Kamis, 06 September 2018

NOT THE SONG BUT THE SINGER: Pengalaman memandu diskusi di Bank Dunia Jakarta


Tanggal 4 September 2018, saya diminta memandu diskusi di forum pendidikan diadakan oleh Bank Dunia Jakarta bersama Balitbang Dikbud Jakarta.  Diskusi dibagi menjadi tiga putaran dengan tiga topik yang berbeda namun saling terkait.  Saya kebagian memandu putaran pertama, dengan topik Performance Based Teacher Pay dan Teacher Hiring, dengan pembicara Dr. Subandi (Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Masyarakat Bappenas), Dr. Supriano (Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan), Noah Yarrow (Team Leader Bank Dunia Jakarta dan Timor Leste), dan Dewi Susanti (Senior Social Development Specialist Bank Dunia).  Putaran kedua dipandu oleh Pak Ismunadar dari ITB dengan topik Performance Based BOS dengan pembicara Dr. Hamid Muhammad (Dirjen Dikdasmen), Dr. Kamarudin Amin (Dirjen Pendais Kemenag), Javier Luque (Education expert Bandu Dunia Jakarta), Rafael de Hoys (Lead economist di Education Unit Bank Dunia Latin Amerika).  Putara ketiga dipandu oleh Bu Najeela Shihab dari UI, dengan topik Education performance index dan student assessment, dengan pembicara Dr. Totok Suprayitno (Ka Balitbang Dikbud), Dr. Bahrul Hayat (UIN Jakarta dan mantan Sekjen Kemenag), Blane Lewis (Direktur ANU’s Indonesia Project), Rythia Afkar (Economist Bank Dunia).  Peserta diskusi sekitar 40 orang, umumnya pejabat di Kemdikbud, staf Bank Dunia. Fihak luar yang diundang antara lain, pemerhati pendidikan dari perguruan tinggi maupun NGO, misalnya Prof Satryo (dosen ITB dan mantan Dirjen Dikti), Dr. Abdul Malik (konsultan pendidikan ADB), Dr. Itje Chodijah (aktivis Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan), Prof T. Basarudin (Ketua BAN PT dan dosen UI), Dr. Jahja Umar (UIN Jakarta dan mantan Kepala Pusat Penelitian), Prof Iwan Pranoto (dosen ITB).

Walaupun tampaknya pembicara dan pesertanya “tokoh-tokoh” plus “bule-bule” Bank Dunia, ternyata pemikiran yang muncul hampir tidak ada yang baru dan juga tidak terlalu dalam.  Pada saat membahas performance based teacher pay, yang muncul hasil studi Bank Dunia bahwa tidak ada dampak tunjangan profesi terhadap hasil belajar siswa, absensi guru yang mendapat tunjangan profesi justru lebih tinggi dibanding rekannya yang belum mendapatkan tunjangan profesi.  Itu temuan 3 tahun lalu dan sudah sering dibahas.  Menurut saya studi itu hanya “dipermukaan” karena tidak mengungkap faktor penyebabnya.  Hasil belajar yang dilihat dari nilai UN rasanya tidak cukup valid untuk menentukan kinerja guru. Kita sama-sama tahu banyak variabel yang berpengaruh terhadap nilai UN.  Kehadiran guru juga demikian.  Saat studi itu dilakukan, baru separuh guru yang mendapat tunjangan profesi dan pada umumnya mereka guru senior.  Semua orang faham bagaimana tingkat kehadiran guru jika dikaitkan dengan senioritas.  Jadi simpulan bahwa tunjangan profesi tidak bepengaruh terhadap kinerja guru adalah sebuah simpulan yang terlalu simplifikatif.  Bahkan Pak Supriano menunjukkan pengaitan tunjangan profesi dikaitkan dengan kinerja guru sedang dirumuskan mekanismenya.

Ketika membahas teacher hiring, tim Bank Dunia mengusulkan agar seleksi menjadi guru dilakukan dengan ketat, sehingga hanya mereka yang “pandai” yang menjadi guru.  Apakah itu hal baru?  Menurut saya tidak. Hampir semua orang mengatakan begitu. Yang menjadi masalah adalah bagaimana operasional keinginan itu.  Bahkan pasal 23 ayat (1) UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengembangan pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama agar lebih efisien dan bermutu.  Jadi kesadaran pentingnya mendapatkan calon guru yang bermutu sudah ada.  Sekali lagi yang menjadi problem adalah kemauan dan kemampuan untuk melaksanakannya. 

Pada putaran kedua, Dr. Rafael dari Bank Dunia mencotohkan bagaimana sebuah distrik di Brasil mampu menggunakan anggaran semacam BOS untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bagaimana pemberian BOS dikaitkan dengan kinerja sekolah.  Apa itu sesuatu yang baru?  Tidak. Sudah banyak diskusi tentang efektivitas BOS, bahkan mempertanyakan apakah BOS tidak diarahkan untuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan, sehingga hanya sekolah “level bawah” yang mendapatkan.  Juga sudah dibahas adanya duplikasi perhitungan anggaran pendidikan (yang di dalamnya ada komponen BOS) dari DAU yang dihitung oleh pemerintah pusat tetapi juga dihitung lagi di propinsi/kabupaten/kota. Akibatnya, di sebagian besar kabupaten/kota anggaran pendidikannya mengandalkan dari DAU, sedangkan yang berasal dari PAD sangat minim.   

Pada pembahasan student assessment di putaran ketiga juga tidak ada yang baru, bahkan seakan ada kontradiktif.  Dr. Rythia Afkar dari Bank Dunia menyarankan penggunaan standardized test sejak kelas awal SD, sementara itulah yang ditentang banyak fihak karena tes seperti itu tidak merangsang anak berpikit alternatif.   Sementara Dr. Blane Luwis justru menjarankan penggunaan education index yang diperoleh dari normalized skor hasil belajar digabung dengan tingkat kenaikan kelas.

Yang menggelitik adalah, walaupun yang diungkapkan di forum itu praktis tidak ada yang baru, tetapi banyak peserta mengangguk-angguk.  Saya tidak tahu apa pikiran peserta di balik itu.  Yang saya takutkan, mereka begitu mempercayai apa yang disarakan tim Bank Dunia karena yang menyampaikan “bule” apalagi dilabeli ahli Bank Dunia.  Tampaknya ungkapan not the song but the singer masih berlaku di kalangan elit pendidikan kita.  Kita silau karena yang mengatakan pada “bule” dan bukan terhadap apa yang dikatakan.

Tidak ada komentar: