Senin, 08 Juli 2019

SYSTEM THINKING DAN PARETO


Minggu lalu saya terlibat  dalam 3 kali diskusi dengan topik yang hampir sama, yaitu rekonstruksi pendidikan.  Dua kali, lebih tepatnya dua hari,  di Balitbang Dikbud dan sekali di forum FGD yang diadakan oleh NU Circle.  Tampaknya, menjelang kabinet baru banyak pihak yang ingin menyumbangkan pemikiran bagaimana memperbaiki mutu pendidikan ke depan.  Niat yang baik.  Walaupun ada juga orang yang curiga, itu untuk kendaraan memperkenalkan diri ke pemegang kekuasaan.  Bagi saya, sudahlah biarkan apa niatnya, yang penting sebagai komponen bangsa yang menekuni bidang pendidikan dapat menyumbangkan pemikiran.

Mengikuti 3 kali diskusi tersebut, kesan saya kita terbiasa menyampaikan symptom (meminjam istilah bidang kedokteran) dan bukan penyakit di balik symptom itu.  Kita biasa menyampaikan fenomena berupa kasus-kasus yang teramati, dan kurang biasa menganalisis apa penyebab fenomena itu terjadi.  Mungkin itu yang menyebabkan penyelesaian masalah pendidikan terkesan tambal sulam dan tidak pernah tuntas.

Sepanjang saya pernah belajar, setiap fenomena yang tampak itu terkait dengan berbagai hal yang sangat mungkin tidak tampak.  Dalam teori system thinking, faktor tersebut saling mempengaruhi.  Jika keterkaitan dan hubungan sebab akibat antara berbagai faktor itu dapat ditemukan, maka dapat ditemukan fenomena yang tampak itu akibat oleh apa.  Ibarat orang sakit panas, dapat diketahui apakah itu akibat demam atau tipus atau demam berdarah.  Jika penyebab itu diketahui maka pengobatan dapat dilakukan dengan tuntas.



Teman-teman BAN SM (Badan Akreditas Nasional Sekolah dan Madrasah) pernah menganalisis data-data lebih dari 12 ribu sekolah dan menemukan hasil seperti gambar di samping.  Jika dicermati dengan saksama, manajemen sekolah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi lulusan. Memang tidak da pengaruh langsung, tetapi berpengaruh terhadap kinerja guru, pengadaan sarana-prasarana, penyediaan anggaran.  Sementara kinerja guru berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik langsung maupun melalui pemilihan bahan ajar (pelaksanaan kurikulum).  Pada akhirnya proses pembelajaran itulah yang menentukan kualitas lulusan.

Simpulan bahwa manajemen sekolah sangat berpengaruh terhadap kinerja sekolah dapat dikonfirmasi secara empirik, karena ketika sekolah berganti kepala sekolah seringkali kondisi sekolah berubah signifikan.   Secara teoritik, sekolah disebut sebagai organisasi yang longgar sistemnya, sehingga pimpinan memiliki kewenangan yang sangat luas, sehingga kebijakan yang diambil dapat mengubah situasi sekolah secara signifikan.

Jika simpulan tersebut digunakan sebagai dasar perbaikan mutu pendidikan dan kemudian dikaitkan dengan konsep Pareto, maka manajemen sekolah menjadi faktor krusial yang memiliki pengaruh berantai pada mutu sekolah.  Dengan demikian, jika energi terbatas, maka usaha peningkatan mutu pendidikan sebaiknya dimulai dari perbaikan manajemen sekolah.  Manajemen sekolah dapat berjalan dengan baik, jika kepada sekolah memiliki kompetensi bagus dan mendapatkan kesempatan cukup untuk melakukan inovasi.   Oleh karena itu, mendapatkan kepala sekolah yang baik dan memberikan ruang gerak yang cukup agar yang bersangkutan berinovasi merupakan salah satu kunci peningkatan mutu pendidikan.

Tidak ada komentar: