Rabu, 27 Januari 2016

FENOMENA DWP: PERGESERAN SISTEM NILAI?



Beberapa hari ini saya melihat tayangan TV tentang anggota DPR berinisial DWP yang tertangkap tangan menerima suap.  Tampaknya ini menyusul anggota DPR lainnya berinisial DYL yang juga ditangkap polisi karena kasus suap.  Menurut berita, kasusnya hampir sama yaitu menerima suap untuk memuluskan pengurusan anggaran suatu proyek.

Saya tidak punya kapasitas untuk mendiskusikan substansi suap atau masalah hukum lainnya.  Yang ingin saya bahas adalah perilaku mereka, khususnya DWP yang ditayangkan oleh TV. Saya tidak ingat persis penampilan DYP, mungkin saat itu saya tidak begitu perhatian.  Untuk DWP, kebetulan saat itu saya sedang menginap di hotel, sehingga ketika ditayangkan di TV saya sempat memperhatian.  Dengan mengenakan rompi oranye, rompi tahanan KPK, DWP selalu menebar senyum di depan kamera dan bahkan sempat melambaikan tangan. Dalam pandangan saya, tidak tampak sama sekali wajah sedih atau yang sejenis itu.

Apakah penampilan DYL dan orang-orang yang ditangkap KPK karena kasus korupsi seperti itu?  Saya tidak ingat.  Apakah memang dalam kehidupan sehari-hari DWP selalu tersenyum, sehingga walaupun terkena kasus juga tetap tersenyum?  Atau ketangkap KPK karena suap dianggap hal yang “tidak memalukan” atau bahkan “membanggakan” karena dianggap punya kewenangan?

Jujur saya kawatir jika yang terakhir itu yang benar.   Mengapa?  Karena, konon banyak orang yang dihukum karena korupsi, saat sudah keluar menyalonkan diri menjadi bupati.  Artinya yang bersangkutan tidak merasa malu karena korupsi.  Yang bersangkutan tetap percaya diri dan menganggap diri layak untuk menjadi bupati.  Bahan menurut berita, ada koruptor yang saat keluar dari penjara dijemput oleh “pendukungnya” bak pahlawan.

Seingat saya sekitar 15 tahun lalu, ada pejabat di propinsi Jawa Timur yang diadili karena korupsi. Ketika proses penyidikan berlangsung dan bahkan sampai proses pengadilan, keluarganya sangat tertekan.  Anaknya yang sekolah di SMP dan SMA sampai tidak tahan dan konon pindah ke Bandung, daerah asal orangtuanya.  Menurut anak saya yang kebetulan teman mereka, bercerita sejak Bapaknya terkena kasus korupsi anak-anak itu menjadi pendiam dan sangat mudah tersinggung

Mengapa terjadi perubahan yang demikian signifikan?  Itulah pertanyaan yang berkecamuk di benak saya.  Mungkin teman dari psikologi atau sosiologi yang dapat menjawab.  Sebagai guru saya hanya bisa bertanya dan menduga-duga.  Apakah sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat kita?  Apakah masyarakat yang cenderung hedonistik kemudian “menghalalkan” korupsi sebagai salah satu cara mendapatkan materi?

Saya kemudian mengaitkan dengan apa yang terjadi di sekolah.  Saya pernah bertanya kepada para guru: “jika sedang mengadakan ulangan umum dan kemudian terpaksa harus meninggalkan ruang kelas, berapa orang yang menyontek?”.   Pada umumnya para guru menjawab “lebih dari 50%”.  Sepertinya menyontek sudah menjadi “hal biasa” dan tidak lagi dianggap aib. Konon anak yang ketahuan menyontek juga tidak malu.  Apakah itu juga akibat pergeseran nilai-nilai seperti halnya pada kasus korupsi?

Saya juga teringat dengan kebiasaan sopir angkutan umum yang suka berhenti di lokasi yang ada tanda larangan berhenti (huruf S yg disilang), namun karena itu sudah menjadi kebiasaan, akhirnya masyarakat menganggapnya seperti hal yang biasa.  Apakah korupsi dan nyontek juga seperti itu?  Karena banyaknya orang korupsi dan anak nyontek, akhirnya masyarakat menganggapnya hal biasa.

Tentu kita sepakat bahwa korupsi, nyontek dan melanggar rambu lalu lintas merupakan perbuatan salah dan harus dihindari dan dihilangkan.  Pertanyaannya, bagaimana caranya?  Semoga pembaca dapat memberikan usulan yang tepat.  

Tidak ada komentar: