Kamis, 27 September 2018

KEBIJAKAN ZONASI DALAM PPDB


Tahun ini kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dilaksanakan secara nasional dan menimbulkan polemik, bahkan Mendikbud terpaksa harus turun tangan.  Sejauh yang saya tahu, PPDB dengan zonasi, artinya penerimaan siswa baru menggunakan pertimbangan utama kedekatan antara tempat tinggal calon siswa dengan sekolah yang diinginkan.  Tentu ada kuota yang diberikan untuk calon siswa yang tempatnya jauh dari sekolah, namun jumlahnya kecil sehingga hanya mereka yang sangat pandai yang dapat memilih sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya.

Sebenarnya pola itu bukan sesuatu yang baru.  Seingat saya, Pemkot Surabaya sudah melaksanaan pola itu cukup lama dengan nama sistem rayon.  Saya termasuk mendukung pola itu, dengan dua alasan.  Pertama, banyaknya siswa yang bersekolah di tempat jauh dari rumahnya akan menyebabkan transportasi tambah padat.  Belum lagi jika dihitung berapa banyak bensin atau biaya transportasi yang dihabiskan untuk siswa pulang pergi ke sekolah yang jauh dari rumahnya.  Saya pernah berkelakar, jika di Surabaya ada 1 juta siswa yang bersekolah yang jauh dari rumahnya dan setiap hari memerlukan bensin 2 liter untuk pergi sekolah, maka dalam 1 hari ada 2 juta liter bensin yang dihabiskan.  Jika dalam satu bulan ada 24 hari sekolah, maka dalam 1 tahun diperlukan bensin 12x24x2 juta liter atau 576 juta liter.  Sangat besar bukan?

Kedua, pola rayon akan memaksa pemerintah kota untuk memeratakan mutu sekolah.  Maksudnya mengupayakan agar mutu sekolah merata di semua wilayah.  Jika Surabaya dijadikan contoh dan sudah dikenal SMA yang baik itu “SMA Kompleks” di Surabaya Pusat, maka Pemkot Surabaya harus mengupayakan agar di wilayah Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan dan Surabaya Barat agar ada SMA yang mutunya setara dengan SMA Kompleks, sehingga lulusan SMP di wilayah tersebut punya peluang mendapatkan SMA yang baik.  Itulah mengapa, sebelum pola rayoninasi, Pemkot Surabaya mengembangkan apa yang disebut “sekolah kawasan”.  Saat itu Pemkot Surabaya mengembangkan beberapa sekolah negeri di wilayah Utara, Timur, Selatan dan Barat agar mutunya setara dengan SMA di tengah kota.  Salah satu hasil dari program itu misalnya SMA 15 di Menanggal (Surabaya Selatan), SMP 19 (Surabaya Timur) yang mutunya sudah setara dengan sekolah baik di Surabaya Pusat.

Pentahapan itu yang menyebabkan PPDB dengan sistem rayon yang diterapkan di Surabaya dan kemudian berubah nama menjadi PPDB dengan sistem zonasi tidak menimbulkan gejolak berarti di Surabaya. Tetap ada yang tidak puas, tetapi tidak semasif daerah lain, karena di setiap wilayah sudah ada sekolah yang mutunya baik. Ditambah lagi di Surabaya muncul sekolah-sekolah swasta yang bermutu bagus yang umumnya justru berlokasi di pinggiran kota, sehingga orang tua yang tidak cocok dengan sekolah negeri “terbaik” di daerahnya dapat memasukkan anak ke sekolah swasta tersebut.

Sepanjang yang saya baca di koran dan lihat di televisi, orang tua yang protes umumnya beralasan di wilayahnya tidak ada sekolah yang bermutu bagus, sehingga merasa kebingungan.  Mungkin memang ada sekolah yang bermutu baik dan tidak dibatasi zonasi, tetapi umumnya ber-SPP mahal. Oleh karena itu, orang tua yang keuangannya “terbatas” dan masih memilih sekolah negeri merasa kebingungan untuk mendapatkan sekolah bagi anaknya dan akhirnya protes.

Fenomena protes orang tua terhadap kebijakan PPDB berzonasi semakin memperkuat keyakinan bahwa mutu pendidikan kita belum merata.  Kesenjangan mutu pendidikan, tidak hanya antara Jawa dan Luar Jawa sebagaimana sering disebutkan orang, tetapi juga di Jawa dan bahkan dalam satu kabupaten/kota. Tidak hanya di kota kecil tetapi juga kota besar. Sebagai contoh di Surabaya, ada sekolah-sekolah yang bagus tetapi juga masih banyak sekolah yang mutunya jauh dari harapan.

Kita dapat melihat ada sekolah yang tergolong cyber school, tetapi juga ada sekolah masih dengan ruang dan papan tulis.  Jika menggunakan tahapan industri, sekolah kita khususnya di kota besar sudah ada yang terketegori industri 4.0, tetapi juga masih ada yang tergolong industri 2 bahkan industri 1.  Jika menggunakan istilah Alvin Tofler, sudah ada sekolah yang tergolong gelombang 3 tetapi juga masih ada sekolah yang tergolong gelombang 1.

Dengan munculnya protes orang akibat kebijakan PPDB berzonasi mengingatkan kita semua bahwa kesejangan mutu pendidikan kita sangat lebar dan mendorong kita semua untuk mengatasinya. Menurut saya, fungsi pemerintah adalah menyempitkan kesenjangan penddidikan.   Enersi pemerintah yang terbatas harus difokuskan untuk membantu sekolah yang mutunya rendah.  Ibarat kita punya anak banyak, biarkan sekolah yang mutunya sudah bagus dan biasanya diminati banyak orangtua untuk mandiri, enersi kita untuk membantu sekolah-sekolah yang mutunya kurang baik dan biasanya tidak diminati oleh orangtua.  Semoga.

Tidak ada komentar: