi peran serta tanggung jawab.

Tidak ada komentar: