Sabtu, 04 Maret 2017

ORANG TETAP PUNYA PERASAAN



Antusiasme masyarakat menyambut Raja Salman dari Saudi Arabia menjadi bukti empirik bahwa sepanjang namanya manusia tidak akan dapat lepas dari perasaan.  Saya yakin ribuas masyarakat yang menyambut Raja Salman itu tidak mengenal beliau, bahkan sangat mungkin banyak yang tahu kalau raja Arab Saudi bernama Salman bin Abdul Aziz al Saud yang ketika beliau datang ke Indonesia. Masyarakat, termasuk saya, juga baru tahu wajah beliau yang ketika fotonya dimuat di TV dan koran.

Lantas, mengapa ribuan masyarakat menyambut dengan antusias?  Mengapa hujan yang turun cukup deras tidak membuat masyarakat mundur berteduh?  Mengapa sambutan masyarakat jauh melebihi ketika Obama dan kepala negara lainnya datang ke Indonesia?  Teman-teman psikologi sosial yang mungkin dapat menjelaskan secara ilmiah.  Kalau saya hanya dapat menduga, karena masyarakat yang beragama Islam punya “perasaan” bahwa Raja Salman adalah kepala negara dimana Islam diturunkan, dimana terletak ka’bah kiblat orang Islam sedunia melaksanakan sholat, dimana orang Islam akan pergi ketika menjalankan rukun Islam kelima yaitu haji.

Saya bertanya kepada beberapa teman apakah antusias melihat TV atau membaca koran tentang kedatangan Raja Salman?  Ternyata sebagian besar menyatakan “ya”.  Apakah teman-teman (yang beragama Islam) punya perasaan seperti yang saya sebutkan di atas, ternyata “ya”.  Jadi tampaknya, keterkaitan Raja Salman dengan agama Islam (dengan berbagai kaitannya dengan Saudi Arabia) yang dianut masyarakat menjadi salah satu pendorong msyarakat antusias menyambut kedatangan beliau.

Apakah fenomena seperti itu yang disebut ikatan primordial?   Apakah ikatan emosi semacam itu baik atau kurang baik?  Apakah perasaan semacam itu hanya berlaku bagi masyarakat kurang terdidik atau juga berlaku bagi mereka yang terdidik?  Apakah itu menunjukkan masyarakat yang kurang rasional atau sebaliknya tidak ada kaitan dengan rasionalitas?  Jujur pertanyaan seperti itu yang saat ini mengganjal di benak saya. 

Ketika kita sedang di negara lain dan mendengar orang berbicara tentang Indonesia, segera saja kita tertarik.  Ketika orang itu mengatakan Indonesia itu baik, kita merasa senang.  Sebaliknya ketika orang itu membicarakan kejelekan Indonesia, kita merasa marah.  Apakah perasaan sepert itu hanya terjadi bagi masyarakat yang kurang terdidik?  Rasanya tidak.  Para mahasiswa yang sedang menempuh S3 juga punya perasaan seperti itu.  Oleh karena itu, saya yakin “manusia itu punya perasaan” dan perasaan dapat dan bahkan selalu terkait dengan hal-hal yang diyakini, hal-hal yang terkait dengan dirinya.

Pemahaman seperti itu, yang belum tentu benar namun saya yakini, yang saya sampaikan kepada adik-adik yang lebih muda dan kepada mahasiswa.  Apalagi mulai banyak yang mengatakan bahwa semua urusan sekarang dilakukan dengan “sistem”, sehingga unsur perasaan dapat dihilangkan.  Bahwa memang semakin banyak urusan yang dilaksanakan dengan sistem secara otomatis, itu benar.  Namun, pasti masih ada urusan yang tidak dapat diselesaikan dengan sistem seperti itu.  Dan sepanjang yang saya tahu, urusan seperti itu justru bagian yang sangat penting dan sangat menentukan.

Studi The Economist yang disponsori oleh Google menyimpulkan ada sederet kompetensi penting di masa depan. Dua kompetensi penting di lima teratas, adalah komunikasi dan kerjasama.  Nah, bukankah dua kompetensi ini sangat dipengaruhi oleh “manusia yang punya perasaan” dan bukan sekedar intelektualistas?  Bukankah kata orang, kesuksesan orang lebih banyak dipengaruhi oleh EQ dan bukan IQ?.   Jadi, boleh dan bahkan haruslah kita meningkatkan rasionalitas, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, tetapi tetap saja jangan lupa bahwa kita ini manusia yang akan selalu bekerjasama dengan manusia lain, sehingga unsur perasaan punya pengaruh yang tidak kecil. Menjaga perasaan orang lain dan meunumbuhkan perasaan kebersamaan akan menentukan bagi interaksi antar manusia.  Semoga.

Tidak ada komentar: