Senin, 28 Desember 2015




Bulan Desember ini tampaknya merupakan bulan sangat sibuk di Indonesia.  Dalam bulan ini saya beberapa kali diundang oleh Kemendikbud, Kemen Ristek-Dikti, provinsi dan kabupaten/kota untuk kegiatan yang terkait dengan pendidikan.  Umumnya kegiatan dilakukan di hotel, sehingga hotel banyak yang penuh.  Bahkan dalam waktu bersamaan seringkali ada beberapa lembaga yang mengadakan kegiatan di hotel yang sama, sehingga suatu saat ada yang berkomentar “bagaimana kalau digabung saja”.

Ketika di Bandung ada seminar dan sarapan pagi bersama, seorang teman dari suatu kementerian bercerita bagaimana dia harus pontang-panting meningkatkan daya serap.  Karena adanya perubahan struktur di kementerian, maka kegiatan tidak dapat dilaksanakan pada awal tahun karena harus menunggu struktur baru selesai dan semua jabatan penting terisi.  Nah, kegiatan real baru dapat dimulai sekitar bulan Agustus, sehingga sekarang mereka harus pontang-panting menyerap anggaran, karena daya serap merupakan salah satu indikator penting pekerjaan mereka.

Ketika teman tadi bercerita dengan semangat, teman lain memotong.  “Nggak usah cerita gituan pada Pak Muchlas”. “Pak Muchlas sudah ngalami semua, sudah pernah jadi konsultan, pernah jadi direktur dan pernah jadi rektor”.  “Pokoknya sudah mengalami semua deh”.  Keduanya tertawa ngakak dan sayapun juga ikut ketawa.  Sampai-sampai teman lain yang duduk di meja sebelah menoleh.

Memang sedikit banyak saya tahu kalau daya serap menjadi salah satu indikator prestasi kerja pejabat.  Ketika masih “menjabat” dulu, setiap mendekati akhir tahun saya juga dibingungkan untuk menyerap anggaran yang tersisa.  Pejabat yang daya serapnya rendah akan diolokkan “menghabiskan anggaran saja tidak bisa, apalagi kalau disuruh mencari anggaran”.   Ketika tahun anggaran ditutup dan setiap unit dipampangkan daya serapnya, unit kerja yang daya serapnya rendah jadi tidak enak.

Apalagi dari pengalaman, unit kerja yang daya serapnya rendah seringkali pada tahun berikutnya anggarannya diturunkan karena dianggap tidak mampu melaksanakan program kerja yang telah disusun.  Kalaupun prestasi kerja unit tersebut bagus dan semua kegiatan telah berjalan baik, akan dikatakan prestasi itu dapat dicapai dengan anggaran tidak sebesar tahun lalu, sehingga sebenarnya anggaran tahun lalu itu terlalu besar.

Jadi mereka yang terdorong untuk meningkatkan daya serap juga tidak salah.  Hanya saja, dorongan seperti itu seringkali mengalahkan logika untuk memastikan apakah kegiatan yang dilaksanakan itu benar-benar penting dan jika penting apakah kegiatan itu berjalan dengan baik, sehingga sararannya tercapai.  Oleh karena itu tidak perlu heran apalagi membantah tanpa dasar yang jelas, ketika ada yang mengatakan “tidak ada korelasi antara daya serap dengan ketercapaian sasaran kerja”.   Maksudnya belum tentu unit kerja yang daya serapnya tinggi itu, mencapai sasaran kerja yang telah dicanangkan dan juga sebaliknya.  Dengan kata lain, belum tentu unit kerja yang daya serapnya tinggi pekerjaannya efektif.  Sebaliknya belum tentu unit kerja yang daya serapnya tidak tinggi pekerjaannya tidak tercapai.

Ketika daya serap menjadi primadona, biasanya masalah efisiensi tidak menjadi perhatian.  Unit kerja yang mampu mencapai target dan bahkan berprestasi dengan anggaran kecil bukan diberi apresiasi tetapi malah dihukum karena dianggap mengajukan anggaran yang dibesar-besarkan.  Sebaliknya unit kerja yang daya serapnya tinggi dipuji tanpa ditanya apakah kegiatan yang dilaksanakan berjalan efektid dan sasarannya tercapai.

Rasanya pola pikir yang selama ini berjalan itu perlu segera diluruskan.  Penyerapkan anggaran memang tetap haus menjadi salah satu ukuran, tetapi harus ditempatkan dibawah pencapaikan sasaran kinerja yang biasanya disebut dengan IKU (indikator kinerja utama) yang dalam bahasa Inggris disebut dengan KPI (key performance indicator).  Maksudnya yang dilihat lebih dahulu adalah capaian IKU.  IKU juga harus berupa out put dan bukan proses.  Misanya output tidak boleh “terlaksananya pelatihan guru selama 5 hari dengan peserta 300 orang”, tetapi harus menunjuk pada hasil, misalnya “terjadi peningkatan kompetensi sebanyak 300 guru yang ikut pelatihan”.









Gambar diatas dapat digunakan untuk menelaah kinerja sebuah unit kerja. Kalau IKU tercapai atau mendekati tercapai dan anggaran terserap habis, berarti unit kerja itu bekerja dengan baik tetapi biasa-biasa saja dan bukan istimewa.  Kalau IKU tercapai atau hampir tercapai, tetapi anggaran tersisa banyak, justru itulahu unit kerja yang hebat karena mampu menerapkan efisiensi.  Buktinya kegiatan berjalan dan IKU tercapai, tetapi anggarannya tersisa banyak.  Kalau anggaran habis atau hampir habis sehingga daya serapnya tinggi tetapi IKU tidak tercapai berarti unit kerja itu boros.  Buktinya anggaran habis tetapi IKUnya tidak tercapai.  Nah, kalau anggaran tersisa banyak dan IKU tidak tercapai, unit kerja itu memang tidak bisa bekerja.

Dengan pola pikir itu, penyerapan anggaran memang tetap menjadi upaya tetapi tujuannya bukan untuk sekedar menghabiskan angaran, tetapi agar kegiatan yang telah direncanakan berjalan dan itupun harus berjalan dengan baik sehingga IKU tercapai.  Syukur mampu melaksanakan itu secara efisien, sehingga anggaran tidak perlu dihabiskan, karena yang penting IKUnya yang dapat dicapai atau bahkan melebihinya.  Semoga.  

Tidak ada komentar: