Minggu, 05 Januari 2014

MENGAPA ANAK KITA JATUH DI PISA?

Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2012 telah diumumkan dan Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara yang ikut.  Hanya satu peringkat di atas Peru sebagai juru kunci.  Sementara negara-negara Asia Timur berjaya. Shanghai menduduki peringkat pertama, disusul berturut-turut Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.

Sebenarnya hasil itu tidak terlalu mengagetkan, karena selama ini memang Indonesia selalu berada di peringkat bawah dalam PISA.  Tahun 2009, posisi Indonesia pada peringkat 57 dengan skor Membaca 402, Matematika 371 dan IPA 383.  Tahun 2012 skor tersebut menjadi, Membaca 396, Matematika 375, dan IPA 382.   Jadi perubahannya hanya sedikit.
  
Pertanyaannya mengapa skor PISA anak-anak kita sangat rendah?  Bukankah anak-anak SMP kita (usia yang ikut PISA) sukses dalam UN.  Nilainya juga sangat bagus.  Apakah materi UN berbeda dengan PISA? Apakah kurikulum Indonesia sangat berbeda dengan kurikulum Shanghai, Singapura, Hongkong,  Taiwan dan Korea Selatan.

Sebelum membahas itu, ada baiknya diketahui hasil analisis terhadap UN.  Tahun 2012, Unesa mengkaji hasil UN SMA tahun 2009, 2010 dan 2011.  Simpulannya sangat menarik.  Sebagian besar peserta jeblok pada soal-soal yang termasuk dalam kategori analisis.  Termasuk untuk matapelajaran Bahasa Indonesia.  Hasil itu sejalan dengan kajian terhadap tes masuk PTN yang menyimpulkan bahwa sebagian peserta jatuh pada soal IPA Terpadu, yang memang memerlukan kemampaun analisis cukup tinggi.

Apa hubungannya dengan tes PISA?  Karena PISA menguji kemampuan berpikir analisis dan problem solving.  Kemampuan yang disebut high order thinking (bepikir tingkat tinggi) dan mencakup kemampuan analisis, sintesis, evaluasi dan kreativitas.  Data terhadap hasil PISA, UN maupun tes masuk PTN, konsisten menunjukkan kalau kemampuan berpikir tingkat tinggi anak kita lemah.

Lantas mengapa mereka sukses menempuh UN?  Karena sebagian besar soal-soal UN kita berkisar pada low order thinking (kemampuan berpikir tingkat bawah)  yaitu menghafal, memahami dan menerapkan.  Hanya sebagian kecil yang masuk high order thinking.  Kajian terhadap UN SMA 2009, 2010 dan 2011 tampak sekali mereka sukses pada soal-soal low order thinking tetapi gagal di high order thinking.

Pertanyaan berikut yang menarik mengapa PISA fokus kepada high order thinking sementara UN pada low order thinking?  Tentu hanya perancang PISA dan perancang UN yang dapat menjawabnya.  Namun dapat diduga bahwa perancang PISA menerapkan prinsip pendidikan era teknologi.  Di era ini yang diperlukan adalah kemampuan problem solving secara kreatif dan untuk itu diperlukan kemampuan berpikir analisis, kritis dan kreatif.  Pola kerja mekanistik, walaupun itu rumit dapat dilakukan oleh mesin, sehingga tidak lagi penting.

Sementara kita tampak terperangkap pada pola pikir mekanistik.  Memang soal-soal kita seringkali berupa perhitungan yang rumit dan memerlukan ketelitian tinggi.  Namun itu pekerjaan mekanistik yang dapat dikerjakan oleh komputer.  Sementara hal-hal yang bersifat analisis kreatif belum mendapat perhatian cukup.

Apakah high order thinking dapat diajarkan pada siswa setingkat SMP?  Pertanyaan itu pernah mengganggu saya beberapa tahun lalu.  Bukankah menurut Piaget kemampuan berpikir abstrak baru dimulai ketika anak berusia 13 tahun bahkan 15 tahun?   Ternyata bisa.  Saat berkunjung ke sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan Belanda saya menyaksikan bahwa siswa SD dapat diajari berpikir tingkat tinggi.  Kepada anak SD Kelas 1 ditunjukkan gitar dan biola.  Kepada mereka ditanyakan apa persamaan dan perbedaannya.

Memang sederhana, tetapi anak-anak belajar berpikir analisis dan kritis.  Misalnya persamaan biola dan gitar adalah sama-sama punya senar, sama-sama mengeluarkan suara.  Bedanya jumlah senar gitar berbeda dengan jumlah senar biola.  Gitar lebih besar dibanding biola. Dan sebagainya.

Kepada siswa Kelas 4 dibagikan bacaan cerita dan selembar kertas yang memiliki dua kolom.  Kolom kiri bertuliskan “Saya tidak faham, karena…..”, sedangkan kolom kanan bertuliskan “Saya tidak setuju, karena…”.  Siswa diminta membaca  cerita dan menuliskan bagian mana yang tidak faham dan menyebutkan alasannya.  Siswa juga diminta menyebutkan bagian yang tidak setuju dan menyebutkan alasannya.  Sungguh mengagetkan, ternyata anak Kelas 4 dapat mengerjakan dengan baik.  Tentu isi cerita sesuai dengan usia anak SD Kelas 4.  Jadi kepada siswa SD dapat diajarkan kemampuan high order thinking.

Semoga Kurikulum 2013 memberi penekanan pengembangan high order thinking, karena itulah kemampuan yang diperlukan di masa depan.  Semoga Kurikulum 2013 dapat mengentas kita dari perangkap paradigma bahwa high order thinking baru dapat di SMA.  Semoga UN untuk Kurikulum 2013 memberi porsi cukup untuk high order thinking, sehingga hasilnya parallel dengan PISA yang telah menjadi acuan internasional.  Dengan begitu peringkat kita pada PISA tidak lagi berada pada nomor buncit. 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih tulisannya sangat bermanfaat. saya boleh tanya nama dari model pebelajaran atau strategi apa namanya yg diterapkan dikelas 4 itu bapak? terimakasih.