Rabu, 22 Agustus 2018

Dr. Varaprasad-Meningkatkan Mutu SMK

Beberapa hari lalu saya mengadiri kuliah umum tentang peningkatan mutu SMK oleh Dr. Varaprasad dari Singapore.  Beliau seorang konsultan yang memiliki pengalaman panjang dalam mengembangkan pendidikan vokasi, baik di Singapore maupun di Timur Tengah.  Kuliahnya sangat menarik karena banyak didasarkan dari pengalamannya dalam mengembangkan pendidikan vokasi. 

Jika diringkas, kuliahnya terdiri dari tiga bagian.  Pertama, Varaprasad menjelaskan fenomena perubahan pola pekerjaan di era Industri 4.0.  Sebenarnya apa yang dijelaskan oleh Varaprasad, sebagian besar sudah diketahui umum.  Misalnya sampai tahun 2020 diperkirakan 35% core skills akan hilang, pekerjaan yang sifatnya berulang akan digantikan mesin dan sebagainya.  Namun, Varaprasad memperkenakan istilah baru yaitu NO COLOUR JOBS, yaitu jenis pekerjaan baru yang memanfaatkan kreativitas, misalnya bloger, vloger dan sebagainya. Ibu rumah tangga yang juga menawarkan makanan secara online dan sebagainya.

Varaprasad juga menjelaskan istilah knowledge based skills.  Menurut dia skills tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan (konsep/teori).  Pesepakbola yang baik tidak hanya pandai menendang bola (skills) tetapi juga faham kemana bola harus diarahkan dan sebagainya.  Dokter bedah merupakan contoh lain, karena tidak hanya harus terampil membedah tetapi juga harus faham organ yang ada di sekitar bagian yang dibedah dan bagaimana memperlakukannya.

Kedua, Varaprasad menjelaskan pengalaman Singapore mengembangkan pendidikan vokasi. Menurut Varaprasad, Singapore mengembangkan pendidikan vokasi sesuai dengan dinamika dunia industri.  Oleh karena kurikulum disusun bersama dengan kalangan industri. Namun demikian, harus diingat bahwa dunia industri selalu egois, ingin menang sendiri.  Mereka ingin kurikulum difokuskan ke pekerjaan di industrinya tetapi seringkali tidak mampu menampung semua lulusannya.  Oleh karena itu dibentuk Industrial Training Board (ITB) yaitu suatu lembaga yang merupakan kumpulan kalangan industri untuk bersama-sama mengembangkan kurikulum pendidikan vokasi.

Untuk mendorong kalangan industri mendukung pendanaan pendidikan vokasi, pemerintah Singapore mengeluarkan kebijakan setiap perusahaan yang mempekerjakan karyawan dengan skill rendah diwajibkan membayar dana yang dikumpulkan oleh sebuah badan pemerintah.  Dana itu dipakai untuk membiayai pendidikan vokasi.  Semua perusahaan boleh mengirimkan karyawannya, terutama yang skill-nya rendah, untuk mengikuti pelatihan yang didanai oleh dana tersebut.

Singapore juga menghadapi kenyataan bahwa lulusan SMP (4 tahun) yang pandai tidak tertarik masuk ke pendidikan vokasi.  Oleh karena pendidikan vokasi dibuat megah dengan mega kampus yang mampu menampung 10.000 siswa dengan berbagai fasilitas.  Singapore melakukan kampanye bahwa pendidikan vokasi adalah pendidikan karier.  Artinya, siswa menentukan karier yang akan ditekui kemudian memilih pendidikan vokasi yang cocok. Varaprasad juga menyampaikan, ketika pendidikan vokasi memperoleh siswa yang pandai ternyata berdampak sangat baik. Proses pembelajaran berjalan dengan lebih hidup dan setelah lulus mereka memperoleh jenjang karier yang baik.
Ketiga, Varaprasad menyapaika hasil observasinya terhadap SMK yang dikunjunginya.  Walaupun tidak diungkapkan dengan terbukan, Varaprasad melihat bahwa yang masuk SMK di Indonesia bukan lulusan SMP yang tergolong pandai.  Oleh karena itu Varaprasad mengusulkan bagaimana caranya menarik lulusan SMP yang pandai masuk SMK.  Yang dia usulkan dengan mengubah kepanjanga huruf “K” pada SMK, dari “Kejuruan” menjadi Karier. Jadi kepanjangan “SMK” nanti menjadi “Sekolah Menengah Karier”. 

Apakah perubahan nama itu (seandainya dilakukan) dapat menarik minat lulusan SMK yang pandai, masih harus diuji.  Masyarakat tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan nama, dan lebih terpengaruh pada gengsi yang dihasilkan oleh karier lulusannya.  Mengapa Fakultas Kedokteran sangat populer, karena profesi dokter itu bergengsi.  Mengapa bergengsi, karena kehidupan dokter umumnya sangat baik.  Mengapa dulu LPTK tidak mampu menarik lulusan SMA/SMK yang pandai? Karena profesi guru kurang bergengsi.  Mengapa kurang bergengsi, karena kehidupan guru tidak semapan dokter.  Nah, ketika guru mendapatkan tunjangan profesi sehingga kehidupannya membaik, minat lulusan SMA/SMK masuk LPTK meningkat, walaupun namanya tetap LPTK.

Lantas bagaimana strategi untuk mendongkrak mutu SMK?  Sebenarnya kita dapat belajar ke beberapa SMK yang saat inipun mutunya bagus dan diminati lulusan SMK.  SMK seperti itu umumnya ditunjang dengan sarana yang baik serta dana operasional yang cukup.  Jumlah siswa selalu dibatasi sesuai dengan kapasitas sarana yang ada.  SMK seperti itu tidak mengandakan dana operasional dari iuran siswa dan BOS, tetapi memang ada sumber lain yang cukup kuat.  Sumber tersebut ada yang dari pemerintah untuk SMK yang mendapat prioritas khusus, atau dari Yayasan untuk SMK dibawah yayasan yang kuat atau yayasan yang punya industri atau dari sebuah industri yang memang sebagai pendukung SMK tersebut. Intinya, SMK memerlukan biaya operasional yang besar dan tidak mungkin menggantungkan dari iuran siswa.

Bagaimana dengan guru SMK?  Singapore ternyata meniru Amerika Serikat dalam merekrut guru vokasi. Singapore tidak merekrut guru vokasi dari fresh graduate, tetapi dari mereka yang sudah memiliki pengalaman di industri.  Pola yang sekarang juga diterapkan di Korea Selatan. Varaprasad secara tersirat juga menyarankan pola itu untuk SMK di Indonesia.   Rasanya pola ini perlu dicoba dijabarkan.  Mumpung kita punya UU ASN yang memungkinkan mengangkat P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dengan usian maksimal 50 tahun dan dapat saja langsung menduduki golongan IV, sesuai dengan kompetensinya.  Pada beberapa profesi, misalnya pelaut, banyak diantara mereka yang di usia itu sudah jenuh dan ingin mendapatkan pekerjaan yang yang lebih “nyaman”.  Mungkin profesi guru dapat menjadi salah satu altenatif.

Tidak ada komentar: