Minggu, 18 Februari 2018

BELAJAR DARI KEBIJAKAN SRI MULYANI


Pagi ini saya membaca artikel yang diposting di wa group dimana saya ikut di dalamnya.  Artikel berjudul “Menteri terbaik dunia: Mengapa Sri Mulyani layak mendapatkan predikat itu?” ditulis oleh  M. Chatib Basri yang juga pernah menjadi menteri keuangan 2013-2014 menggantikan Sri Mulyani.

Jujur saya tidak mampu memahami secara detail tentang artikel itu karena menyangkut ekonomi makro yang di luar bidang saya.  Saya hanya mampu meraba-raba secara umum.  Menurut Chatib Basri penghargaan itu tidak hanya tepat tetapi terlambat, karena kebijakan yang dijadikan alasan pemberian penghargaan itu sudah dilakukan sejak tahun Sri Mulyani menjadi menteri keuangan pada tahun 2009-2013.  Menurut tulisan itu, bahkan Indonesia pernah dijadikan kajian di forum G20 dan Presiden SBY (waktu itu) diminta untuk menyampaikan di forum G20 di Washington.

Apa yang dilakukan Sri Mulyani?  Menurut Chatib Basri, Sri Mulyani berani melakukan 2 kebijakan yang tidak populer di Indonesia tetapi diapresiasi oleh dunia dan kemudian menjadi penopang ekonomi Indonesia. Pertama, memotong subsis bahan bakar dan mengalihkan dananya untuk kegiatan produktif.  Kedua, merestrukturisasi birokrasi Kementerian Keuangan agar lebih lincah dalam bekerja.

Sekali lagi, saya tidak memahami substansi kedua kebijakan yang menurut Chatib Basri sangat tepat.  Yang ingin saya diskusikan adalah mengapa Sri Mulyani melakukan itu.  Menurut saya Sri Mulyani melakukan itu, karena beliau memahami substansinya dengan baik dan berani melakukannya walaupun tidak populer.  Penguasaan konsep dari bidang pekerjaan yang ditangani tampaknya menjadi pilar penting bagi Sri Mulyani.  Mencoba memahami (sekali lagi saya mencoba dan belum tentu benar), Chatib Basri berpendapat Sri Mulyani faham betul kondisi perekonomian di Indonesia dan tahu apa yang harus dilakukan.

Memang menteri adalah jabatan politik, sehingga memungkinkan seseorang diangkat menjadi menteri bukan karena keahliannya.  Toh ada eselon 1 (sekjen, dirjen, staf ahli) yang merupakan orang profesional untuk memberi masukan.  Namun mencontoh fenomena di atas,  saya meyakini Sri Mulyani berani mengambil kebijakan yang tidak populer dan bahkan ditentang para politisi dan aktifis tertentu, karena yang bersangkutan faham benar substansinya.  Saya yakin Sri Mulyani bukan sekedar pemberani tanpa dukungan konsep yang matang, tetapi berani mengambil risiko karena memahami substansinya dengan baik.

Bukankah seorang pejabat, apalagi setingkat menteri, dapat membentuk tim untuk melakukan analisis kebijakan, sehingga sang pejabat tinggal memilih berbagai alternatif yang dihasilkan?  Hal itu memang betul dan saya menduga cara itu juga dilakukan oleh Sri Mulyani.   Namun ketika harus memilih atau bahkan mengoreksi kebijakan yang diusulkan oleh staf, tentu seorang pejabat harus memiliki konsep tentang masalah yang ditangani.  Nah, disinilah kelebihan seorang Sri Mulyani.

Apakah semua orang yang menguasai bidang pekerjaan berani mengambil risiko seperti itu.  Belum tentu. Banyak juga orang yang faham substansinya tetapi takut mengambil risiko tidak populer, risiko dibenci teman dan sebagainya.  Jadi antara penguasaan konsep dan keberanian mengambil kebijakan bukan “ini atau itu” tetapi “ini dan itu”.  Artinya, seorang pejabat sebaiknya menguasai substansi pekerjaan yang ditangani sekaligus juga berani mengambil risiko.

Bukankah banyak pejabat yang latar belakang pendidikannya berbeda dengan pekerjaan yang ditangani dan ternyata juga sukses?  Bukankah ada direktur perusahaan X yang sukses dan kemudian pindah menangani perusahaan Y yang sangat berbeda bidangnya juga sukses?  Dalam konteks seperti itu, saya menduga yang dikuasi adalah strategic management dalam pengelolaan perusahaan dan kemampuan belajar dengan cepat.

Tidak ada komentar: