Selasa, 26 Agustus 2014

BERPIKIR JERNIH



Siang tanggal 26 Agustus 2014 pukul 12.30 saya menemani Kadiknas Surabaya bertemu rekan-rekan wartawan, untuk menyampaikan rekruitmen calon Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya periode 2014-2018.  Penyampaian informasi berjalan lancer, karena memang materinya hanya memberitahuan bahwa Walikota akan melakukan rekrutmen calon anggota Dewan Pendidikan, kriteria calon sesuai dengan PP No. 17 Tahun 2010, mekanisme rekrutmen dan jadwal waktu.

Yang menarik adalah kerika sesi tanya jawab.  Menurut saya ada tiga point yang menarik.  Pertama,  muncul pertanyaan, apakah sudah clear dengan Dewan Pendidikan yang lama, sehingga nanti jika yang baru terpilih tidak terjadi kepengurusan ganda.  Kedua, ada rekan wartawan bertanya, apakah reward yang diterima anggota Dewan Pendidikan.  Penanya mengatakan kalau sebernarnya tidak etis menanyakan masalah reward, tetapi dalam kenyataannya hal seperti itu selalu menjadi ganjalan.  Ketiga, status kelembagaan Dewan Pendidikan, apakah mandiri atau di bawah Pemkot.  Kata si penanya, selama ini fungsi Dewan Pendidikan kan seperti “anjing penjaga” kebijakan dan pelaksanaan program pendidikan, sehingga lebih banyak mengkritisi.

Mencermati ketiga pertanyaan itu, saya agak mengerutkan kening.  Betulkah situasi itu?  Kalau tidak betul terjadi mengapa ditanyakan.  Kalau betul, mengapa itu terjadi? Menurut saya kalau itu benar-benar terjadi, sangat mungkin disebabkan kurang jernihnya kita berpikir.  Atau karena ada aturan yang “abu-abu” sehingga menimbulkan salah tafsir.

Dalam PP 17 Tahun 2010, pasal 192 ayat (8) mengatakan bahwa masa jabatan Dewan Pendidikan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 1 kali masa jabatan.  Artinya kalau kita berpikir jernih mendasarkan pada pasal itu, Pemerintah Kota/Kabupaten tidak boleh menetapkan anggota Dewan Pendidikan baru sebelum masa jabatan anggota Dewan Pendidikan lama berakhir.  Sebaliknya anggota Dewan Pendidikan yang masa jabatannya sudah berakhir tentu tidak dapat lagi menyebut dirinya sebagai anggota Dewan Pendidikan.

Saya tidak faham mengapa pertanyaan pertama mucul.  Mungkin itu terjadi karena sebelum PP No. 17 Tahun 2010 terbit telah ada kepengurusan Dewan Pendidikan Kota Surabaya.  Namun jika kita berpikir jernih, begitu terbit PP o. 17/2010, tentu semua pihak harus menyesuaikan diri.  Saya sendiri tidak tahun kapan masa jabatan anggota Dewan Pendidikan yang sekarang.  Moga-moga sudah lima tahun atau lebih sehingga memang sudah saatnya direkrut calon anggota yang baru.

Masalah tersebut terkait dengan pertanyaan ketiga, bagaimana status kelembagaan Dewan Pendidikan.  Pasal 188 ayat (5) dan pasal 192 ayat (2) PP No, 17/2010 menyebutkan bahwa Dewan Pendidikan merupakan wadah peran masayarakat dalam aktivitas kependidikan, dengan fungsi memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.  Sedangkan status kelembagaannya disebutkan pada pasal 192 ayat (3) bahwa Dewan Pendidikan melaksanakan fungsinya secara mandiri dan profesional.  Kemandirian juga ditunjang oleh pasal 192 ayat (5) yang mengatakan Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat dan bukan kepada pemerintah.

Dengan status dan fungsi itu, menurut saya Dewan Pendidikan dapat dan bahkan harus memberikan saran tentang kebijakan pendidikan dan sekaligus mengawasi pelaksanaannya.  Tentu keduanya harus dilakukan secara seimbang dan secara profesional.  Dengan begitu maka Dewan Pendidikan tidak hanya mengkritisi kebijakan pendidikan, tetapi juga sekaligus memberikan saran bagaimana seharusnya kebijakan itu diambil dan dilaksanakan. 

Tentu saran maupun kritik itu harus dilakukan secara profesional.  Tidak boleh hanya asal setuju tetapi juga tidak asal mengritik.  Harus dihindari Dewan Pendidikan menjadi “tukang stempel” tetapi juga jangan sampai “waton suloyo/asal berbeda pendapat”.   Harus dihindari pola piker mencari popularitas dengan asal beda pendapat atau mencari koneksi dengan asal mendukung.  Disinilah diperlukannya berpikir jernih, sebagai “komponen” masyarakat yang mendapat peran memberi saran sekaligus mengawasi kebijakan pendidikan.

Pertanyaan kedua tentang reward, sungguh menarik.  Memang “nama” Dewan Pendidikan seperti mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat, atau mungkin juga ada yang menafsirkan Dewan Pendidikan itu mirip dengan Komisi yang sangat banyak di Indonesia, seperti Komisi Pelayanan Publik, Komisi HAM dan sebagainya, yang semuanya mendapatkan gaji.  Apalagi pasal 192 ayat (13 menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan Dewan Pendidikan adalah dari pemerintah.

Hanya saja, penjelasan Kadiknas maupun pengalaman selama ini pendanaan itu untuk operasional dan tidak ada komponen gaji.  Dengan begitu sifat Dewan Pendidikan lebih merupakan volunteer, sehingga memang tidak menerima gaji seperti anggota DPRD, dan berbagai komisi di berbagai bidang.  Jadi sejak awal sudah jelas bahwa anggota Dewan Pendidikan tidak memperoleh gaji.  Semoga banyak orang yang memeiliki kepedulian kepada pendidikan yang bersedia menjadi anggota Dewan Pendidikan, walaupun tidak memperoleh gaji.

Tidak ada komentar: