Selasa, 06 Februari 2018

EMPOWERING PENDIDIKAN VOKASI

Pendidikan vokasi yang dimaksud pada tulisan ini bukan mengacu pada UU Sisdiknas yang mendefinisikan pendidikan vokasi sebagai  pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Berdasarkan definisi itu yang dikategorikan pendidikan vokasi adalah program D1 s.d D4.  Sedangkan yang dimaksud pendidikan vokasi pada tulisan ini merupakan padanan VET (vocational education and training) di tataran internasional, sehingga mencakup pogram diploma, SMK maupun kursus keterampilan.  Perluasan cakupan pendidikan vokasi ini sesuai dengan penafsiran pendidikan vokasi yang saat ini digencarkan oleh pemerintah Indonesia.
Pendidikan vokasi, apapun jenis dan levelnya, dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja (Calhoun and Finch, 1982; Unesco, 2016). Oleh karena itu kesesuaian apa yang dipelajari di pendidikan vokasi dengan tuntutan dunia kerja menjadi acuan utama.  Dalam konteks ini, kesesuaian juga harus dikaitkan dengan kompetensi, jumlah maupun lokus geografis. Ketidaksesuaian kompetensi akan mengakibatkan kesulitan lulusan pendidikan vokasi menangani pekerjaan yang tersedia.  Ketidaksesuaian lokus geografis akan mendorong terjadinya migrasi, terutama urbanisasi.  Ketidaksesuaian jumlah akan menyebabkan terjadinya oversupply tenaga kerja. Pertanyaannya bagaimana meng-empower pendidikan vokasi yang saat ini ada agar mampu memenuhi ketiga amanah tersebut di atas.
Lebih dari ketiga prinsip di atas, pendidikan vokasi seharusnya menjadi penopang petumbuhan industri dalam pengertian luas.  Ketika menganalisis perkembangan  ekonomi dunia, Jorgen Moller (2011) mengingatkan, Asia akan menjadi lokomotif perekonomian dunia jika pendidikannya mampu menghasilkan tenaga kerja yang produktif sesuai kebutuhan setempat.  Korea Selatan tampaknya menjadi salah satu negara yang mengikuti jalan pikiran Moller, sehingga melalui KRIVET (Korea Research Instititute for Vocational Education and Traning) mereformasi pendidikan vokasi agar mampu menopang industrinya (Dit. PSMK, 2016). 
Merancang pendidikan vokasi agar menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai tuntutan dunia kerja, semakin tidak mudah. Cepatnya perkembangan iptek menyebabkan pola kerja berubah dengan cepat. Nanotechnology, artificial intelligencerobotics,  3D printingquantum computing dan biotechnology akan menjadi pendorong terjadikan perubahan fundamental pola kerja kita, sehingga  para ahli memprediksi 35% core skills yang saat ini ada akan hilang pada tahun 2020 (World Economic Forum, 2016).  
Oleh karena itu, lulusan pendidikan vokasi tidak cukup hanya terampil di bidangnya saja, tetapi harus mampu berpikir kritis-analisis serta kreatif, karena harus berhadapan dengan pola kerja yang scientific based.  Mereka juga harus mampu belajar dengan cepat agar mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi yang terkait dengan bidang keahliannya atau bahkan “melompat” ke bidang lain.  Dalam konteks inilah pentingnya perubahan prinsip dari kompetensi (competence) ke kapabilitas (capability) (Hase & Davis, 1999; Lester, 2014).  Hase dan Davis mendefinisikan capable people and organisations are those that can operate effectively in unknown contexts and with new problemsSejalan dengan itu studi yang dilakukan oleh Majalah The Economist (2015) menemukan lima modal kapabilitas yaitu problem solving, team working, communication, critical thinking and creativity. Pertanyaannya, bagaimana pendidikan vokasi dapat menghasilkan lulusan dengan kapabilitas itu.
Mengingat perubahan pola kerja berjalan sangat cepat dan sangat sulit melakukan prediksi pola kerja di masa depan, maka pendidikan vokasi yang terlalu spesifik perlu dipikirkan lagi.  Keterampilan yang sangat spesifik cocok untuk pelatihan singkat dan pelatihan lanjutan, yang sudah jelas peserta akan mendapatkan pekerjaan itu.  Namun menjadi kurang tepat jika pekerjaan bagi pesertanya belum jelas dan menjadi tidak efisien jika siswa/mahasiswa belajar bidang “X yang spesifik”, sementara lulusannya bekerja di bidang “Y” (Lassnigg, 2017).
Sangat cepatnya perubahan pola kerja, maka pendidikan vokasi harus dibuat fleksibel sehingga mudah menyesuaikan diri.  Prinsip MEMES (multi entry-multi exit system) yang pernah digagas sekian tahun lalu sudah saatnya dilaksanakan. Untuk itu kurikulum dengan pola modular akan sangat cocok. Dengan pola itu impian Atwater (2015) dan Jagersma (2010), pada saatnya siswa yang menentukan kurikulum yang ingin ditempuh dapat dirintis
Dengan prinsip MEMES yang didukung oleh pola modular, maka pemisahan SMK dengan Kursus Keterampilan menjadi kurang relevan.  Dua jalur pendidikan itu dapat dilebur, sehingga menjadi semacam training center yang didalamnya ada berbagai pendidikan vokasi, mulai pelatihan jangka pendek untuk keterampilan “sederhana”, sampai pendidikan yang memerlukan jangkan panjang.  Dengan pola ini sekat antara SMK dan Diploma juga menjadi longgar. Bukankah SMK 4 tahun pada hakekatnya menempelkan program Diploma 1 pada bagian akhir.  TAFE (technical and further education) di Australia dapat merupakan bahan banding yang baik dalam kajia pendidikan vokasi yang terintegrasi.
Kesuksesan pendidikan sebaiknya diukur dari tingkat kebekerjaan lulusan dan bukan banyaknya lembaga dan siswa.  Bekerja dapat diartikan sebagai karyawan ataupun berwiraswasta.  Oleh karena itu prinsip keseimbangan supply-demand harus dijaga. Agar jumlah, jenis dan jenjang pendidikan vokasi seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia, diperlukan kajian yang mendalam dan dilakukan secara periodik.  Pendirian pendidikan vokasi, tanpa disertai kajian mendalam tentang kebutuhan tenaga kerja akan menyebabkan terjadinya oversupply dan lulusannya menjadi korban. Dari sisi manajemen kejadian seperti itu menyebabkan pendidikan vokasi menjadi tidak efisien.  Studi yang dilakukan oleh Newhouse & Suryadarma (2009) tampaknya layak untuk pelajaran kita bersama dalam mengembangkan pendidikan vokasi.
Agar pendidikan vokasi dapat menopang pertumbuhan industri (dalam arti luas) dan sekaligus memudahkan kerjasama antara lembaga penyelenggara dengan DUDI, maka keserasian jenis dan jenjang pendidikan vokasi dengan potensi daerah perlu diperhatikan.  Jika di suatu daerah yang memiliki potensi perikanan laut dan memang dikembangkan menjadi daerah penghasil ikan, sebaiknya dikembangkan pendidikan vokasi yang terkait dengan itu, dengan spesifikasi yang sesuai.  Jika suatu daerah memiliki potensi pertanian dan diarahkan untuk dikembangkan menjadi lumbung pangan, maka perlu dibangun pendidikan vokasi yang sesuai. Tentu dimungkinkan suatu daerah memiliki berbagai jenis dan jenjang, tetapi yang pokok harus sesuai dengan potensi daerah tersebut. Mungkin pola commodity based vocational education and tranining development dalam menjadi perenungan.  Melalui KRIVET, Korea Selatan tampak menerapkan pola tersebut.
Dalam pendidikan vokasi, kerjasama antara sekolah/lembaga penyelenggara dengan DUDI menjadi salah satu pilar penting.  Kerjasama hanya dapat berlanjut (sustain) jika kedua belah pihak mendapatkan manfaat nyata.  Jika tidak akan berhenti atau mati suri.  Dalam konteks prakerin, salah satu manfaat nyata adalah keberadaan siswa dapat diperhitungkan sebagai bagian tenaga kerja yang produktif.  Artinya, di DUDI harus ada siswa prakerin dalam jumlah yang kurang lebih sama sepanjang tahun.  Mereka telah memiliki bekal yang memadai segera menjadi bagian karyawan yang produkif.  Untuk itu setiap pendidikan vokasi idealnya memiliki partner DUDI yang permanen.  Pola sandwich dual system yang diterapkan di beberapa negara di Eropa dapat menjadi bahan banding yang baik.

Daftar Pustaka
Atwater, Mark. (2015). Engineering Students Develop Their Own Curriculum. https://www.engineering.com/AdvancedManufacturing/ArticleID/9857/Engineering-Students-Develop-Their-Own-Curriculum.aspx.  Diunduh pada 20 Januari 2018 pukul 06.40.
Calhoun, C.C. & A.V.Finch. (1982). Vocational Education: Concepts and Operations. California: Wadsworth Publishing Company.
Direktorat. PSMK. (2016). Laporan Studi Banding ke Korea Selatan.  Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kemendikbud.
Hase, Stewart & L. Davis. (1999). From Comptence to Capability: The Implications for Human Rsorces and Management. https://www.researchgate.net/publication/ 37358999_From_competence_to_capability_the_implications_for_human_resource_development_and_management. Diunduh pada 2 Januari 2018 pukul 18.57.
Jagersma, John. (2010). Empowering Students as Active Participants in Curriculum Design and Implementation. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED514196.pdf.  Diunduh pada 20 Januari 2018 pukul 08.16
Lassnigg, Lorenz. (2017).  “Competence-based Education and Educational Effectiveness” dalam Marin Mulder (Ed).(2017). Competence-based Vocational and Proffesional Education: Bridging the Worlds of Work and Education. Switzerland: Springer International Publishing.
Lester,Stan. (2014). Professional Standards, Competence and Capability.  http://devmts.org.uk/capstds.pdf. Diunduh pada 2 Januari 2018 pukul 19.28.
Moller, Jorgen Orstrom. (2011). How Asia Can Shape the World: From the Era of Plenty to the Era of Scarcities. Singapore: ISEAS Publishing-Institute of Southeast Asian Studies.
Newhouse, David & Daniel Suryadarma. (2009). The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia. Washingtin DC: The World Bank-Human Development Network.
The Economist (Intelligence Unit). (2015). Driving the Skills Agenda: Preparing Students for the Future. London: The Economist.
Unesco-Bangkok (2016). http://www.unescobkk.org/education/tvet/. Diunduh pada 20 Januari 2018. Pukul 08.56.
World Economic Forum. (2016). The Fourth Industrial Revolution: What It Means, How to Respond.https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to. Diunduh pada 17 Mei 2017 pukul 06.42.

Tidak ada komentar: