Jumat, 31 Januari 2020

Catatan Umroh 1: Semoga Isi Bukan Bungkus


Selasa tanggal 12 Januari 2020 kemarin saya bersama isteri, kakak dan adik berangkat umroh bersama rombongan Safira.  Sesuai dengan panduan, jama’ah sudah harus berkumpul di Terminal 1 Bandara Juanda pukul 07.00 pagi.  Ketika tiba di bandara saya bingung ternyata ada beberapa rombongan dengan seragam yang berbeda-beda.  Minimal ada   empat rombongan jamaah umroh, kaena ada empat jenis seragam.  Yang saya tahu juga ada logo dan tulisan yang di tas yang dibawa ada rombongan Safira, rombongan Al Falah, rombongan Qiswah. Yang satunya lagi tidak terbaca.

Setelah dibriefing singkat dan mendapatkan identitas berupa kartu yang dikalungkan, kami-rombongan Safira diminta masuk ke ruang tunggu untuk sarapan pagi. Tampaknya lounge telah dibooking oleh Safira.  Buktinya hampir tidak ada tamu lain selain rombongan Safira yang konon berjumlah 140 orang. Dari sajian makanan tampaknya sudah dipesan sesuai dengan “harga”, sehingga tidak sebanyak seperti lazimnya di sebuah lounge bandara.  Sederhana, ada nasi soto, bubur kacang ijo, tahu petis, roti dan tentu saja kopi dan teh.  Cukup untuk sarapan pagi.

Sekitar jam 10, diumumkan agar jama’ah mulai pemeriksaan imigrasi karena pesawat akan take off  pukul 11.50. Saat masuk, pertama kali pemeriksaan dokumen oleh petugas kesehatan untuk memastikan apakan jama’ah sudah vaksin meningitis.  Setelah itu pemeriksaan imigrasi dan kemudian jama’ah dipersilahkan duduk di ruang tunggu, menunggu panggilan boarding.  Nah, saat itu saya tertegun.  Betapa banyaknya jama’ah umroh. Kami akan terbang langsung ke Madinah dengan Saudi Air dengan pesawat  Bouing 747 seri 400 dengan kapasitas 545 orang.  Dan ternyata setelah di pesawat saya lihat penuh. Tentu saya yang terbang di kelas ekonomi tidak dapat melihat penuh tidaknya di bagian bisnis.  Namun dengan kondisi seperti itu, saya yakin jumlah penumpang tidak kurang dari 530 orang, dengan asumsi kursi bisnis banyak yang kosong.  Pada hal semua yang ada di kelas ekonomi adalah jama’ah umroh. 


Sambil menunggu boarding saya terdorong mencari data berapa jumlah jama’ah umroh dari Indonesia per tahun.  Menurut data di Google, data tahun 2016 jumlah jama’ah umroh dari Indonesia 700.000 orang dan naik sekitar 10 % setiap tahun.  Kalau data tersebut benar, tahun 2020 akan mencapai 1 juta orang.  Teman saya bilang lebih dari itu, dan menurutnya bisa mencapai 1,5 juta orang.  Saya fikir juga masuk akal, karena saya yang setiap minggu terbang ke Jakarta melalui Terminal 2 Juanda, juga selalu ketemu jama’ah umroh yang mungkin menggunakan penerbangan lain.  Jadi betapa besar jama’ah umroh kita.

Biaya umroh memang tidak sama, tetapi tidak ada yang dibawah 22 juta untuk periode 10 hari dan bahkan ada yang mencapai 32 juta. Dengan demikian tentu hanya yang punya tabungan cukup yang dapat berangkat umroh.  Apa yang menyebabkan begitu banyak orang yang berumroh? Apakah ghiroh agama orang Islam naik, sehingga terdorong untuk umroh?  Atau tingkat ekonomi masyarakat muslim naik, sehingga mampu melaksanakan umroh?  Atau gabungan dari keduanya? Atau ada faktor lain?  Pertanyaan itu yang berkecamuk di benak saya sepanjang penerbangan Surabaya-Madinah.
Sebagai bangsa yang religius tentu fenomena itu sangat menggembirakan. Katakanlah ekonomi kita membaik, namun kalau ghiroh keagamaan tidak baik tentu orang tidak begitu mudah menggunakan uang 25 juta untuk umroh. Walaupun demikian, masih terbersit pertanyaan adakah unsur show off atau unsur mengikuti trend pada fenomena tersebut?  Semoga tidak.  Cak Nun (Ehma Ainun Najib) pernah berseloroh ada orang yang dalam ibadah lebih mementingkan bungkus dari isinya.  Dalam konteks fenomena umroh tersebut. Moga-moga jama’ah berangkat umroh bukan karena mengikuti trend, bukan karena ingin show off atau sejenis itu, tetapi benar-benar ingin ibadah.  Semoga didorong oleh isi dan bukan bungkus.

Mengapa saya mempertanyakan itu?  Bukankah itu berarti prasangka kurang baik?  Apakah itu tidak berarti meragukan ketulusan orang dalam beribadah? Semuanya betul.  Namun ada teman saya yang mengatakan ada orang yang keberagamaannya cenderung mengikuti trend dan baru sampai kulitnya.  Teman tadi memberikan contoh, banyak orang yang berpakaian muslim dan muslimah tetapi perilakunya masih dipertanyakan.  Mengapa?  Karena berpakaian muslim dan muslimah sekarang menjadi trend, bahkan konon iklan kosmetik yang membawa simbul Islam (halal) telah menjadi trend setter. Masih banyak contoh lain yang diberikan teman tadi.

Walaupun dapat memahami penjelasan teman tadi dan juga mempertanyakan fenomena banyaknya jama’ah umroh, saya memiliki harapan bahwa setelah melakukan ibadah di level kulitnya, pelan-pelan yang bersangkutan masuk ke isinya.  Setelah berpakaian muslim/muslimah, setahap demi setahap yang bersangkutan menyadari bahwa perilakunya harus sesuai pakaiannya.  Walaupun mungkin melaksanakan umroh masih lebih didorong ikut trend atau bahkan show off, tetapi setelah melakukan ibadah maraton di tanah suci yang bersangkutan merasa harus melakukan ibadah dengan lebih baik.  Saya masih ingat cerita Zamzawi Imron, si penyair celurit emas tentang Rendra. Katanya suatu saat, dalam sebuah drama Rendra memerankan seorang tokoh Islam dan sebagai dramawan tentu Rendra berusaha menghayati perannya itu.  Saat seperti itu hati Rendra terpanggil masuk Islam.  Semoga jama’ah umroh (termasuk saya) juga terpanggil hatinya menjadi muslim yang sebenarnya, setelah melakukan serangkaian ibadah di tanah suci. Semoga.  

1 komentar:

KitaMenangSekali mengatakan...

http://www.myownvogueworld.com/ menjadi salah satu blog kepercayaan untuk memcari informasi penting mengenai permainan judi bola SBOBET online.