Sabtu, 25 Maret 2017

PENDUDUK NORWEGIA PALING BAHAGIA: Pak Roem, Pak Kadir, Mas Huda





Sambil nyopir kemarin malam saya mendengarkan Radio Suara Muslim.  Saya tidak tahu nama acaranya, tetapi yang menjadi narasumber Ir. Misbahul Huda, MBA, seorang pengusaha muda sukses yang juga seorang ustad.  Jalanan sudah agak sepi, karena sudah pukul 21.30am, sehingga saya dapat mengemudi dengan santai sambil mendengarkan radio dengan acara sangat inspiratif.

Topik yang dibahas, sepertinya tentang spiritualitas dan ritualitas.  Mas Huda mengatakan banyak masyarakat sangat intens dalam ibadah ritual atau biasa disebut ibadah mahdhah, tetapi kurang perhatian kepada hal-hal yang bersifat muamalah atau ibadah sosial.  Mas Huda memberi contoh, banyak orang yang sangat rajin sholat dan puasa, namun malas bekerja dan kurang memperhatikan lingkungan sekitarnya.  Pada hal bekerja keras dengan niat ibadah tidak kurang maknanya.  Sambil “promosi”, Mas Huda menyebutkan kelima bukunya dimaksudkan untuk mendorong pembaca menyeimbangkan antara ritual dan spiritual.  Beliau menyebutkan buku pertama yang berjudul ‘Mission Possible” dimaksudkan sebagai contoh bagaimana spritualitas bekerja.  Saya tidak ingat nama buku yang lain, yang saya ingat Mas Huda mengatakan buku berikutnya dimaksudkan untuk berbagai bagaimana spiritualitas dalam kepemimpinan dan dalam pendidikan.

Mencoba mencerna uraian Mas Huda, saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Pak Roem Rowi, guru besar UIN Sunan Ampel yang juga tokoh di masjid Al Akbar.  Pak Roem bercerita ada orang yang tergesa-gesa ingin sholat Jum’at.  Oleh karena itu, naik motor dengan ngebut meliuk-liuk, membunyikan klakson berkali-kali.  Yang penting dapat sampai di masjid dengan cepat dan mendapat shaft paling depan, namun tidak peduli apakah menyenggol kiri-kanan.  Yang penting dapat melaksanakan ibadah mahdhah dengan baik, namun seringkali meninggalkan hal-hal yang bersifat muamalah.  Pak Roem sering bekelakar, kita cenderung ini masuk surga sendirian dan tidak ingin mengajak teman lain.

Mungkin pendapat Pak Roem cocok dengan keanehan di sekitar kita.  Banyak orang yang setiap tahun pergi umrah, namun kurang peduli terhadap kemiskinan yang ada di sekitarnya. Seringkali saya juga berpikir, ketika masjid sudah cukup banyak di sekitar kita, dan kita ingin beramal, apakah membangun mushola atau masjid lagi atau kita membangun sekolah atau aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat?  Atau bahkan menyantuni orang-orang yang kesulitan makan di pinggri jalan.

Pertanyaan yang muncul, mengapa fenomena seperti itu banyak terjadi?  Dikaitkan dengan pendidikan, saya teringat sinyalemen Pak Kadir Baradja.  Menurut Pak Kadir, pendidikan agama yang selama ini berjalan di sekolah, cenderung merupakan pendidikan pengetahuan agama dan belum sampai pendidikan beragama.  Pendidikan agama cenderung mengarahkan untuk faham hukum ini dan itu, tetapi kurang menyentuh pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari.  Ibadah yang ditekankan juga ibadah ritual dan kurang menyentuh ibadah yang berdampak sosial.

Sepertinya pendapat tiga tokoh tersebut saling terkait.  Sepertinya kita perlu memperbaiki pendidikan kita, baik pendidikan agama di sekolah, di masjid/mushola, maupun di rumah tangga.  Kita juga perlu memperhatikan ibadah yang berdampak kepada masyarakat, sehingga masyarakat merasakan manfaat dari keberagamaan kita.  Bukankah kita diingatkan kalau tidak memperhatikan orang miskin, jangan-jangan kita termasuk orang yang mendustakan agama.

Nah ketika mencoba memahami tausiah tiga tokoh itu, saya jadi teringat silang pendapat tentang terplihnya Norwegia sebagai negara dengan penduduk paling bahagia di dunia.  Koran maupun radio memuat bagaimana banyak pihak saling berbeda pandangan terhadap hasil penilaian badan PBB itu.  Sebagaimana kita ketahui, Norwegia adalah negara di Skandinavia dan berada di “ujung utara” bumi.  Konon negara yang masyarakatnya banyak yang “tidak beragama”, tetapi mengapa mereka bahagia?

Sangat mungkin lembaga yang melakukan penilaian itu hanya melihat aspek kebahagiaan duniawi.  Misalnya dari pendapatan per kapita, jaminan sosial, layanan pemerintah, keamanan dan sebagainya.  Namun kalau direnungkan, pelaksanaan aspek-aspek tersebut akan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dan pelaksana pemerintahan. Artinya pelaksana pemerintahan dan masyarakat di Norwegia sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat.  Nah, bukankah hal seperti itu yang dirisaukan oleh Pak Roem, Mas Huda dan Pak Kadir Baradja?  Jangan-jangan Indonesia belum masuk ke jajaran negara dengan penduduk bahagia karena kita kurang memperhatikan ibadah sosial.  Mari kita renungkan bersama.

Tidak ada komentar: