Senin, 11 Januari 2016

MEA DAN RSBI



Beberapa hari di awal tahun 2016, Radio Suara Surabaya secara intens membahas kesiapan kita menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).  Kesan saya, banyak penanggap yang meragukan kesiapan kita, khususnya dari sisi SDM.   Salah seorang penanggap membahas lemahnya bahasa Inggris kita.  Penanggap mengatakan “kalau bahasa Inggris kita payah, jualan juga sulit, negosiasi susah apalagi melamar kerja di perusahaan internasional”.  Pada hal, saat MEA nanti arus modal akan masuk deras ke Indonesia, sehingga jumlah perusahaan multinasional akan semakin banyak.  Dan tentu di perusahaan semacam itu, bahasa Inggris sangat diperlukan.

Saya mendengarkan “ocehan penting” itu sambil mengemudi, sehingga tidak dapat berpikir secara baik.  Sampai di kampus saya memikirkan dan mencoba mengingat-ingat apakah apa yang disampaikan penanggap itu betul.  Kalau kita baca iklan di koran, sangat banyak lowongan yang mensyaratkan bahasa Inggris. Kalau kita baca formulir bank, hampir semua menggunakan dua bahasa.  Konon, mengapa perawat kita tidak mampu menembus lapangan kerja di Timur Tengah bukan karena skill keperawatan tetapi karena bahasa Inggris kita yang lemah.  Akhirnya rumah sakita di Timur Tengah lebih senang menerima perawat dari Phillipines.

Merenungkan itu, saya jadi teringat RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang pernah dikembangkan oleh pemerintah tetapi harus bubar karena pasal dalam UU Sisdiknas yang dijadikan landasan dicabut oleh MK (Mahkamah Konstitusi).  Saya dengan ada dua alasan mengapa dicabut, karena: (1) RSBI mahal, sehingga meresahkan masyarakat, (2) RSBI menerapkan bahasa Inggris sehingga ditakutkan mengerus rasa nasionalisme, dan (3) RSBI mendiskriminasi anak kaya dan anak miskin, anak pandai dan anak kurang pandai.  Saya sendiri tidak tahu pasti betul tidaknya alasan itu.  Namun rasanya perlu didiskusikan, agar lebih jelas dan mudah difahami.

Saya setuju kalau RSBI mahal, karena setahu saya siswa yang masuk Kelas RSBI dibebani iuran tambahan.  Namun menurut saya itu kan praksis dan bukan konsep.  Untuk sekolah negeri, pemerintah tentu dapat mengatur agar itu tidak terjadi, misalnya dengan memberikan dukungan khusus bagi kelas RSBI.  Toh selama ini pemerintah juga memberikan dukungan untuk lomba-lomba olimpiade yang dinikmati beberapa orang saja.

Sebenarnya kalau kita jujur, ada atau tidaknya RSBI sekolah seperti itu sudah ada dan sampai sekarang tetap berjalan.  Namanya macam-macam, misalnya “sekolah internasional”, “sekolah dengan kurikulum IB” dan sebagainya.  Pada umumnya sekolah seperti itu sekolah swasta dengan biaya mahal, sehingga yang masuk hanya anak-anak keluarga kaya.  Seandainya RSBI tetap ada dan pemerintah dapat mengatur agar tidak mahal, maka anak-anak pandai dari keluarga tidak kaya dapat menikmati sekolah seperti itu.

Apakah penggunaan bahasa Inggris untuk matapelajaran Matematika dan IPA akan menggerus rasa nasionalisme dan rasa cinta kepada bahasa Indonesia, saya tidak tahu.  Saya tidak punya kompetensi untuk menjawab itu. Saya tidak tahu apakah Pak BJ Habibie yang lama sekolah dan bekerja di Jerman rasa nasionalisme rendah. Apak Pak Dino Patti Jalal, mantan Wakil Menlu di era Pak SBY yang sejak SMA sampai dapat doktor di Amerika Serikat, rasa nasionalismenya rendah.  Apakah Pak Ilham anak Pak Habibie yang sejak SD sampai menjadi doktor di Jerman, rasa nasionalismenya rendah.  Apakah Asrul Ananda, anak Pak Dahlan Iskan yang sejak SMA sampai lulus S1 di Amerika Serikat, rasa nasionalismenya rendah.  Apakah anak para dosen yang menempuh SD, SMP, SMA di luar negeri karena ikut orangtuanya kuliah S2/S3 nanti rasa nasionalismenya rendah.

Tampaknya perlu ahli yang menjelaskan itu. Apalagi Pak Dahlan Iskan memperkenalkan istilah baru “nasmod” (nasionalisme modern).  Menurut Pak Dahlan, rasa nasionalisme tidak perlu dikaitkan dengan tempat tinggal dan tempat bekerja, tetapi kontribusi kepada negara.  Orang yang tinggal dan bekerja di negara lain tetapi memiliki kontribusi terhadap perkembangan negara Indonesia,berarti punya rasa nasionalisme bagus.  Pak Dahlan mencontohkan para ahli yang saat ini bekerja di negara maju, tetapi menularkan pengalamannya kepada generasi muda kita.

Apakah RSBI tidak membuat diskriminasi anak kaya dan miskin serta anak pandai dan kurang pandai?   Jika RSBI bisa diatur agar tidak mahal, maka diskriminasi kaya-miskin dapat dihilangkan.  Malah jika tidak ada sekolah negeri RSBI, diskriminasi terjadi karena hanya anak orang kaya yang dapat mengenyam sekolah seperti itu karena sekolah swasta dengan bayaran mahal seperti yang terjadi saat ini.

Apakah tidak membuat diskriminasi antara anak pandai yang masuk kelas RSBI dan anak kurang pandai yang masuk kelas biasa?  Sebenarnya pemilahan itu secara alami sudah terjadi.  Toh saat pendaftaran SMP dan SMK juga terjadi seleksi.  Malah di Jerman dan beberapa negara lain hanya anak-anak pandai yang boleh masuk SMA, sedangkan yang kurang pandai masuk ke “SMK”.  Dan hanya lulusan SMA yang boleh ke universitas, sedangkan lulusan “SMK” ke politeknik.

Ya sudahlah, toh RSBI sudah almarhum.  Kalau memang bahasa Inggris dianggap penting untuk bekal memasuki era MEA dan era global, mari dicari cara untuk meningkatkan kemampuan anak-anak kita dalam berbahasa Inggris.  Toh Malaysia dan Phillipines tidak menyebut sekolahnya dengan RSBI ketika menerakan billingual untuk Matematika dan Sains sejak kelas 4 SD.

Tidak ada komentar: