Jumat, 16 Februari 2018

GURDASUS


Tanggal 14 Februari 2018 pagi saya diundang oleh teman-teman GTK di Puri Denpasar Jakarta.  Sebenarnya hari itu saya harus memandu pertemuan Tim UKMPPG, namun acara baru mulai pukul 14.00.  Oleh karena itu saya sampaikan ke Bu Elfira, Kasubdit di Direktorat Pendidikan Dasar, bahwa saya hanya dapat ikut pertemuan pagi hari saja dan setelah makan siang akan pindah ke rapat bersama Dit Penjamu.

Ketika saya datang sudah ada beberapa teman, namun rapat belum dimulai. Saya melihat ada Prof Hari dari UNY dan Bu Nike salah satu Kasubdit di Direktorat Dikdas, serta beberapa staf Ditjen GTK.  Beberapa saat kemudian hadir Bu Reny dan Bu Elfira.  Saat rapat dimulai, Bu Nike menjelaskan bahwa program Gurdasus (Guru Daerah Khusus) dimaksudkan agar guru-guru honorer di daerah 3T dapat sukses mengikuti PPG dan pada akhirnya dapat menjadi guru PNS di daerah tersebut.  Oleh karena itu sedang didata berapa guru honorer yang layak, misalnya usia maksimal 33 tahun sehingga masih mungkin ikut PPG dan setelah itu mendaftar menjadi CPNS, memiliki kemampuan yang memadai sehingga lulus tes masuk PPG dan setelah mengikuti PPG juga lulus dengan baik.

Mendengar penjelasan itu, saya berpikir inilah kebijakan mulia yang saya tunggu.  Selama mengunjungi mahasiswa peserta SM3T dan melihat kondisi sekolah disana, saya melihat guru merupakan masalah sangat krusial.  Banyak SD yang hanya memiliki satu atau dua orang guru. Bahkan ada SD yang sama sekali tidak memiliki guru, sehingga akhirnya dikelola oleh Pak Pendeta di daerah tersebut.  Guru yang ada umumnya juga guru honorer yang diambil dari masyarakat setempat.  Ada yang berpendidikan S1 tetapi juga banyak yang tamatan SLTA dan bahkan SMP yang mengajar di SD.

Tidak ada guru pendatang? Ada, tetapi jumlahnya tidak banyak dan seringkali tidak kerasan. Mengapa tidak kerasan? Bukankah sebagai guru di daerah 3T mendapat tunjangan khusus yang lumayan besar?  Bagi yang belum pernah ke daerah 3T mungkin sulit mengerti, namun bagi yang sudah pernah ke daerah tersebut saya yakin dapat memahami.  Dapat dibayangkan anak muda dari Jakarta, Bandung, Jogya dan Surabaya kemudian bertugas mengajar di daerah yang tidak ada listrik, tidak ada toko, tidak ada pasar, tidak ada keramaian apa-apa.  Kalau ke kota kabupaten harus naik “bis kayu” yaitu truk yang diberi kursi dari kayu.  Itupun kalau daerah 3T yang di “daratan”.  Kalau yang kebetulan di daerah kepulauan jauh lebih parah.  Ada kapal tetapi hanya seminggu sekali dan itupun kalau cuaca sedang baik.

Oleh karena itu kebijakan sangat baik, kalau dapat mengupayakan yang menjadi guru di daerah 3T adalah anak muda setempat yang tentunya sudah terbiasa dengan kondisi sebagaimana disebutkan di atas.  Namun pengalaman menunjukkan pada umumnya “kemampuan akademik” mereka belum sebaik temannya yang dari Jawa atau kota besar lainnya di luar Jawa.   Mungkin sekali hal itu bukan karena kemampuan dasarnya, tetapi karena pendidikan yang dialamani kurang baik sehingga akhirnya kemampuan setelah lulus juga kurang baik. Apalagi seringkali mereka kuliah pada perguruan tinggi “seadanya” karena tidak ada perguruan tinggi yang baik di daerah tersebut.

Nah, tantangannya bagaimana agar guru honorer tersebut lolos tes masuk PPG dan setelah mengikuti PPG juga lulus dengan baik.  Dalam rapat tersebut dijelaskan kalau Ditjen GTK akan menyediakan program pelatihan di LPMP selama 1 bukan sebelum mereka tes masuk PPG, dan selama itu peserta akan diasrama agar dapat konsentrasi.  Peserta juga diberi biaya transportasi dari tempat tinggal sampai ke LPMP pergi dan pulang.

Belajar dari UKMPPG yang pada umumnya lulusan LPTK “yang kurang baik” banyak yang gagal, maka pada rapat tersebut dilakukan penguatan materi akademik dan diberikan latihan soal secara intensif.  Akhirnya disepakati, pelatihan selama 4 minggu dan setiap akhir minggu ada latihan ujian untuk materi yang telah diterima. Hasil latihan tersebut dianalisis untuk mengetahui bagian mana yang belum baik penguasaannya sehingga dapat digunakan untuk memberikan remidial pada minggu berikutnya.

Selama mengikuti rapat tersebut, saya merenung.  Inilah program mulia dan dapat menjadi awal pelaksanaan program ikatan dinas untuk calon guru daerah 3T.  Oleh karena itu saya usulkan dibuat road map selama 5 tahun, sehingga program tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan dan pada akhirnya dapat menyelesaikan masalah kekurangan guru di daerah 3T.  Semoga.

5 komentar:

nurdin makaborang mengatakan...

AssAssalamualaikum
Alhamdulillah, kalau boleh saya usul pak. Tolong dibangun juga mindset bahwa kalu sudah menjadi PNS harus punya etos kerja yg tinggi. Bukan sebaliknya, hanya menikmati safe mode kehidupan yg pada akhirnya menurunkan kinerja sbg Abdi Negara.
Terima kasih, wassalam

AaGanz mengatakan...

Pak bagaimana dengan nasib guru2 yg dari sm3t angkatan 4 - 6, kan sudah selesai dan lulus ppg nya serta sudah punya serdik,, katanya tahun ini ada pengangkatan GGD lagi, tapi belum ada info lagi, sungguh lama menanti, tolong pak d selesaikan dulu seperti kaka tingkat sm3t angkatan 1-3 sudah di angkat jadi GGD,, kami sangat siap mengabdi di plosok negri indonesia

Setiawan Dejavu mengatakan...

Benar, para guru sm3t sudah teruji dan tidak diragukan lagi totalitas dan loyalitas pengabdian dlam pendidikan, jika dibuka GGD kami para sm3t akan sangat siap mengabdi di pelosok negri.

Setiawan Dejavu mengatakan...

Sangat ingat waktu kepulangan kami (sm3t) semua masyarakat dan para murid mengharapkan kedatangan kami untuk kembali bisa mengajar disana

burhankemhayspd@gmail. com mengatakan...

Kami dari alumni UNIMA mohon infonya pak apakah di tahun 2019 ini akan di adakan pengangkatan khususya GGD berasrama dan SM3T karena selama ini kami masih pegawai honorer yang di tempat di pelosok dan sanagt sulit untuk di jangkau dan tanpa biyaya honor dari pemda maupun dari sekolah tersebut jadi kami sangat berharap di tahun 2019 ini akan di adakan pengangkatan khususya GGD berasrama dan SM3T.