Sabtu, 09 Juni 2018

MENGUTUK PENTING TETAPI TIDAK CUKUP


Sebagai warga Surabaya, saya kaget-tidak menduga-bahkan tidak dapat memahami peristiwa pengeboman hari Minggu dan Senin lalu.  Kebetulan hari Minggu itu saya akan ke Jakarta dan sudah memiliki tiket Garuda pukul 15.50.  Paginya ingin ke Gramedia dahulu untuk membeli buku buat cucu yang berusia 3 tahun.  Biasanya kalau saya datang ke rumahnya, si cucu bertanya “yang kakung bawa buku?”.   Dia juga sering minta dibacakan buku kalau mau tidur.  Begitu TV memuat berita pengeboman di Gereja Maria Tak Bercela, rencana ke Gramedia saya batalkan, karena jalan dari rumah ke Gramedia Manyar melewati sekitar gereja tersebut.  Akhirnya saya di rumah saja, mendengarkan siaran TV.

Sebagai orang awam tentang terorisme, muncul pertanyaan di benak saya.  Apakah ini fenomena baru, kok yang mengebom merupakan tim keluarga.  Info yang saya dapat, pengebom di tiga gereja itu masing-masing dari satu keluarga.  Ayah, isteri dan anak-anaknya. Konon juga ada anaknya masih yang masih kecil.  Dari yang saya baca selama ini, biasanya pengeboman seperti itu dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari orang dewasa.  Logikanya mereka sudah tahu tentang apa yang mereka lakukan, termasuk alasan dan konsekuansinya.  Kalau sekarang dilakukan oleh keluarga, apakah berarti terjadi perubahan pola?  Jika ya, apakah itu merupakan strategi agar tidak mudah terdeteksi pihak berwajib?  Apakah itu merupakan pelatihan bagi anak-anak mereka?

Pertanyaan berikutnya, mengapa pengeboman tidak pada Kamis lalu saat ada misa yang pasti jamaahnya banyak?  Seingat saya, setiap ada hari raya keagamaan tempat ibadah dijaga oleh yang berwajib karena kawatir ada gangguan.  Nah, apakah pengebom menghindari penjagaan seperti itu, sehingga memilih hari lain?  Atau terkait dengan informasi bahwa hari itu ada jadwal istighosah di frontage barat Jl Ahmad Yani, sehingga diyakini sebagian petugas dikonsentrasikan ke sana?  Dengan begitu penjagaan gereja menjadi agak longgar?

Yang mengherankan adalah keberanian pengeboman di Mapolrestabes Surabaya.   Bukankah kantor polisi pasti dijaga, apalagi Mapolrestabes yang tentunya memiliki penjagaannya cukup ketat.  Apalagi sehari sebelumnya sudah terjadi pengembonan di 3 gereja yang logikanya membuat penjagaan obyek vital lebih ketat, termasuk kantor polisi, lebih ketat.  Apakah itu terdorong oleh peritiwa di Markas Brimob dan itu mereka anggap sukses?  Apakah ada alasan lain?  Apalagi informasi di TV ketiga keluarga yang melakukan pengeboman itu saling kenal, sehingga diduga merupakan suatu jaringan.

Ke HP saya terus masuk berbagai informasi, baik melalui WA, WA grup maupun sms.  Anak saya yang tinggal di Edinbrugh dan Jakarta ribut dan terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi.  Keduanya pesan, saya dan isteri jangan keluar rumah.  Bahkan anak yang di Jakarta mendesak segera saja berangkat ke Jakarta.  Prof Arismunandar, mantan rektor UNM, yang kebetulan dua putranya kuliah di Surabaya bertanya apakah Surabaya cukup aman dan terkendali?  Apakah putranya harus pulang ke Makasar dulu?

WA dan sms yang masuk ke HP saya juga banyak yang memuat kutukan terhadap pengemboman itu.  Kutukan yang menurut saya wajar dan bahkan penting untuk menunjukkan ketidaksetujuan dengan tindakan itu.  Kutukan datang dari perorangan maupun berbagai organisasi.  Cara mengungkapkan kutukan juga bermacam-macam.  Ada juga yang disertai do’a bagi korban dan penguatan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Merenungkan peristiwa yang saya sulit memahami, saya berpikir pengutukan memang perlu bahkan penting, tetapi rasanya tidak cukup.  Perlu ada kajian mendalam mengapa peristiwa itu terjadi.  Bahkan jika betul terjadi perubahan pola, mengapa terjadi perubahan pola dan kemana arahnya.  Apalagi sekarang melibatkan anak kecil yang logikanya belum dapat memahami apa yang dilakukan dan apa konkuensinya.  Saya tidak memiliki keahlian di bidang itu, sehingga berharap ada teman atau lembaga yang melakukan kajian secara mendalam.

Berdasarkan kajian seperti itu dapat dirancang upaya agar peristiswa semacam itu tidak terulang.  Ibaratnya kajian tersebut dapat menemukan sumber masalah yag menyebabkan peristiwa tersebut apa, bagaimana kaitan dengan faktor-faktor lain.  Jika menggunakan cara berpikir ala Six Hats-nya De Bono, semua warna topi dikaji sehingga kita dapat menemukan solusi yang efektif.  Semoga.

Tidak ada komentar: