Sabtu, 02 Agustus 2014

LEBARAN MACET INDIKATOR EKONOMI MEMBAIK? LANTAS?



Lebaran tahun ini banyak jalan keluar kota yang macet.  Lebaran hari pertama saya dengan keluarga ke Malang memerlukan waktu 3,5 jam.  Lebaran hari kedua, dari Malang ke Surabaya kami memerlukan waktu lebih dari 4 jam.  Lebaran hari ke 4 kami membatalkan rencana ke Ponorogo karena mendapat informasi perjalanan Surabaya-Ponorogo memerlukan waktu 11 jam.  “Balung tuwo” terlalu berat kalau harus macet selama 11 jam.

Lebaran tahun lalu lintas memang sudah padat dan macet.  Ponorogo-Surabaya kami tempuh sekitar 8 jam.  Namun jika tahun ini perlu waktu 11 jam berarti ada peningkatan kemacetan yang signifikan.  Tahun lalu Surabaya-Malang dapat kami temput sekitar 2,5 jam dan kini perlu waktu 3,5 jam. Pada hal menurut radio SS jumlah kendaraan roda dua yang digunakan untuk mudik berkurang, karena byaknya mudik gratis denga bus.  Jumlah orang yang mudik juga berkurang dibanding tahun lalu.  Lantas apa penyebabnya?

Ketika perjalanan Surabaya-Malang, saya melihat banyak sekali mobil pribadi “sekelas avansa”.  Menantu saya bilang mobil avansa tidak bisa disalip.  Bukan karena kecepatannya tinggi, tetapi karena saking banyaknya di jalan.  Begitu disalip, di depannya ada avansa lagi dan seterusnya.  Akhir terus saja kita di belakang mobil avansa.

Di samping avansa, di jalan juga banyak sekali mobil-mobil kecil seperti xenia dan sebagainya. Tentu pemilik mobil sekelas avansa bukanlah orang-orang kaya raya.  Konon orang kaya merasa kuran gengsi kalau mengendarai mobil yang banyak di jalan.  Jangan avansa, memiliki mobil sedan vios dianggap kurang gengsi, karena vios banyak digunakan untuk taksi.

Jika pemilik mobil-mobil sekelas avansa yang lebaran tahun ini “memenuhi” jalan raya itu bukan orang-orang kaya raya, berarti ada lapisan masyarakat yang dahulu belum memiliki mobil sekarang memiliki mobil dan digunakan untuk mudik lebaran.  Seorang kawan bercerita, sekarang banyak sekolah kebingunan masalah parkir, karena banyak guru yang membawa mobil.  Konon dengan adanya tunjangan profesi, para guru sudah tidak lagi bersepeda motor tetapi bermobil.  Di Unesa, saya melihat banyak karyawan setingkat kepala sub bagian juga sudah memiliki mobil, bahkan ada beberapa karyawan biasa (non jabatan) juga memiliki mobil.

Tampaknya taraf hidup PNS meningkat.  Para guru mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji dan PNS non guru mendapat tunjangan kinerja yang lebih besar.  Jadi wajar jika mereka dapat membeli mobil.  Saudara saya di kampung, suami-isteri menjadi guru SD yang sudah cukup senior.  Katakanlah gajinya 3 juta, sehingga dengan adanya tunjangan profesi suami-isteri itu menerima pendapatan 12 juta per bulan.  Pendapatan yang sangat besar untuk hidup di desa, sehingga pantas kalau keluarga itu sekarang punya mobil.

Ketika ada wisuda di Unesa, saya juga melibat ada perubahan yang signifikan.  Dahulu banyak wisudawan bersama orangtuanya datang menggunakan bemo, bahkan ada beberapa yang naik becak.  Sekarang ini mereka datang dengan kendaraan plat hitam, avansa, kijang dan seterusnya.  Mungkin saja mobil sewaan, tetapi minimal mereka mampu menyewa mobil seperti itu dan bukan menyewa bemo.

Jadi apakah itu indikator ekonomi masyarakat kita membaik?  Saya bukan ekonom dan merasa tidak punya otoritas menjawab pertanyaan seperti itu.  Namun saya senang jika benar-benar ekonomi kita membaik.  Moga-moga ramainya bandara juga merupakan indikator, sekarang masyarakat kita sudah mampu naik pesawat.

Namun ada dua hal yang tampaknya perlu kita pikirkan ketika ekonomi masyarakat kita membaik dan mereka dapat membeli mobil dan naik pesawat.  Pertama, perilaku kita dalam mengendarai mobil dan naik pesawat harus segera ditata.  Anak laki-laki saya sering menggerutu melihat perilaku seperti itu.  Katanya, kenaikan finasial mereka belum dibarengi dengan kesadaran akan hak-kuwajiban.  Akibatnya saat menyopir dan parkir mobil belum memperhatikan apakah mengganggu orang lain.  Demikian pula ketika berada di bandara.  Tampaknya perlu ada edukasi khusus saat mereka mencari SIM.  Tampaknya perlu pengaturan disertai dengan edukasi kepada pengunjung bandara.

Kedua, perlu ditumbuhkan semacam financial literacy.  Ketika mereka memiliki pendapatan “berlebih” tampaknya cenderung menjadi konsumtif.  Meskipun itu tidak salah, tetapi tentu kurang baik. Kalau saja simpanan karena pendapatan yang banyak itu dapat diarahkan ke hal-hal yang produktif tentu akan berdampak positif terahap ekonomi rumah tangga, perekonomian masyarakat dan negara.   Tentu para ekonom yang lebih faham bagaimana caranya.  Semoga.

Tidak ada komentar: