Minggu, 28 April 2019

JANTUNG BERDEBAR DI MASJID CORDOBA


Salah satu keinginan saya ke Spanyol adalah untuk mengunjungi “masjid Cordoba” yang sekarang menjadi obyek wisata terkenal.  Mengenang kejayaan Islam di masa lalu.  Yang pernah saya baca di Wikipedia, masjid tersebut dibangun pada masa Dinasti Umayyah, namun setelah Islam kalah perang wilayah tersebut dikuasai oleh bangsa Spanyol yang beragama Kristem, masjid tersebut diubah fungsinya menjadi Katedral Gotik beberap bagian direnovasi dengan gaya arsitektur Moor.

Oleh karena itu begitu mendapat kesempatan mengikuti TVET International Conference di Valencia Univ, saya mengatur waktu ada sebelumnya dapat ke Cordoba.  Saya terbang dari Edinbrugh Sabtu tgl 27 April pagi-pagi dan mendarat di Malaga sekitar pukul 11 waktu setempat.  Selanjutnya naik kereta api ke Cordoba setelah makan siang dulu di stasiun Malaga.  Sampai Cordoba sudah sore, sekitar pukul 15an.  Turun dari kereta disambung dengan taksi yang hanya bisa berhenti di tepi jalan, karena penginapan saya di Jewis centre, kawasan yang konon dahulu daerah kaum Yahudi.  Lokasinya di gang sempit dan mobil tidak dapat masuk.  Jadi saya, anak dan menantu mesti jalan sekitar 50 meter sambal menarik koper.  Sorenya istirahat sambil mencari informasi tentang Cordoba.

Kami dapat informasi kalau ada tradisi tidur siang di masyarakat Spanyol.  Infonya semua toko dari kantor tutup anatara jam 13.00 s.d 17.00, karena orangnya istirahat tidur siang.  Mendengar informasi itu, saya jadi teringat diskusi antara Ustad Taufiq AB dengan Pak Latif Burhan sekian tahun lalu.  Pak Taufiq menyampaikan kalau Nabi Muhammad biasa tidur siang dan itu baik bagi kesehatan.  Sebaliknya Pak Latif mengatakan tidur siang itu dilarang, masak di jam kantor tidur. Mungkinkah kebiasaan itu yang sekarang menjadi tradisi di Cordoba, mengingat Cordoba dahulu merupakan ibukota Spanyol di era Islam.

Apa kaitannya tidur siang dengan pergi ke masjid Cordoba?  Saya takut jam 13.00 masjid ditutup, sedangkan jam 09.00 baru dibuka.  Apalagi informasinya pengunjung sangat banyak dan harus antri waktu masuk. Juga jumlah orang di dalam masjid dibatasi, sehingga jika dirasa penuh pengunjung lain diharuskan menunggu di luar dahulu.  Oleh karena itu kami memutuskan untuk ke masjid Cordoba pagi-pagi. Kami berangkat jam 08.10 dengan harapan dapat masuk rombongan pertama.   Dan betul, pada pukul 08.45an kami sampai ke gerbang sudah ada sekitar 20 orang yang antri, pada hal pintu belum dibuka, sehingga saya dengan istri, anak dan menantu masuk rombongan pertama.


Begitu dibuka, rombongan masuk gerbang dan diarahkan ke bagian penjualan tiket di sudut halaman masjid.  10 euro per orang.  Sambil membeli tiket saya sempat mengamati halaman masjid yang dikelilingi pagar setinggi 15 meteran, mirip benteng.  Di halaman ada beberapa pohon kurma, banyak pohon jeruk Spanyol dan cemara pecut.  Juga ada menara yang semula saya kira menara masjid ternyata ada genta atau bel besar, berarti “milik” gereja.  Atau mungkin semula menara masjid tetapi setelah masjid berubah menjadi katedral diubah menjadi menara gereja dan diberi  genta.

Setelah membeli tiket, kami masuk ke dalam masjid.  Sepertinya pintu utama yang asli ditutup, dan pengunjung masuk melalui pintu samping yang paling kanan.  Begitu masuk, saya menyadari betapa megah masjid Cordoba.  Sebagai bangunan yang dibuat pada abda ke 8, menurut saya sudah sangat megah.  Pola bangunan ada kemiripan dengan masjidil haram, dengan lengkungan-lengkungan antar tiang yang terbuat dari marmer.

Melihat ornamen masjid, tampak sekali dominasi kritiasi, karena banyak hiasan lukisan dan patung seperi lazimnya gereja. Saya berusaha mencari peninggalan Islam yang khas dan menemukan lokasi imaman (tempat imam sholat).   Masih utuh, tetapi dipagari besi dan ada penjaga di dekatnya.  Tidak boleh lagi sholat di situ.  Lama saya berdiri dan merenung, mencoba berkotemplasi bagaimana situasi saat masjid masih berfungsi dahulu.  Jantung saya terasa berdegub.  Saya membayangkan betapa perjuangan untuk membangun masjid sebesar itu di abad ke depalan yang tentunya teknologi masih sederhana.  Lantai masjid dari marmer,begitu pula tiangnya, yang tentu harganya mahal dan pembuatannya tidak mudah.



Di dekat imaman ada semacam batu putih tipis selebar 1 x 2 meter bertuliskan huruf Arab gundul yang jujur saya tidak dapat membacanya.  Artefak itu ditutupi dengan kaca, sehingga pengunjung hanya dapat melihat dari jarak sekitar 2 meter.  Di dekatnya juga ada “jam matahati” yang ditempelkan di tembok.  Sayang tidak dapat dilihat berfungsi atau tidak, karena didekatnya ada lampu, sehingga banyangan yang tampak di jam itu bukan dari sinar matahari melainkan dari lampu tersebut.

Kira-kita ditengah masjid, saya menjumpai sesuatu yang saya duga itulah tanda utama bahwa masjid diubah fungsinya menjadi katedral.  Sepertinya ada bagian masjid yang dibongkar dan disitu dibuat semacam mihrab tempat pastur menyampaikan kotbah. Tampak sekali ornamen asli masjid yang tentu bernuasa Islam dan ornament gereja yang dihiasi gambar dan patung.  Lantai mihrab maupun atapnya dibuat lebih tinggi.  Atap bagian mihrab itu sangat mungkin dibuat dengan memotong atap masjid yang asli, karena langit-langitnya jauh lebih tinggi dibanding langit-langit masjid aslinya.

Di dekat mihrab itu saya menjumpai kursi berderat dan dipagari dengan tali merah.  Ternyata lokasi itu untuk acara kebaktian.  Ada tiga lokasi seperti itu.  Saya tidak dapat informasi apakah dibuat tiga karena ada tiga ordo yang berbeda.  Yang jelas dengan adanya tanda itu berarti  masjid itu masih berfungsi sebagai gereja, walupun sampai saja keluar sekitar pukul 11an tidak ada aktivitas kebaktian. 

Di dinding sekeliling masjid, kecuali sekitar imaman, semuanya menuasa kristiasi yang dipenuhi dengan gambar dan patung-patung.  Namun demikian jika melihat ke tengah nuansa masjid masih tampak dominan.  Bentuk tiang dan penyangga atap lekat dengan bentuk masjid.  Ruangan besar yang datar tanpa pembatas juga merupakan bentuk khas masjid.

Tidak ada komentar: