Jumat, 01 Agustus 2014

PENDIDIKAN FINLANDIA BERTUMPU PADA GURU



Menjelang liburan Idul Fitri saya mendapat kiriman buku berjudul “Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia”, yang ditulis oleh Pasi Sahlberg dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Muchlis.  Buku aslinya diterbitkan oleh Teachers College, Colombia University dan terjemahannya diterbitkan oleh Penerbit Kaifa.  Pasi Shahlberg adalah orang Finlandia yang pernah menjad guru dan akhirnya menjadi Direktur Jenderal Pusat Mobilitas dan Kerjsama Internasional pada Kementerian Pendidikan di Finlandia, pernah menjadi staf World Bank dan sekarang menjadi profesor praktik di Universitas Harvard.  Identitas penulis dan penerbit seakan menjadi garansi bahwa isi buku tersebut bagus.  Dan memang betul-betul bagus.

Walaupun sudah lama diketahui bahwa Finlandia merupakan negara dengan mutu pendidikan bagus dan dikenal memiliki guru hebat-hebat dengan yang sangat besar, tetapi baru dari buku ini saya menjadi faham bagaimana Finlandia mengelola pendidikan sehingga bermutu bagus.  Itu yang ingin saya berbagai dengan rekan-rekan pembaca.

Sampai tahun 1970an mutu pendidikan di Finlandia biasa-biasa saja.  Pada tahun 1966 terbit undang-undang baru tentang pendidikan dan sejak itu disusun kurikulum baru yang kemudian disebut Kurikulum 1970.  Inti dari sistem pendidikan baru itu apa yang disebut “peruskoulu”, yaitu Sekolah Dasar Terpadu Sembilan Tahun dan Kurikulum 1970 yang diterapkan pada tahun 1972.  Tampaknya Finlandia ingin hati-hati, sehingga penyiapan restrukturisasi pendidikan dan penyusunan kurikulum baru memerlukan waktu lebih dari lima tahun.

Kalau kita cermati struktur persekolahan di Finlandia mirip dengan di Indonesia. Dimulai dengan Sekolah Dasar Terpadu selama 9 tahun (mirip pendidikan dasar kita, SD+SMP tetapi dalam satu kesatuan), dilanjutkan dengan sekolah menengah yang terdiri dari Sekolah Memengah Atas Umum dan Sekolah Menengah Atas Kejuruan selama 3 tahun.   Khusus untuk SMAK ada yang hanya 2 tahun dan lulusannya langsung masuk dunia kerja.  Setelah itu ada universitas dan lembaga-lembaga kejuruan.

Menurut Sahlberg ada tiga prinsip pembaharuan dalam sistem pendidikan baru Finlandia. Pertama, penerapan secara konsisten prinsip berkesempatan sama (equal opportunity principle).  Semua siswa harus mendapat peluang untuk berhasil dalam belajar.  Oleh karena itu guru harus mengembangkan pola pembelajaran yang memberi peluang semua siswa berhasil dalam belajar.  Dan karena latar belakang siswa bervariasi maka kurikulum berdeferensiasi menjadi sebuah keniscayaan.

Sebenarnya pada tahun 1990an Indonesia pernah membahas kurikulum berdeferensiasi.  Prof Conny Semiawan adalah salah satu tokoh yang saat itu mendorong penggunaannya.  Namun entah mengapa konsep itu tidak terwujud, baik Kurikulum 1994 maupun Kurikulum 2004.  Tampaknya juga belum terakomodasi pada Kurikulum 2013.   Kalau toh terwujud terbatas untuk Sekolah Luar Biasa.

Kedua, penerapan bimbingan karier dan konseling secara intensif, untuk memandu siswa dalam memilih masa depan setelah mereka menyelesaikan pendidikan dasar.  Di Sekolah Dasar Terpadu, 4 tahun pertama siswa mendapat materi yang sama. Tahun ke-5 dan 6 siswa dapat memilih pelajaran-pelajaran praktis atu bahasa asing.  Pada tahun ke-7 sampai 9, siswa dapat memilih orientasi kejuruan praktis, kelas rata-rata dengan satu bahasa asing, atau jurusan lanjut dengan 2 bahasa asing.  Guru Bimbingan Konseling berperan sangat besar dalam memandu siswa memilih orientasi, mulia dari tahun ke-5.

Ketiga, dan ini yang menurut saya paling pokok adalah penyiapan dan “pembinaan” guru yang sangat bagus.   Penerapan kurikulum berdiferensiasi tentu memerlukan guru yang kompeten, berkomitmen tinggi serta memiliki “ruang gerak untuk berinovasi”.   Begitu petingnya peran guru, Sahlberg membahasnya dalam satu bab tersendiri dengan judul “Keunggulan Finlandia: Guru-guru”.  Pada hal buku itu hanya terdiri dari 5 bab.

Orang Finlandia memandang guru sebagai profesi prestisiun dan mulia, sejajar denga dokter, pengacara dan ekonom, lebih karena alasan moral daripada ombalan materi atau karier.  Sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa pria Finlandia memilih seorang guru sebagai pasangan yang laing disukai, sementara wanita Finlandia menunjuk hanya dokter dan dokter hewan, sebagai profesi ideal di atas guru.  Oleh karena itu pelamar masuk pendidikan guru sangat banyak.  Pada tahun 2011-2012 sekitar 2.400 pelamar memperbutkan 120 kursi pendidikan guru sekolah dasar.

Mengapa anak muda Finlandia tertarik menjadi guru?  Menurut Sahlberg ada tiga alasan.  Pertama, profesi guru memberi ruang mewujudkan asprirasi moral. Maksudnya, sekolah di Finlandia dipandang sebagai komunitas profesional, sehingga guru memiliki otonomi yang sangat luas dalam bekerja.  Guru-guru di Finlandia menuntut agar mereka memperoleh otonomi professional, prestise, kehormatan dan kepercayaan dalam pekerjaan mereka.

Kedua, pendidikan guru yang kompetitif justru menyebabkan anak muda berbakat tertarik.  Persingan masuk yang ketat, pola pendidikan guru dengan tuntutan tinggi, setara dengan pendidikan akademik di universitas, justru menantang bagi anak-anak muda Finlandia.  Apalagi untuk menjadi guru harus menempuh pendidikan master dan itu setara dengan master pada bidang lain.  Dengan gelar itu mereka juga berhak untuk melanjutkan ke jenjang dokotal.

Pendidikan guru di Finlandia berbasis riset, yaitu integrasi antara sistem pendidikan ilmiah, didaktik dan praktek.  Landasan akademik diperlukan untuk memberi bekal pengetahuan ilmiah serta proses berpikir untuk merancang dan melaksanakan suatu penelitian.  Bekal itu yang kemudian diterapkan dalam praktek didaktik.  Dengan cara itu, mahasiswa calon guru belajar pemikiran pedagogik dan mengambil keputusan profesional berdasarkan data-data, serta terlibat aktif dalam komunitas profesional.

Ketiga, memang penghasilan memang bukan merupakan motivasi utama orang Finlandia memilih profesi guru.  Namun gaji guru di Finlandia memang sedikit lebih banyak disbanding rata-rata gaji secara nasional.  Di samping itu ada kenaikan gaji secara berkala berdasarkan pengalaman mengajar mereka.

Begitu pentingnya posisi guru dalam pendidikan, di Finlandia ada ungkapan guru bagus sekolah akan hebat.  Artinya jika guru-gurunya bagus, maka sekolahnya akan hebat.  Lantas, apa bukan karena kepemimpinan sekolah?  Betul juga.  Namun di Finlandia kepala sekolah haruslah berasal dari guru yang hebat dan kepala sekolah harus layak menjadi contoh dalam mengajar.  Jadi kepala sekolah adalah guru yang hebat dan punya kemampuan manajerial yang bagus pula.

Dengan jaminan bahwa guru-guruyang hebat, maka Finladia menempuh jalan yang berbeda dengan negara lain dalam pengelolaan pendidikan. Sahlberg menyebutnya sebagai paradoks, yang walupun tidak dapat begitu saja diterapkan di tempat lain, perlu juga dipelajari. 

Paradoks 1, adalah sedikit mengajar, belajar lebih banyak.  Dibanding negara-negara lain, jam belajar di sekolah Finlandia disbanding negara lain.  Demikian pula jam mengajar guru.  Sepulang sekolah anak-anak didorong untuk aktif di berbagai kegiatan kepemudaan, klub-klub olahraga dan rekreasi.  Guru Finlandia juga tidak memberikan PR yang terlalu banyak, karena PR yang berlifat drill dianggap kurang baik. PR yang diberikan yang bersifat menantang berpikir siswa.  Dalam pembelajaran di sekolah maupun penugasan diarahkan untuk merangsang anak berpikir kritis dan kreatif.

Paradoks 2, sedikit ujian, belajar lebih banyak.  Berbeda dengan negara lain yang memberikan treatment eksternal dalam evaluasi, sekolah di Finlandia menekankan kepada profesionalisme guru, kurikulum berbasis sekolah, kepemimpinan pendidikan berbasis kepercayaan dan kolaborasi sekolah melalui jejaring.  Walaupun tidak ada evaluasi yang bersifat eksternal, di Finlandia dikenal ada 3 jenis asesmen.  Pertama, asesmen oleh guru di kelas, termasuk diagnostic, formatif dan sumatif.  Ini dipercayakan sepenuhnya kepada guru yang telah dipersiapkan dengan baik sejak dalam pendidikan pra jabatan.

Kedua, evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan siswa setiap akhir semester.   Setiap akhir semester, siswa menerima rapor yang menggambarkan kinerja mereka baik dari aspek akademik maupu non akademik.  Kriteria rapor diserahkan kepada guru dan sekolah.   Namun profesionalisme yang sudah tertanam baik pada guru, membuat rapor tersebut benar-benar menggambarkan kinerja siswa.

Ketiga, Finlandia memiliki evaluasi eksternal tetapi dengan metodologi sampel, yang mengambil sekitar 10% populasi dan difokuskan untuh mengetahui kemajuan belajar anak-anak, dibandingkan dengan sekolah lain maupun standar nasional yang ditetapkan.

Paradoks 4, lebih berkeadilan dengan menumbuhkan keragaman.   Dengan menyediakan kurikulum berdiferensiasi, sesuai dengan karakteristik siswa, diyakini dapat memberikan keadilan bagi mereka.  Maksudnya setiap anak mendapatkan layanan dan bimbingan belajar sesuai dengan apa yang diperlukan.  Jadi berkeadilan tidak berarti persamaan, tertapi pemberian layanan yang sesuai dengan yang diperlukan.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari buku tersebut?  Menurut saya, “kalau ingin pendidikan maju, maka guru harus dipersiapkan dengan baik, diberi otonomi untuk berinovasi dalam bekerja dan mendapatkan imbalan yang baik pula”.  Bukankah itu makna dasar profesioalime, yaitu well educated, highly performance dan well paid.  Finlandia dapat menerapkan berbagai paradoks karena guru yang professional.   Semoga kita dapat belajar dari pengalaman Finlandia.  Bagi yang ingin mendapat infomasi lebih lanjut, disilahkan membaca buku yang bagus itu.

Tidak ada komentar: