Jumat, 17 Maret 2017

GONTOR SEDANG BERUBAH?



Walaupun lahir di Ponorogo, saya baru sekali dapat kesempatan ngobrol dan diskusi intens dengan beberapa teman dari Pondok Pesantren Modern Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo.  Tentu saya juga pernah datang ke Pondok Gontor, tetapi biasanya hanya sillaturahmi dan ngobrol ringan.  Nah, Sabtu tanggal 11 Maret saya diundang oleh Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam, salah satu unit pendidikan di bawah Pondok Gontor, untuk mengisi acara seminar.  Kesempatan itulah yang saya manfaatkan untuk diskusi secara intens.

Karena sejak Kamis tanggal 9 Maret di Jakarta, saya memutuskan untuk naik pesawat ke Solo pada Jum’at sore, agar lebih dekat ke Gontor dibanding kalau melalui Surabaya.  Sampai di bandara Solo sekitar magrib dan dijemput oleh Mas Agus Budiman, dosen Unida yang kebetulan sedang menempuh S3 di Unesa, bersama dua orang mahasiswa.  Kalau tidak salah, mahasiswa itu bernama Putra-berasal dari Medan dan Sofyan-berasal dari Solo.   Dari Solo ke Ponorogo menggunakan mobil Kijang selama sekitar 3 jam, sehingga kami dapat diskusi secara intens.

Besuk paginya, sebelum maupun sesudah seminar saya berusaha “mengorek” berbagai informasi dari pimpinan maupun dosen yang kebetulan duduk berdekatan.  Saya selalu memulai diskusi dengan mengatakan, kalau saya memiliki keponakan yang sekarang sedang kuliah di UNIDA prodik farmasi.  Keponakan saya alumni KMI Mantingan dan sekarang sedang kuliah di Unida Mantingan.  Saya bertanya, bukankah prodi farmasi itu termasuk prodi IPA dan umumnya hanya menerima mahasiswa lulusan SMA IPA atau SMK yang relevan.  Bagaimana lulusan KMI, yang sepengetahuan saya lebih konsentrasi pada materi “keagamaan” dapat masuk ek prodi farmasi.

Pancingan saya ternyata dapat memicu diskusi dan infomasi, khususnya pimpinan yang merancang pengembangan Unida, bahwa di Gontor sedang terjadi gagasan untuk menyempurnakan “kurikulum KMI”.  Pimpinan tetap meyakini KMI yang telah dilaksnakan sejak 1936 adalah pola pendidikan yang terbaik.  Namun demikian, seiring dengan perkembangan zama tampaknya juga memerlukan beberapa penyesuaian.

Dari diskusi saya menangkap keinginan Unida untuk “melebarkan sayap”.  Seingat saya, ketika awal berdiri Unida berupa Sekolah Tinggi dan kemudian menjadi Institut yang konsentrasi pada bidang “keagamaan”.   Ketika menjadi universitas, tampaknya Unida ingin juga membuka program studi non keagamaan.  Bahkan saat ini sudah memiliki prodi farmasi dan kesehatan kerja.  Konon pada saatnya, Unida juga ingin membuka program studi lain, misalnya keteknikan dan bahkan kedokteran.

Mendengar “grenengan” seperti itu, saya mengatakan “sangat setuju”.  Jika saat ini Pondok Gontor sudah mampu “menelorkan” alumni tersohor, seperti alm Nurcholis Madjid, alm Hasyim Muzadi dan sebagainya, namun hampir semua berlatar belakang keagamaan.  Mungkin ke depan, Gontor akan menghasilkan alumni yang tersohor di bidang kedokteran, keteknikan dan sebagainya.  Mungkin mereka itu akan merupakan dokter dan insinyur yang faham agama.  Mereka akan menjadi ahli kedokteran dan ahli keteknikan yang memilihi “roh” Islam yang kokoh.

Nah, tentu saja untuk menjadi calon insinyur dan dokter yang baik, mahasiwa memerlukan bekal bidang MIPA yang cukup.  Dengan pemikiran itu, jika diharapkan alumni KMI juga dapat masuk ke prodi seperti itu, tampaknya kurikulum KMI perlu “dimuati” MIPA yang cukup.  Tidak cukup, bekal MIPA itu hanya dibebankan kepada santri untuk belajar sendiri atau diberi “kursus” diluar kurikulum formalnya.  Itulah tampaknya yang membuat “tokoh” di Gontor untuk memikirkan kemungkinan menyempurnakan KMI.

Memang banyak pondok dan madrasah yang mengatakan bahwa pendidikan di lembaga seperti itu “ya 100% keagamaan dan ya 100% umum”.  Namun, menurut saya ungkapan seperti itu hanyalah “di ucapan” dan sangat sulit dilaksanakan.  Memang ada orang yang mampu belajar seperti itu, namun kurikulum sekolah/lembaga pendidikan harus dirancang untuk “orang normal”.  Oleh karena itu, Gontor memerlukan kiat untuk menemukan kurikulum KMI yang mampu menyiapkan santrinya akan punya bekal MIPA cukup baik, tetapi pemahaman “keagamaan” yang baik.

Tidak ada komentar: