Jumat, 17 Januari 2014

BOM WAKTU LPTK

Tanggal 7 Januari 2013 saya diundang oleh Kemdikbud bersama Bappenas untuk ikut diskusi dalam rangka menyusun RPJMN Bidang Pendidikan di Hotel Sultan Jakarta. Hadir pada diskusi itu para tokoh,  antara lain Prof Satryo Brojonegoro (mantan Dirjen Dikti), Prof Sudjarwadi (mantan Rektor UGM), Prof Mulyadi Bur (dosen Unand), Prof Tian Belawati (Rektor UT), Prof Aman Wirakartakusumah (mantan Rektor IPB dan Dubes untuk Unesco), Prof. Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Jakarta), Prof Djoko Suharto (dosen ITB), Prof Chan Basarudin (dosen UI), Prof Mayling Gardiner (dosen UI) dan masih banyak yang lain. Dari pemerintah pusat hadir Dr. Taufik Hanafi (staf ahli Mendikbud), Dr. Subandi (Direktur Pendidikan Bappenas), Dr. Patdono (Sekretaris Ditjen Dikti), Dr. Bambang Indriyanto (Kapuslijak Balitbang Dikbud) dan masih ada beberapa lainnya.  Juga hadir teman-teman dari lembaga multilateral, antara lain Samer Al Samarrai (World Bank), Wolfgang Kubittzki (Asian Development Bank),  Erik Habers (European Union) dan sebagainya.

Dalam diskusi itu, Prof Mayling menyampaikan keriauannya terhadap perkembangan LPTK. Saya jadi ikut risau sehingga malamnya berusaha mencari data yang mutakhir. Saya kaget sekali, karena data di Majalah Dikti Volume 3 Tahun 2013, menunjukkan jumlah LPTK saat ini 429 buah, terdiri dari 46 LPTK Negeri dan 383 LPTK Swasta.  Jumlah mahasiswa mencapai 1.440.770 orang. Pada hal, tahun 2010 LPTK berjumlah 300an.  Jadi ada kenaikkan 100 buah lebih dalam waktu3 tahun atau sekitar 30 setiap tahun atau 3 buah setiap bulan.  Jadi setiap 10 hari muncul sebuah LPTK baru.

Jika jumlah mahasiswa 1,44 juta dapat diperkirakan lulusan sarjana kependidikan sekitar 300.000 orang per tahun.  Informasi dari Dr. Abi Sujak (Sekretaris BPSDM Kemdikbud), keperluan guru hanya sekitar 40.000 orang per tahun.  Akan terjadi over supply  yang sangat besar.  Padahal 100an LPTK baru yang didirikan tahun 2010-2013 tentu belum memiliki mahasiswa penuh dan baru akan mulai meluluskan beberpa tahun kedepan.  Jadi dalam beberapa tahun ke depan jumlah lulusan LPTK akan bertambah banyak.  Mungkin itu yang menjadi keriauan Prof Mayling.

LPTK adalah perguruan tinggi  “khusus” yang  menyiapkan lulusannya menjadi  guru dan atau menekuni bidang pendidikan.  Walaupun tidak menutup kemungkinan lulusan  LPTK memasuki profesi lain, tetapi dari pengalaman sebagian besar mereka menekuni bidang pendidikan.  Apalagi sebagian besar mahasiswa  LPTK biasanya perempuan yang tentunya tidak  selincah laki-laki untuk mengembara kesana-kemari.

Besuk paginya saya diundang lagi untuk diskusi tentang masalah guru di Bappenas.  Kerisauan Prof Mayling ternyata menjadi satu topik bahasan yang panjang.  Dimulai dari data bahwa sejak tahun 2009 jumlah guru meningkat secara signifikan.  Sementara jumlah siswa tidak seperti itu.  Rasio guru-murid di SD konon mencapai 1 : 16,  sedangkan untuk SMA mencapai 1 : 12.  Jauh melampaui ketentuan dalam SPM (Standar Pelayanan Minimal) Kemdikbud yang menyebut 1 : 30.  Di pihak lain, masih banyak sekolah yang kekurangan guru.  Khususnya di daerah terpencil. Pengalaman melaksanakan SM3T di kabupaten Sumba Timur dan Talaud, masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru.

Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi dan bagaimana cara memecahkannya. Mari kita analisis penyebabnya terlebih dahulu, sehingga dapat ditemukan pemecahan yang tepat.

Tampaknya “hukum ekonomi” berjalan dalam perkembangan jumlah guru maupun LPTK.  Sejak sertifikasi guru (sergur) dilaksanakan tahun 2007 dan kemudian tahun 2008 mulai ada guru yang memperoleh tunjangan profesi, maka profesi guru “naik daun”.  Banyak orang  ingin menjadi guru. Sekolah-sekolah menambah guru.  Sekolah swasta yang semula “hemat” dalam mengangkat guru tetap, kemudian menambah guru dengan maksud agar mereka dapat ikut sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi.

Ketika profesi guru naik daun, peminat masuk LPTK meningkat signifikan.  Di Unesa, jumlah pelamar calon  mahasiswa meningkat tajam sejak tahun 2010.  Pada tahun 2013, rasio pelamar dan yang diterima sudah mencapai 1 : 20.  Artinya satu kursi direbut oleh 20 orang pelamar.  Bahkan untuk program studi tertentu, rasio mencapai 1 : 40.

Nah, ketika fenomena itu muncul, keinginan untuk membuka LPTK juga muncul. Itulah sebabnya jumlah LPTK  juga meningkat tajam.  Bahkan LPTK yang sudah ada juga meningkatkan daya tampung.  Artinya jumlah  mahasiswa di program studi yang sudah ada ditambah.  Universitas yang semula tidak memiliki program studi kependidikan, juga membuka program studi kependidikan.  Dan itu tidak hanya berlaku untuk PTS.  Tahun 2008 jumlah LPTK Negeri hanya 33 buah dan sekarang menjadi  46.  Memang ada PTN baru yang pada umumnya punya LPTK.  Namun jumlah PTN baru hanya 4 buah.  Jadi ada 9 PTN “lama” yang semula tidak memiliki program studi kependidikan kemudian membukanya.

Pengangkatan guru baru ternyata juga bermasalah.  Banyak kabupaten di daerah terpencil yang melaporkan kesulitan mendapatkan pelamar, sehingga akhirnya menerima guru yang bukan lulusan LPTK atau bahkan hanya lulusan SMA. Tampaknya lulusan LPTK yang berlebih itu juga tidak tertarik untuk menjadi guru di daerah terpencil.  Padahal, guru di pedesaan biasanya ingin juga pindah ke kota kabupaten, setelah cukup lama mengabdi di sekolah di pedesaaan.  Biasanya dengan alasan untuk dapat menunggui anaknya yang sekolah di tingkat SMA yang hanya ada di kota.

Jika seperti itu masalahnya, perlu ditemukan solusi yang komprehensif.  Bagaimana agar supply-demand diatur termasuk penempatannya. Jika kita hanya mengurangi supply dengan mengurangi LPTK dikawatirkan kabupaten terpencil kesulitan guru.  Jika jumlah LPTK sangat banyak, dikhawatirkan terjadi over supply yang tidak terkendali. Jika kabupaten terpencil tidak  memperoleh supply guru baru dikhawatirkan tetap terjadi pengangkatan guru yang bukan lulusan LPTK, sehingga memerlukan pendidikan lagi.

Intinya bagaimana kita memiliki pola pendidikan calon guru yang mutunya bagus, tidak over suppy, tetapi penempatan dalam dilakukan dengan mulus, sehingga sekolah-sekolah di daerah terpencil mendapatkan guru.  Tampaknya pasal 23 ayat (1) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dapat menjadi pintu pemecahkan.  Pasal itu mengamanatkan agar pendidikan guru dilakukan dengan ikatan dinas dan berasrama.  Dengan ikatan dinas, penempatan guru dapat dilaksanakan dengan baik, karena lulusan terikat kontrak.  Dengan adanya asrama, pembinaan calon guru khususnya tentang karakter dapat dilaksanakan secara intensif.


Pertanyaannya apa tidak mahal?  Mari kita hitung.  Jika informasi Dr. Abi Sujak dijadikan pijakan dan komposisi guru SD sama dengan jumlah guru SMP, SMA dan SMK, maka kebutuhan guru baru sekitar 20.000 orang untuk SD dan 20.000 orang untuk SMP, SMA dan SMK.  Menurut ketentuan Pendidikan Profesi Guru (PPG) SD selama 1 sementer, sedangkan untuk guru SMP/SMA/SMK 2 sementer.  Jadi pendanaan PPG untuk 40.000 guru baru tersebut 60.000 orang semester.  Jika SPP di PPG dianggap sama dengan S2 sekitar 6 juta per orang per semester, berarti diperlukan biaya untuk SPP sebesar 60.000 x 6 juta atau 360 milyar.  Jika biaya hidup mahasiswa PPG diasumsikan sama dengan SPP, biaya total yang diperlukan sebesar 720 milyar rupiah/tahun.  Rasanya cukup kecil untuk memastikan kita memperoleh guru yang bagus dan dapat didistribusi ke seluruh pelosok tanah air.  Semoga.

5 komentar:

rikamumtaz mengatakan...

izin share inggih

rangerrouge mengatakan...

pak, pemerintah bukan saja punya PR untuk memikirkan banyaknya jmlah guru. Karena kalau dipikirkan kembali, masih lebih banyak jumlah anak yg belum mampu bersekolah.

Sebenarnya jumlah guru yg terlampau banyak tidak masalah, jika diimbangi dengan jumlah sekolah yg memadai. Namun di negara kita, jumlah SMP dan SMA jauh lebih sedikit dibanding sekolah dasar.
Nah akibatnya banyak anak tidak bersekolah, sedangkan jumlah guru justru meningkat.

selai itu, guru yg diwajibkan mengajar 24 jam perminggu saya rasa tidak efektik. Guru menjadi terlalu lelah dan menjadi tidak kreatif. Terlihat dari banyaknya guru yang tidak mau pulang sore barang mengurus ekstrakulikuler atau membahas permasalahan-permasalahan di sekolahnya. Akibatnya, sering kita dengar bahwa sekolah-sekolah dipulangkan lebih awal karena guru rapat di pagi hari. haduh

Science at Syafi'i mengatakan...

Bapak, data jumlah perbandingan guru dan murid yang njenengan sampaikan apakah itu mencakup seluruh wilayah di Indonesia?. Karena kita ketahui masih banyak daerah yang kekurangan guru.
Kemungkinan masih banyak pula daerah yang belum tersentuh peran pemerintah, dan pasti mereka membutuhkan guru.
Semoga di masa depan guru menjadi komponen utama pembangunan bangsa, karena ketika berbicara Indonesia yang perlu dikembangkan adalah kualitas manusianya, dan itu melalui guru-guru yang berkualitas.
Semoga sekolah guru yang berikatan dinas sesuai harapan njenengan juga segera terwujud untuk bersama-sama kita melunasi janji kemerdekaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa seutuhnya.

Unknown mengatakan...

Pak Muchlas, terima kasih sudah share tentang perkembangan LPTK kita. Apa kita juga memiliki data tentang pertumbuhan jumlah tenaga dosen di LPTK berikut dengan bidang keahliannya sejak awal kebijakan sertifikasi digulirkan? Terima kasih sebelumnya. Salam pendidikan, Iwan.

Daud Kurniawan mengatakan...

Apapun isinya, yg ujung2 nya alinea berisikan rupiah, kalau itu membahas kemajuan pendidikan bangsa ini, saya setuju Pak!
Harusnya, pendidikan negeri ini punya semacam GBHN, supaya ketika ganti rezim, bangsa ini tidak kehilangan arah dan tidak memulaiblg dr Nol!