Selasa, 26 Juni 2018

PILKADA SERENTAK


Hari ini dilaksanakan Pilkada seretak di banyak propinsi dan kabupaten/kota. Konon ini merupakan pilkada yang sangat menyita perhatian masyarakat dan menyita banyak energi para politisi.  Mengapa?  Karena menyangkut di propinsi dan kabupaten/kota yang berpenduduk besar.  Sebutlah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan dan sebagainya.  Bahkan beberapa pengamat menyebutkan Pilkada tahun ini merupakan pemanasan atau gambaran Pemilu dan Pilpres tahun 2019.

Beberapa hari lalu, saya ngobrol santai dengan beberapa teman lama dan salah satu topiknya adalah Pilkada. Salah satu teman yang ikut ngobrol itu dahulu aktivis mahasiswa dan sekarang terjun ke bidang politik, sehingga menjadi “nara sumber” ketika obrolan menyangkut Pilkada. Peserta ngobrol yang lain umumnya para pendidik dan wiraswasta, waluupun pada umumnya dahulu juga aktif dalam organisasi mahasiswa.

Lucunya, ketika topik obrolannya tentang Pilkada teman politisi itu seakan dikeroyok, diolok-olok dan menjadi bulan-bulanan.  Kasihan juga, karena kadang-kadang sesama teman akrab kalau berkelakar kebablasan.  Secara pribadi saya tidak begitu faham tentang dunia politik, sehingga sampai obrolan buyar karena sudah tengah malam, masih banyak pertanyaan di kepala saya.  Nah, ijinkan saya berbagi.  Minimal untuk mengurangi beban otak saya, syukur kalau ada yang mau menjernihkan.

Pertama, perbandingan politisi sekarang dan jaman kemerdekaan.  Seorang peserta obrolan itu menjelaskan kalau para politisi di era kemerdekaan itu berjuang atas dasar ideologi dengan berani mengorbankan kepentingan pribadi.  Dengan menyebut beberapa nama, teman tadi menunjukkan bagaimana para politisi di era kemerdekaan itu hidup sederhana (bahkan melarat) tetapi gigih memperjuangkan ideologinya.  Menurut dia, politisi sekarang itu menganggap bidang politik dengan pekerjaan, tempat mencari nafkah.  Ideologi tidak penting.  Itulah sebabnya banya politisi yang dengan mudah pindah partai, yang sangat berbeda ideologinya.  Itulah sebabanya para politisi berebut menjadi anggota DPR/DPRD untuk memperoleh penghasilan yang besar.  Apa betul begitu ya? Apakah itu generalisasi yang berlebihan?

Ketika dikeroyok, teman yang terjun ke politik itu mengeluarkan jurus pamungkas dengan menyampaikan: “Itulah kesalahan kalian yang alergi ke politik.  Akhirnya partai politik diisi oleh orang-orang yang tidak baik, sehingga jangan salahkan kalau undang-undang, pimpinan negara, pimpinan daerah serta kebijakannya tidak baik.  Karena undang-undang dan peraturan itu disusun oleh DPR?DPRD yang isinya orang partai politik. Pimpinan negara maupun daerah diajukan oleh partai politik”.  Betul juga ya. Jadi bagaimana ini?  Masuk ke dunia politik takut karena “kotor”, tetapi kalau orang baik tidak masuk kemudian partai politik diisi oleh mereka yang kurang baik.

Kedua, soal koalisi yang seperti gado-gado.  Seorang teman mempertanyakan bagaimana bisa terjadi koalisi partai politik yang berubah-ubah di setiap daerah.  Di propinsi 1 partai politi A berkoalisi dengan B dan C, melawan partai D, E dan F.  Namun di propinsi 2, partai poloitik A berkoalisi dengan D, E melawan partai politik B, C dan F.  Teman politisi ini menjelaskan, itulah dunia politik dan sangat dinamis dan segala kemungkinan dapat terjadi.  Semua partai ingin calonnya jadi, sehingga akan mencari dan mendukung calon yang diyakini bakal menang.

Apakah fenomena itu menguatkan bahwa politisi sekarang bukan orang ideologis, sehingga dengan mudah berbagi koalisi bahkan berkoalisi dengan partai politik yang secara historis memiliki ideologi berbeda jauh?  Teman politisi menjawab dengan enteng: “Itulah seni politik, seni mencari peluang agar dapat posisi yang dapat menentukan kebijakan.  Jika calon yang didukung menang menjadi gubernur/bupati/walikota, maka partai politik itu dapat memasukan perjuangannya menjadi kebijakan daerah”.  Betul juga ya.  Namun apakah itu betul? Atau ada udang di balik batu?

Ketiga, biaya Pilkada.  Seorang kawan minta konfirmasi apakah betul berita bahwa untuk maju menjadi bupati/walikota/gubernur itu memerlukan biaya yang sangat besar.  Ada korang yang menyebut untuk maju sebagai gubernur perlu biaya sampai 300 milyar, untuk menjadi bupati/walikota perlu biaya sampai 150 milyar rupiah.  Teman politisi tidak menjawab secara jelas, jawabannya abu-abu khas seorang politisi.  Dia mengajak berhitung, berapa saksi yang harus diberi uang saku, berapa biaya kampanye, berapa biaya ini dan itu. Ternyata kalau dijumlah memang sangat besar.

Pertanyaannya, dari mana uang itu diperoleh dan bagaimana mendapatkan gantinya.  Mungkinkah penghasilan gubernur itu sebulan lebih dari 300 milyar/60 atau 5 milyar sebulan? Lagi-lagi teman politisi itu tidak menjawab secara jelas.  Dia hanya memberi ilustrasi, ketika seorang tokoh maju menjadi calon gubernur atau bupati atau walikota tentu banyak pendukungnya.  Konon para pendukung itu yang ikut menanggung biaya?  Saiapa pendukung semacam itu?  Apakah mereka rela mengeluarkan uang tanpa mengharap keuntungan?

Merenungkan itu, saya jadi ingat posting dengan gambar Cak Lontong yang mengatan: “Jangan gara-gara pilkada kamu dari bertengkar dengan teman. Ingat kalau kamu sakit yang nengokin temanmu bukan gubernur yang kami pilih.  Ingat kalau kamu butuh uang yang minjemin temanmu bukan gubernur yang kamu bela mati-matian”.  Kalau begitu mari kita mikir yang ringan-ringan saja. Toh seperti nasehat Cak Lontong belum tentu gubernur/bupati/walikota ingat sama kita. 

Tidak ada komentar: