Minggu, 05 Januari 2014

MENGAPA KULIAH DI TAIWAN BEGITU MURAH?

Sepulang dari Beijing mengikuti Confucius Institute International Conference, saya ke Taiwan. Acara pokoknya untuk menandatangani Mou dengan Univesity of Taipei dan memberi kuliah umum di universitas tersebut.  Saya minta tolong, mbak Silfi staf Kantor Urusan Internasional Unesa agar saya dapat mengunjungi universitas lainnya.  Khususnya tempat beberapa dosen Unesa sedang kuliah.  Rasanya rugi kalau jauh-jauh ke Taiwan hanya mengunjungi satu universitas.

Untuk yang kedua kalinya saya harus berterima kasih kepada Mbak Silfi, karena dapat mengatur sehingga saya dapat mengunjungi National Taiwan Normal University (NTNU) dan National Taiwan University of Sains and Technology (NTUST).  Di NTNU memang ada seorang dosen Unesa yang sedang menempuh S3, yaitu Ibu Rooselyna dari Jurusan Matematika.  Di NTUST ada dua orang dosen Unesa yang sedang menempuh S3, yaitu Pak Eppy dari Jurusan Elektro dan Pak Yogi dari Jurusan Sipil.

Di NTNU saya bertemu “orang penting”, yaitu Prof. Fou Lai Lin.  Beliau guru besar senior (chair professor) dalam bidang Pendidikan Matematika dan kebetulan supervisor Bu Rooselyna.  Beliau mantan direktur yang menangani peningkatan kompetensi guru Matematika di Taiwan.  Beliau adalah pengembang dan sekaligus penanggung jawab program Lightening Program for Teachers in Taiwan.

Saya tertegun mendengar penjelasan Prof. Lin tentang program tersebut.  Pada intinya, setiap dosen di Jurusan Matematika NTNU dipasangkan dengan sekelompok guru Matematika dari beberapa sekolah.  Pasangan tersebut bertugas mengupayakan agar pembelajaran Matematika di sekolah berjalan efektif dan siswa dapat belajar dengan termotivasi.  Setiap bulan pasangan tersebut berkumpul untuk membahas apa yang terjadi, melakukan refleksi dan menyempurnakan kegiatan mendatang.  Mirip Penelitian Tindakan Kelas.  Bedanya kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus dan itu bagian dari tugas dari dosen maupun guru.  Bahan banding yang sangat bagus bagi kita.

Di NTUST saya sempat bertemu dengan president (rektor) NTUST, Prof. Ching Jong Liao.  Namun yang menarik ketika mengunjungi SUS-SON Research Center.  Sebuah gedung yang dikhususkan untuk melakukan riset multidisplin yang mengarah kepada penemuan produk baru.  Di center tersebut saya diperlihatkan  berbagai temuan dan patennya.  Misalnya model joint (sambungan kerangka) yang sekarang diterapkan di gedung 101 (gedung tertinggi kedua di dunia).  Juga ada temuan “beton ringan” yang memiliki kekuatan cukup besar, tetapi sangat ringan.  Juga ada kaca yang dapat menyerap panas sekaligus menghasilkan listrik.  Kaca tersebut dapat menapis udara luar dengan suhu 38 derajat menjadi suhu kamar 20 derajat.  Saya lupa berapa energi listrik yang dihasilkan.

Yang paling menarik adalah eksperimen untuk “mengumpulkan cahaya”.   Sebuah papan kaca yang permukaannya dirancang mirip prisma atau apa, agar cahaya yang mengenainya “terkumpul” dan dialirkan melalui sebuah “saluran khusus”, kemudian digunakan untuk menerangi ruangan.  Sungguh mengagumkan.  Memang masih dalam tahap penelitian, tetapi kalau itu berhasil akan merupakan temuan yang fantastis.  Dan memang hasil awal sudah menakjubkan.  Saya sendiri tidak faham bagaimana hal itu dapat dilakukan.  Mungkin teman-teman dari Fisika yang lebih mengerti.  Anehnya di NTUST, riset tersebut dilakukan oleh orang dari Teknik Sipil.

Ketika Prof. Chao Lung Hwang, direktur center tersebut menerangkan, saya bertanya bagaimana di waktu malam.  Kan tidak ada cahaya matahari.  Beliau menjawab, saat ini sedang dipikirkan bagaimana dapat “menyimpan cahaya”.  Saya tambah penasaran dan bertanya, mungkinkah cahaya yang telah disimpin itu dapat dikirim dari satu tempat ke tempat lain.   Beliau tertarik dengan pertanyaan saya dan tampak berpikir sejenak.  Saya menyambung, kalau itu dapat dilakukan, kita dapat memasang alat sepanjang katulistiwa dan cahaya dikumpulkan.  Bukankah katulistiwa memiliki siang yang relatif tetap dan panjang.  Dan jika alatnya dipasang sepanjang katulistiwa, berarti produk cahaya akan konstan sepanjang waktu.

Di University of Taipei, saya menandatangani MoU dengan president University of Taipei, Prof. Hsia Ling Tai.   Wanita, mantan Menteri Olahraga dan lebih suka dipanggil Tena.  Pada saat jamuan makan siang, tampak sekali Prof Hsia atau Tena sangat supel.  Kami ngobrol tentang bermacam-macam hal.  Termasuk berapa gaji rektor di Indonesia dan presidemt universitas di Taiwan.  Wow ternyata jauh berbeda.  Beliau juga siap ketika saya tawari diundang ke Unesa.  Apalagi, beliau tahu kalau dalam rombongan ikut Dekan FIK, Pak Agus Haryanto.

Selesai makan siang, sesuai jadwal saya memberi kuliah umum bagi mahasiswa Pascasarjana dan dipandu oleh Prof. Jun Yii Hsieh, direktur International Office.   Karena mahasiswanya berasal dari berbagai jurusan dan saya baru pertama ke University of Taipei, saya menyampaikan gagasan Rekonstruksi Pendidikan Menyongsong Era Cyber.  Tanggapan mahasiswa sangat bagus.  Ketika saya sampaikan bahwa isi perkuliahan dan bahkan penjurusan di universitas sudah tidak lagi cocok dengan tuntutan zaman, Prof. Jun sangat tertarik.  Beliau minta saya mengajukan gagasan, kemampuan apa yang penting ke depan.  Ujung-ujungnya, beliau minta suatu saat saya datang lagi untuk memberi kuliah.

Diluar pengalaman di atas, ada sesuatu yang lebih menarik, yaitu kuliah di Taiwan sangat murah.  Informasi yang saya terima, di NTUST yang membidangi teknologi uang kuliah jenjang S2 hanya sekitar 23 juta per semester.  Itu sudah termasuk segalanya.  Semua bahan praktikum dapat diperoleh.  Bahkan University of Taipei, menawari gratis uang kuliah untuk jenjang S2.  Jadi wajar, kalau di Taiwan ada sekitar 2.000 mahasiswa dari Indonesia.

Saya penasaran bagaimana bisa begitu murah kuliah di Taiwan?  Rasanya 23 juta untuk S2 bidang Teknologi dengan pengertian semua bahan praktikum tersedia, lebih murah dibanding di Indonesia.   Saya tidak menemukan jawaban mengapa bisa begitu. Jawaban yang saya peroleh standar, karena disubsidi pemerintah.  Bukankah PTN di Indonesia juga disubsidi oleh pemerintah.  Mungkinkah, Taiwan menerapkan prinsip seperti New Zeland untuk jenjang S3.  Mahasiswa diharuskan melakukan penelitian yang merupakan bagian dari proyek riset dosennya.  Dengan begitu, sambil kuliah mahasiswa menjadi asisten riset gratis bagi dosen.

Dari sudut pandang lain dan teringat akan upaya China menghegomoni dunia melalui Confucius Institut, mungkinkah Taiwan sedang menjalankan program menarik simpati dunia melalui kuliah murah tersebut?  Jujur saya tidak tahu.  Jika iya, merupakan bahan pelajaran yang menarik untuk kita, bangsa Indonesia. Semoga.

Tidak ada komentar: