Rabu, 03 Juli 2019

ZONASI DAN AFIRMASI


Bulan Juni lalu, khalayak pendidikan diributkan oleh berita tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) Zonasi.  Di Surabaya dan beberapa daerah lain bahkan terjadi demonstrasi.  Akhirnya Kemendikbud merevisi Permendikbud No. 51/2018 yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan PPDB Zonasi.  Melalui Surat Edaran No. 3/2019, proporsi siswa jalur prestasi yang semula maksimal 5% dinaikkan menjadi 15%, sedangkan jalur zonasi yang semula minimal 90% diturunkan menjadi 80%.  Detik.com menginformasikan kalau Gibernur Jawa Tengah “memodifikasi” proporsi tersebut menjadi 60% untuk zonasi, 20% untuk prestasi, dan 20% untuk kepindahan orang tua.  Apakah perubahan proporsi tersebut meredakan kegelisahan orangtua?  Jujur, saya tidak tahu. 

Seingat saya, PPDB dengan zonasi sudah dilakukan tahun lalu dan juga terjadi keresahan, walaupun tidak sebesar sekarang.  Saya juga  sudah menulis tentang itu di blok ini pada 27 September 2017 dengan judul Kebijakan Zonasi dalam PPDB.  Tulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi tulisan tersebut dengan beberapa konsep yang mendasar.

Menurut saya, PPDB Zonasi bukanlah tujuan melainkan alat (means) untuk mencapai tujuan yang sering disebut Pak Mendikbud yaitu pemerataan mutu pendidikan. Kebijakan baik yang layak didukung.  Dalam konteks ini, kata ”pemerataan” tidak dimaknai seperti meratakan lahan saat akan membangun gedung, dengan mengurangi yang tinggi dan menaikkan yang rendah sehingga ketinggian lahan sama di semua titik.  Namun semua siswa mampu berprestasi optimal, sementara mutu sekolah tidak jauh berbeda satu dengan yang lain.


Penelitian John Hettie (2011) menemukan prestasi siswa itu 49% dipengaruhi oleh kemampuan dasar yang dimiliki, 7% oleh orangtua, 30% oleh guru, 7% oleh sekolah, dan 7% oleh teman bermain.  Dengan asumsi bahwa tingkat sosial ekonomi masyarakat terdistribusi merata menurut zonasi tempat tinggalnya, kebijakan PPDB Zonasi akan mendistrbusikan potensi 49% + 7% = 56% potensi peserta didik, yaitu dari kemampuan dasar dan tingkat sosial ekonomi orangtua.  Untuk konteks Indonesia, mungkin asumsi bahwa tingkat sosial ekonomi orangtua terdistribusi secara geografis itu yang perlu diuji.  Di beberapa kota umumnya lokasi perumahan itu seperti tersegmentasi.  Ada perumahan kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah.  Ada juga kantong-kantong kampung lama yang umumnya merupakan tempat tinggal masyarakat tingkat menengah ke bawah.  Keluarga muda yang berasal dari kampung lamapun kalau sudah “berhasil” cenderung bertempat tinggal di perumahan baru.  Mungkin ingin berada di lingkungan yang sesuai dengan tingkat sosial ekonominya.

Yang lebih repot kalau kemudian sekolah-sekolah yang saat ini bagus berada di lokasi perumahan elit atau kelas menengah, sementara sekolah di lokasi kampung lama atau perumahan sederhana mutunya belum bagus.  Di kabupaten diluar kota besar seperti Ponorogo, Bojonegori dan semacam itu, umumnya sekolah yang bagus berada di kota, sedangkan sekolah-sekolah ke desa dan kecamatan luar kota umumnya belum bagus mutunya.  Oleh karena itu, pembuatan zonasi dalam PPDB harus memperhatikan peta mutu sekolah dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, sehingga anak-anak dari masyarakat sosial ekonomi rendah juga punya peluang masuk ke sekolah yang bermutu baik.

Mengapa bulan lalu terjadi demonstasi?  Gambar di samping mungkin dapat menjelaskannya. Orangtua yang kaya dan peduli pada pendidikan anaknya, saya duga tidak akan risau dengan PPDB Zonasi.  Jika rumahnya tidak berada di zona sekolah bagus, toh mereka dapat menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang top.  Dikotomi sekolah negeri-swasta sekarang juga semakin hilang.  Pendaftar ke sekolah swasta “bagus” di Surabaya, seperti Al Himah, Muhammadiyah Pucang, Al Falah, TPP Khadijah, Petra, Santa Maria, St Louis, bukan mereka yang tidak diterima di sekolah negeri.  Tetapi, dengan argumentasi tertentu memang orangtua ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.


Yang berdemo, dugaan saya adalah orangtua yang tingkat ekonominya menengah ke bawah tetapi peduli pada pendidikan anaknya.  Ketika rumah mereka tidak berada di zona sekolah yang “baik”, mereka merasa kehilangan kesempatan.   Apalagi jika mereka merasa sulit untuk bersaing di kuota 5% jalur prestasi.   Saya dapat informasi yang berdemo itu termasuk beberapa guru, karena guru umumnya termasuk kategori masyarakat kelas menengah tetapi sangat peduli pada penddikan anaknya.

Bukankah dengan anak-anak mereka masuk ke sekolah di zonanya yang sekolah mutunya belum bagus akan membuat sekolah tersebut menjadi bermutu?  Betul tetapi tentu perlu waktu, mungkin lima sampai sepuluh tahun, sehingga mereka merasa anaknya akan menjadi tumah sebagai pendongkrak mutu sekolah di zonanya.  Mungkin kita mengatakan, memang setiap kebijakan memerlukan pengorbanan.

Lantas adakah cara untuk mengurangi pengorbanan tersebut, sekaligus menghindari keresahan orangtua?  Menurut saya ada yaitu afirmasi dukungan terhadap sekolah yang mutunya belum bagus.  Pemerintah perlu fokus membantu sekolah-sekolah yang mutunya belum bagus, khususnya yang berada di desa dan zona masyarakat kelas menengah ke bawah.  Sekolah-sekolah di pedesaan dan zona perumahan kelas menengah ke bawah perlu diberi perhatian, agar anak-anak di zona tersebut dididik oleh guru yang bagus dengan sarana yang bagus pula.   Jika mungkin afirmasi dilakukan lebih dahulu sebelum PPDB Zonasi diberlakukan secara ketat. Semoga.




Tidak ada komentar: