Senin, 09 Maret 2020

BUMI HANGUS VS STATUS QUO

Sudah lama saya mempertanyakan mengapa bangunan kerajaan yang konon sangat besar “hilang”. Bahkan situsnya sering diperdebatkan.  Ambil contoh kerajaan Majapahit yang diyakini memiliki wilayah seluas Nusantara.  Majapahit yang memiliki Mahapatih Gajahmada dengan sumpah Amuki Palapa-nya.  Hal sama juga terjadi pada kerajaan Sriwijaya.  Bahkan kerajaan Demak yang relatif “muda” (akhir abad ke-14 s.d awal abag 15) juga tidak meninggalkan bangunan kerajaan yang utuh.

Beberapa teman menjelaskan karena bangunan kerajaan di Indonesia dibuat dari batu bata dan kayu sehingga mudah rusak.  Berbeda dengan peninggalan kerajaan di negara lain yang dibuat dari batu andesit yang tahan lama.  Ada juga teman yang menjelaskan bangunan kerajaan tersebut terkena bencana, seperti gunung meletus, gempa bumi atau banjir bandang sehingga hancur.  Keduanya masuk akal.  Namun, mengapa bangunan Masjid Demak masih ada?  Bukankah masjid itu dibangun di masa yang sama dengan bangunan kerajaan?

Merenungkan itu, saya jadi teringat istilah politik bumi hangus.  Sepengetahuan saya artinya menghilangkan jejak rezim sebelumnya dengan maksud agar masyarakat terbebas dengan kenangan masa lalu dan perhatiannya segera berpindah ke rezim yang baru.  Mungkinkah bangunan fisik kerajaan Majapahit dibumihanguskan oleh Demak?  Mungkinkah bangunan fisik kerajaan Demak dihancurkan oleh Pajang?  Jujur saya tidak tahu dan belum pernah membaca tentang itu. Teman-teman yang mendalami sejarah yang lebih tepat menjawabnya.

Apakah politik bumi hangus itu masih ada di zama modern ini?  Saya juga tidak tahu.  Namun, seingat saya ketika Orde Baru menggantikan Orde Lama, kejadian yang mirip dengan politik bumi hangus juga terjadi.  Tentu dalam bentuk yang berbeda.  Tentu tidak merusak bangunan istana dan sejenisnya.  Tetapi kebijakan atau ajaran yang menjadi ciri Orde Lama seakan dihapuskan.  Ketika Orde Baru digantikan oleh “Orde Reformasi” tampaknya kejadian yang mirip juga terjadi.  Kebijakan yang menjadi ciri Orde Baru hilang dan digantikan dengan kebijakan baru.  Tampaknya fenomena seperti itu terjadi karena rezim yang baru memiliki latar belakang dan atau ideologi yang berbeda.

Apakah kebijakan seperti salah?  Saya tidak tahu.  Teman yang mendalami ilmu politik dan kebijakan publik yang dapat menjawabnya.  Seorang teman menjelaskan, mungkin saja pergatian kebijakan memang diperlukan karena kebijakan yang lama sudah tidak cocok dengan tuntutan zaman.  Orang dengan pandangan seperti itu mengatakan, hanya orang-orang status quo yang berada di zona nyaman yang tidak mau menerima perubahan.  Di pihak lain ada yang berpendapat, pergatian kebijakan yang seakan menegasikan apa yang dilakukan oleh rezim sebelumnya menunjukkan kekerdilan jiwa.  Jadi sepertinya ada perbandingan diametral antara politik bumi hangus dengan politik status quo.

Mana yang lebih baik atau katakankah lebih tepat diterapkan?  Kembali saya juga tidak tahu.  Saya teringat dengan rangkaian metaphora yang dibuat pada bagian pendahuluan sebuah buku tentang public policy.  Begini kira-kira tafsirnya.  (1) Untuk menghasilkan kebijakan yang baik, diperlukan data dan hasil kajian yang komprehensif; (2) Namun jika data dan hasil kajian yang komprehensif tersedia belum tentu dihasilkan kebijakan yang baik; (3) Jika tersusun kebijakan yang baik belum tentu digunakan oleh pejabat yang memiliki kewenangan mengambil keputusan. (4) Jika kebijakan yang baik tersebut diputuskan untuk diterapkan belum tentu berjalan dengan baik.  Butir nomor 1 menguatkan bahwa kajian terhadap apa yang sudah terjadi diperlukan sebagai salah satu dasar menyusun kebijakan baru.  Tanpa landasan data yang cukup, bisa terjadi kebijakan salah sarah.  Tentu juga harus ada kajian lain, misalnya tantangan secara makro, sehingga kebijakan punya landasan yang komprehensif.

Saya jadi teringat sebuah buku yang menjelaskan tahapan penyusunan kebijakan publik.  Menurut buku itu suatu kebijakan harus berpijak dari hasil analisis terhadap masalah yang ingin diselesaikan. Untuk itulah harus dilakukan kajian yang komprehensif.  Hasil kajian itulah yang digunakan sebagai salah satu dasar menyusun alternatif kebijakan.

Sebelum diputuskan, alternatif kebijakan itu harus “dinegosiasikan” dengan stake holder yang terkait, untuk menguji apakah dapat diterima dan dapat dilaksanakan.  Setelah diyakini kebijakan tersebut dapat diterima dan dapat dilaksanakan, barulah diformulasikan secara utuh.  Sebaliknya, walaupun kebijakan tersebut diyakini baik tetapi ternyata tidak diterima publik dan atau sangat sulit dilaksanakan, harus direvisi. Barulah setelah itu kebijakan difinalkan dan disusun organisasi pelaksanaannya.

Apakah para pengambil kebijakan tidak melakukan urutan tersebut?  Teman saya yang punya pengalaman banyak di birokrasi mengatakan, biasanya pejabat dikejar waktu dan terlalu lama jika harus mengikuti alur tersebut. Akhirnya, policy research digantikan oleh hasil-hasil monitoring dan evaluasi terhadap program yang telah berjalan.  Seringkali juga ditambah atau bahkan diwarnai oleh pemikiran atau keinginan pejabat yang berangkutan atau “staf inti” yang memberi masukan kepadanya.  Kentalnya warna pemikiran atau keinginan pejabat itulah yang menyebabkan pejabat baru seringkali memiliki program baru yang bisa jadi sangat berbeda dengan pejabat yang digantikan.  Semakin berbeda pola pikir dan atau latar belakang antara pejabat lama dan pejabat baru semakin tinggi kemungkinan munculnya kebijakan baru yang berbeda dengan yang lama.  Jika perbedaan itu begitu jauh, ada kesan terjadinya bumi hangus.

Jadi apakah tidak boleh pejabat baru membuat kebijakan yang sangat berbeda dengan pejabat sebelumnya?  Jawabnya, boleh.  Namun, harus didasarkan kajian yang mendalam dan menyimpulkan bahwa kebijakan sebelumnya tidak cocok dengan tuntutan zama.  Kebijakan baru yang sangat berbeda tersebut dapat diterima oleh stake holders dan yakin dapat dilaksanakan.

Sebaliknya apakah boleh pejabat tidak membuat kebijakan baru, sehingga seperti status quo?  Juga boleh.  Tetapi juga harus didasarkan pada kajian yang menunjukkan kebijakan selama ini tepat dan kajian yang menunjukkan tidak terjadi perubahan tantangan dari instansi yang dipimpinya.  Jika ternyata kebijakan yang selama ini berjalan tidak optimal dan atau ada perubahan tantangan, maka kebijakan yang lama harus direvisi dan bahkan diubah.

Apakah pernah terjadi ada kebijakan yang ditolak oleh stake holers? Ada. Teman saya  menunjukkan contoh beberapa kebijakan yang buru-buru dilaksanakan tanpa adanya proses negosiasi.  Akibatnya terjadi “penolakan” dari stake holder, sehingga instansi pemerintah harus mengeluarkan enersi yang mengatasinya.  Bahkan juga terjadi kebijakan sepertti itu direvisi setelah terjadi penolakan masih dari stake holders.

Tidak ada komentar: