Senin, 16 Maret 2020

KARAKTER SEBAGAI KOMPAS KEHIDUPAN


Tanggal 26 Maret 2020 semestinya saya mengisi seminar nasional bertema Pendidikan Karakter di Universitas PGRI Yogyakarta.  Namun seminar ditunda karena pandemik Covid 19 yang kini menakutkan.  Ketika menerima kontak dari panitia beberapa bulan lalu, saya senang sekali karena informasinya yang akan hadir adalah mahasiswa PGSD dan guru-guru di sekitar Yogyakarta.  Pendidikan di SD adalah tahapan strategis untuk menumbuhkembangkan karakter positif pada anak-anak.  Lebih dari itu guru SD dan mahasiswa PGSD biasanya sebagian besar wanita yang pada saatnya menjadi ibu atau sudah menjadi ibu yang memegang peran sentral dalam pendidikan karakter anaknya.  Tulisan pendek ini merupakan inti yang semula ingin saya sampaikan di seminar itu.  Naskah pendek ini sengaja menggunakan pendekatan praktis dan bukan kajian akademik yang  mungkin tidak mudah dicerna.


Jauh hari Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan pada dasarnya upaya mengembangkan karakter, pikiran dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh dipisahkan demi kesempurnaan perkembangan anak-anak. Berbeda dengan taksonomi Bloom yang menyebutkan kognitif (identik dengan pikiran) pada urutan pertama, Ki Hajar Dewantara menyebutan karakter (identik dengan afektif) pada urutan pertama.  Apakah itu kebetulan atau memiliki disengaja?  Saya menduga itu sengaja, karena disamping bapak pendidikan, Ki Hajar merupakan filsuf yang kental dengan pemikiran kehidupan. 

Soemarno Soedarsono (2013), salah satu dosen Lemhanas dan penulis buku “Karakter Mengantar Bangsa  dari Gelap Menuju Terang”, menyebutkan karakter yang menuntun perilaku seseorang. Memang karakter bukan sesuatu yang fix, bukan bawaan lahir sebagaimana fitrah Illahi. Artinya karakter itu seperti iman yang bisa naik dan turun.  Namun yang ingin disampaikan di awal tulisan karakter itu ibarat kehidupan, yang menuntut perilaku seseorang.  Meminjam metaphora Al Ghazali, hati itu ibarat raja yang menentukan apa yang harus diperbuat.  Otak itu ibarat perdana menteri yang memikirkan bagaimana agar tugas yang diberikan raja dapat berjalan dengan efektif dan efisien.  Kaki dan tangan itu ibarat tantara/karyawan yang bertugas melaksanakan skenario kerja yang telah dirancang oleh perdana menteri.

Mendasarkan pada pendapat Ki Hajar, Soemarsono dan Al Ghazali, maka apa yang dilakukan oleh seseorang mencerminkan karakter yang bersangkutan.  Dengan demikian jika kita ingin perilaku masyarakat baik, maka yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengupayakan agar karakter masyarakat juga baik.  Disinilah pentingnya pendidikan, baik di sekolah, di rumah dan di masyakat.  Dalam konteks ini peran orangtua dan guru sangat penting.  Apalagi guru SD (dan PAUD) yang memupuk karakter anak-anak di tahap awal.

Kapan dan bagaimana pendidikan karakter itu dilaksanakan?  Itulah yang sering ditanyakan teman-teman guru. Untuk membahasnya, kita dapat mulai dengan hasil FGD dengan teman-teman di dunia industri.  Ketika menerima karyawan baru, aspek yang pertama dipersyaratkan adalah karakter.  Mengapa?  Mereka berpendapat, orang yang sudah dewasa karakternya sudah terbentuk dan sulit untuk diubah.  Artinya, pembentukan atau penumbuhkembangan karakter seharusnya dilakukan sejak anak-anak.  Itulah yang menadasari pemikiran saya saat melukiskan proporsi pendidikan karakter dan pendidikan akademik di SD sampai S3 di universitas.  Proporsi tersebut bukan sesuatu yang fix, tetapi hanya ingin menggambarkan pada SD (bahkan PAUD) pendidikan lebih banyak menumbuhkembangkan karakter.  Makin ke atas tingkatannya, proporsi akademik semakin tinggi, sedangkan proporsi karakter turun dengan asumsi karakter anak-anak sudah mulai terbentuk.  Di tingkat universitas, dengan asumsi mahasiswa sudah dewasa dan karakter mereka sudah “jadi” maka pendidikan lebih menekankan pada akademik.

Bagaimana pendidikan karakter itu sebaiknya dilakukan?  Ketika meneliti sekolah yang sukses melaksanakan pendidikan karakter, Kemdikbud (2009) menemukan bahwa: (1) pendidikan karakter tidak memerlukan anggaran besar, buktinya sekolah kecil/sederhana juga dapat suskes melaksanakan pendidikan karakter, (2) penumbuhkembangan karakter memerlukan waktu lama, (3) budaya sekolah merupakan faktor determinan dalam pembentukan karakter siswa, karena terbukti karakter siswa terbentuk saat menyesuaikan diri dengan budaya tempat mereka bersekolah, (4) pendidikan karakter memerlukan teladan.

Apa yang bisa dipetik dari hasil studi tersebut?  Mainstreaming pendidikan karakter yang telah digulirkan Kemdikbud sejak tahun 2010 perlu dilanjutkan dan diperkuat.  Sekolah tidak perlu merisaukan sarana-prasarana, karena terbukti pendidikan sekolah sederhanapun dapat melaksanakan dengan baik.  Yang penting bagaimana menciptakan budaya sekolah yang mampu menumbuhkan karakter positif siswa.  Yang penting bagaimana pada pimpinan sekolah, para guru dan karyawan mampu menjadi teladan berperilaku dalam keseharian.

Tidak ada komentar: