Selasa, 30 April 2019

PASAR KLIWON DI CORDOBA


Karena baru pertama ke Spanyol dan tahu tentang Spanyol hanya dari bacaan yang sangat terbatas, maka saya ingin sekali melihat tradisi keseharian orang Spanyol.  Oleh karena itu begitu ada informasi bahwa di Cordoba ada Sunday Market (Pasar setiap hari Minggu) saya langsung ingin melihatnya. Apalagi informasinya di pasar itu ada sekitar 240 stan dan dijual berbagai barang produk lokal. Jarak tempat tinggal dengan pasar tersebut hanya sekitar 25 menit jalan kaki, sehingga terjangkau dengan jalan kaki pelan-pelan.  Suhu udara saat itu juga sekitar 27-30 derajat sehingga sudah biasa bagi orang Surabaya.

Kami, saya, isteri, Kiki dan Roy jalan kaki pelan-pelan ke Sunday Market sambil lihat-lihat kiri kanan.  Mencermati orang yang lalu lalang, saya mendapat kesan bahwa wajah orang Spanyol ada nuansa Timur Tengah-nya.  Saya juga menjumpai nama-nama yang bernuasa Arab, misalnya Al Manzor (nama hotel), Haman (nama salon) dan sebagainya.  Bahkan ketika makan malam di restoran kecil dekat tempat tinggal juga ada menu yang “Arabic”. Mungkin itu akulturasi selama 2 abad Islam memerintah di Spanyol dan Cordoba merupakan ibukota negara saat itu.

Bahwa warna kulit orang Spanyol lebih “gelap” dibanding orang Belanda dan Inggris saya faham.  Bahwa rambut orang Spanyol cenderung hitam dan tidak pirang atau merah seperti orang Jerman dan Skotlandia saya faham, tetapi yang saya lihat wanita di Spanyol lebih “modis” bahkan lebih di banding orang Perancis, apalagi orang Jerman yang tidak pernah pakai lipstik.  Wanita Spanyol dandan pakai lipstik, alis dan sebagainya.  Mereka cenderung mengenakan pakaian yanh ketat dan terbuka, bahkan banyak jalan-jalan memakai laging dan kaos ketat, sehingga lekuk-lekuk badannya kelihatan.  Itu tidak hanya untuk anak-anak remaja, tetapi juga ibu-ibu yang sudah berumur.

Cordoba merupakan daerah wisata, sehingga di hari Senin juga sangat banyak wisatawan. Namun saya menangkap yang banyak wisatawan lokal, karena dari bahasanya saya menangkap mereka umumnya berbicara bahasa Spanyol.   Sepanjang jalan, kiri-kanan dipenuhi toko souvenir dan restoran kecil-kecil.  Kata Kiki, orang Spanyol biasa jalan-jalan dan ketika capai terus duduk dan minum atau makan makanan kecil.  Mungkin itu yang menyebabkan banyaknya restoran-restoran kecil sepanjang jalan.  Bahkan banyak yang tempat makan/minumnya di halaman atau tempat terbuka dengan diberi payung-payung dari kain yang dapat dibuka-tutup.

Kami sempat melewati sebuah gereja dan tampaknya ada pernikahan atau pesta apa, karena di depannya banyak orang berpakaian resmi (jas) dan para wanitanya dandan lengkap.   Namun yang mengherankan sampai saya pulang orang-orang masih banyak yang berdiri di depan pintu gereja itu.  Apakah ada beberapa pernikahan (ingat saya disebut pemberkatan) yang bergantian atau ada kebaktian atau acara lain, jujur saya tidak tahu.  Yang menarik, saat kami makan siang di restoran kecil depan gereja itu, banyak orang yang tadinya berdiri di depan pintu gereja dengan pakaian lengkap, kemudian juga makan di tempat kami makan. 

Sampai di pasar, saya menjumpai sesuatu yang menarik.  Stan untuk jualan hanya berupa stan darurat dengan atap kain persis stan kaki lima di Surabaya.  Antara stan satu dengan lainnya juga tidak ada pembatas yang jelas.  Jadi batasnya ya, hanya berupa lorong kecil sekitar 1 meteran.  Yang dijual sangat beragam.  Sayur mayor, buah-buahan, makanan atau camilan khas Spanyol, baju, sepatu, dan sejeneisnya.  Mirip pasar Pucang di Surabaya.

Yang sangat menarik, penjualkan beteriak-teriak menawarkan dangannya.  Oleh karena itu suasana pasar jadi riuh.  Apalagi juga terjadi tawar menawar antara pembeli dan penjual. Ketika isteri saya membeli buah zaitun yang diasinkan dan asinan dari timun khas Spanyol ditawari untuk ngicipi. Kami juga menemui penjual asparagus yang menjajakan dagangannya dalam gerobak di tengah jalan sambil teriak-terak menawarkan. Mirip pasar Kliwon di Ponorogo.

Apakah pasar itu ada setiap hari?  Ternyata tidak, dan hanya ada pada hari Minggu.  Pada hari lain tempat itu menjadi lapangan terbuka dan seringkali untuk parkir mobil.  Lantas para penjual itu di hari lain kerja apa?  Tidak ada informasi yang jelas, ada yang mengatakan memang seperti tradisinya, sehingga di hari lain penjual mengerjakan pekerjaan lain.  Namun jawaban ini sudah dinalar, lha kalau sayuran atau buah-buahan tidak habis dan harus menunggu satu minggu lain pastilah akan rusak.  Ada informasi ada pasar di tempat lain pada hari-hari lain.  Mirip seperti di Jakarta, ada pasar Minggu, pasar Senin dan seterusnya yang konon di masa lalu hanya pada hari-hari itu pasarnya buka.  Mirip di Ponorogo, kampung saya, ada pasar Kliwon di dekat rumah yang hanya ramai di hari Kliwon, ada pasa Legi di pusat kota yang hanya ramai di hari Legi.  Hari-hari itu disebut “dino pasaran” atau hari waktu pasar ramai.  Apa memang tradisi pasar di Cordoba sama dengan di Indonesia?  Jujur saya tidak mendapatkan informasi. 

Tidak ada komentar: