Minggu, 28 Agustus 2016

PENDIDIKAN AGAMA ATAU PENDIDIKAN BERAGAMA



Seorang teman memberi informasi bahwa salah satu “penyempurnaan” Kurikulum 13 (K-13) adalah “mengurangi beban guru” dengan menugaskan pengembangan KI-1 (sikap spiritual) hanya kepada guru Agama dan pengembangan KI-2 (sikap sosial) hanya kepada guru PPKn. Dengan kata lain, guru matapelajaran lain tidak perlu dibebani pengembangan sikap spiritual dan sikap sosial. Jika informasi itu benar, berarti guru IPA di SMP tidak perlu memikirkan bagaimana menumbuhkan sikap kejujuran kepada siswa, karena itu merupakan tugas guru Agama (karena jujur adalah salah satu ajaran agama).  Guru Ekonomi tidak perlu memikirkan apakah siswa suka menolong orang lain, karena itu merupakan tugas guru PPKn.

Sebagai guru yang sudah mengajar selama lebih dari 40 tahun, saya kaget dan setengah tidak percaya dengan informasi itu.  Bukankah ruh dari K-13 adalah keinginan untuk menumbuhkembangkan sikap dan atau karakter anak-anak?  Oleh karena itu, pengembangan sikap dan atau karakter dilakukan secara gotong-royong, secara sinergis oleh semua guru dan bahkan semua karyawan di sekolah.  Jika informasi itu benar, sekali lagi jika informasi itu benar, maka K-13 yang telah “disempurkakan” telah kehilangan ruh K-13.

Saya tidak ikut menyusun K-13.  Namun mempelajari K-13 saya menangkap kesan kuat bahwa K-13 ingin mengarusutamakan (me-main streaming-kan) pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti.  Mungkin penggagas K-13 risau dengan perilaku anak bangsa ini yang seakan kehilangan budi pekerti luhur, sehingga itu harus dikembalikan secara sistematis lewat pendidikan.  Mungkin juga penggagas  K-13, ingin melaksanakan amanah pasal 3 UU Sisdiknas yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Jika berakhlak mulia, mandiri dan menjai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab itu termasuk aspek karakter, maka tiga di atara tujuh karakterik manusia yang ingin dihasilkan pendidikan adalah karakter.

Memang pendidikan harus mengembangkan tiga ranah secara utuh.  Ki Hajar Dewantara mengatakan “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat  memajukan kesempurnaan hidup anak kita”.  Jika menggunakan istilah Bloom yang biasa digunakan di sekolah, maka pendidikan afektif, kognitif dan psikomotor tidak boleh dipisahkan.

Merenungkan informasi itu, saya jadi teringat sebuah sekolah “inovatif” yang membedakan pendidikan agama dan pendidikan beragama.  Pendidikan agama diajarkan oleh guru agama dan penekanannya pada teori, baik pengetahuan, sikap maupun keterampilan.  Pendidikan beragama dilakukan oleh semua guru, yang penekanannya pada implementasi beragama sesuai dengan agama yang dianut.  Jika agama Islam mengajarkan sholat berjamaah lebih baik dengan sholat sendiri, maka dalil-dalil tentang itu diajarkan oleh guru Agama Islam.  Namun semua guru harus mengajarkan dengan cara memberi contoh, memberi motivasi dan memfasilitasi  siswa untuk sholat berjamaah.

Pola pikir yang sama dapat diterapkan untuk PPKn.  Teori Pancasila dan Kewarganegaraan diajarkan oleh guru PPKn, namun semua guru mengajarkan penerapan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari.  Bagaimana caranya?  Dengan memberikan contoh, memotivasi dan memfasilitasi agar siswa dapat menerapkan nilai-niai Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari.  Semua guru harus memberikan contoh tolong menolong, mendorong siswa untuk melakukan dan juga memfasilitasi pelaksanaannya.

Apakah demikian penting sikap sikap spriritual dan sikap sosial, sehingga semua guru yang ikut bergotong royong mengembangkan?  Beberapa bulan lalu, dalam suatu diskusi tentang pendidikan, hadir seorang ibu dari HRD Carrefour Group.  Ibu itu menyapaikan ketika melakukan seleksi calon karyawan, bobot sikap 50%, bobot kemampuan nalar 30% dan bobot keterampilan 20%.  “Yang penting sikapnya bagus dan dapat bernalar runtut. Soal keterampilan dapat dilatih dengan cepat.”  Pendapat serupa juga dikemukakan oleh seorang tokoh industri di Kalimantan Timur, dengan mengatakan “melatih keterampilan itu mudah, namun memperaiki sikap sangat suli”.

Jika guru Matematika sekaligus juga “guru beragama” dan juga “guru dalam implementasi Pancasila”, apakah tidak terlalu berat bagi mereka?   Untuk menjawab itu, kita dapat balik kertanya lebih dahulu:  “Guru Matematika itu harus melaksanakan kuwajiban beragama atau tidak ya?” “Guru Matematika itu harus menerapkan Pancasila apa tidak ya?”. Jika keduanya dijawab “ya”, berarti guru Matematika sudah dapat menjadi teladan dalam beragama dan teladan dalam pengamalan Pancasila. 

Jika demikian tinggal bagaimana guru Matematika memotivasi dan memfalitasi siswa dalam menjalankan agama dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, apakah sebagai orang beragama dan bangsa Indonesia, kita tidak perlu memotivasi anak kita untuk menjalankan ajaran agama dan Pancasila?  Saya yakin, jawabannya “perlu”.  Dengan demikian, sebenarnya tugas memotivasi dan memfasilitasi siswa menjalankan agama dan nilai-nilai Pancasila juga tidak sulit.

Apakah sebagai guru dalam beragama dan pengamalan Pancasila, guru Matematika perlu memasukan aspek-aspeknya dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) Matematika?  Apakah guru Matematika juga mengukur atau menilai hasil belajar yang berupa sikap spiritual maupun sikap sosial?   Dua  hal itulah yang tampaknya perlu didiskusikan, karena memang membawa konkwensi tambahan pekerjaan bagi guru, selain guru Agama dan PPKn.

Untuk menjawabnya, mungkin kita awali dengan mengajukan pertanyaan akan ketika belajar Matematika siswa juga harus jujur?  Apakah ketika diskusi suatu topik Fisika siswa juga harus santun?  Apakah ketika belajar Ekonomi, siswa juga harus belajar membantu orang lain?  Jika jawaban dari ketiga pertanyaan di atas “ya”, berarti siswa harus jujur, harus santun dan harus membantu orang lain, ketika mereka belajar Matematika, Fisika dan Ekonomi.  Dengan kata lain, penting memasukkan sikap spiritual dan sikap sosial dalam RPP Matematika, Fisika, Ekonomi dsb.  Tentu dipilih sikap yang relevan dengan topik yang dibahas saja.  Tidak harus semua jenis sikap.

Apakah sikap spiritual dan sikap sosial perlu diukur hasilnya oleh guru Matematika, IPA, Ekonomi dan sebagainya?   Karena masuk dalam RPP tentu harus diukur hasilnya.  Namun berpengalaman banyak guru kesulitan mengukur sikap, harus dicarikan cara sederhana.  Karena sikap tidak cepat berubah, maka dalam satu kali mengakar guru tidak harus mengamati sikap seluruh siswa.  Mungkin cukup 5 orang saja.  Jika dalam satu kelas ada 50 orang, maka dalam 10 kali pertemuan, semua siswa dapat diamati.

Sosiometri juga dapat diterapkan.  Siswa diminta untuk saling menilai antar teman.  Jika ragu mereka dapat jujur pola ranking juga dapat membantu.  Misalnya siswa dalam suatu kelompok diminta saling menilai teman dalam kelompoknya.   Prinsipnya dicari pola penilaian yang sederhana sehingga dapat diterapka tanpa membebani guru terlalu berat.  Semoga.

Tidak ada komentar: