Jumat, 10 Januari 2020

MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER SELALU GAGAL?


Kemarin sore sekitar pukul 16.30 saya naik taksi dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju daerah Darmawangsa Jakarta Selatan.  Macet?  Pasti. Waktunya pulang kantor. Apalagi proyek jalan layang atau LRT disitu juga belum selesai-selesai.  Nah, dalam situasi seperti itu beberapa kali terdengar klakson mobil patwal meminta mobil lain minggir, karena ada mobil “orang penting” mau lewat.  Biasanya plat mobilnya berindeks RFS atau semacam itu.  Tetapi sepanjang jalan dari Halim ke Darmawangsa kemarin, juga ada mobil berplat TNI dan Polri yang juga membunyikan klakson untuk minta mendahului.

Menikmati situasi seperti itu, saya jadi teringat ketika sedang naik taksi dari bandara Soetta ke kota.  Maksudnya ke lokasi di daerah tengah Jakarta dan melalui tol.  Sering juga ada mobil “orang penting” meminta jalan seperti itu dan yang lucu biasanya menggunakan bahu jalan.  Secara kebetulan, saya juga sedang membuka HP untuk mencari berita di detik.com dan menemukan heading “Ditilang karena lampu motor tak menyala, mahasiswa: kemapa Jokowi tak ditilang?”.  Saya baca, ternyata ada mahasiswa FH UKI ditilang karena lampu motornya tidak menyala. Yang bersangkutan tidak terima dan menggugat UU Lalu Lintas.  Nah dalam gugatan itu, dia berdalih Presidem Jokowi juga pernah melakukan hal yang sama (tidak menyalakan lampu saat naik motor) tetapi tidak ditilang. Saya tersenyum membacanya.


Seingat saya almarhun Cak Nur (Nucholis Majid) pernah mengatakan, perilaku kita di jalan raya itu menggambarkan karakter bangsa ini.  Ungkapan yang sejalan dengan itu juga pernah disampaikan oleh Pak Rum (Prof Rum Rowi, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya), katanya kita sering naik motor ngebut, nyalib kiri-kanan, bahkan menyerempet orang karena takut terlambat Jum’atan.  Yang punya moge (motor gede) konvoi dan meminta kendaraan lain minggir. Yang menyopir becak melaju terus walaupun lampu merah atau bahkan melawan arus.

Ada baiknya kita merenungkan mengapa fenomena seperti itu terjadi.  Tampaknya kita merasa diri kita atau urusan kita lebih penting dibanding orang lain.  Kita ingin tidak terlambat sholat jum’at, sehingga minta orang lain mengalah.  Kita tidak ingin terlambat rapat, sehingga meminta orang lain faham dan memberi jalan mobil kita. Kita ingin cepat sampai rumah, karena anak isteri sudah menunggu, sehingga minta orang lain memberi jalan mobil kita.  Kita ingin touring moge kita lancar, sehingga meminta pengguna jalan lainnya minggir.  Dan seterusnya.  Apa itu bawaan dari kecil atau menunjukkan kita masih berjiwa anak-anak ya?


 Almarhum Mbah Ti (ibu saya) mengatakan anak usia 2-4 tahun itu “kemratu-ratu” atau merasa dirinya seperti raja, sehingga menganggap dirinya paling penting dan semua keinginannya harus dipenuhi.  Oleh karena itu, anak-anak seusia itu akan merengek, seakan memaksa orang lain memenuhi keinginannya.  Jika tidak dipenuhi akan merengek sampai orangtuanya bingung.

Lantas, apa hubungannya dengan pendidikan karakter?  Dugaan saya, semua atau paling tidak sebagian besar yang saya sebutkan meminta orang lain minggir tersebut pernah sekolah.  Atau bahkan sarjana, tetapi kalau “ilmunya Mbak Ti” itu valid, berarti mereka itu masik “kemratu-ratu”.  Sikapnya masih seperti anak usia 3-4 tahun.  Jadi pendidikan karakter yang diharapkan dapat mengubah sikap anak-anak agar menghargai hak orang lain, “saya punya hak, tetapi orang lain juga punya hak yang tdak boleh saya langgar”, tidak berhasil. Pada hal penanaman pengetahuan dan sikap seperti itu sudah dilakukan sejak SD sampai perguruan tinggi.  Bahkan di jaman Penataran P4 era Pak Harto, hal seperti itu juga ditumbuhkan.

Mengapa pendidikan karakter tidak berhasil atau kasarnya gagal?  Pada hal sikap “kemratu-ratu” itu bisa merembet ke sikap koruptif, yang menganggap dirinya punya hak untuk mengambil hak komunitas atau hak rakyat atau hak negara.  Itulah yang perlu kita temukan, agar pendidikan karakter yang oleh Mendikbud saat ini (Nadiem Makarim) ditekankan lain.  Seingat saya, di era Mendikbud Prof Malik Fajar, upaya mengarusutamakan pendidikan karakter sudah dimunculkan melalui konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills), di era Mendikbud Prof M. Nuh, juga dimunculkan lagi bahkan sampai disusun Buku Pedoman Pendidikan Karakter.  Jika penyebab kurang berhasilnya pendidikan karakter di masa lalu tidak ditemukan, saya khawatir kita akan “terantuk batu yang sama”, mengulangi kegagalan yang sudah dialami sebelumnya.

Dahlan Iskan pernah bercerita karakter itu tidak dapat diajarkan tetapi harus ditularkan.  Penelitian yang dilakukan oleh Tim Kemdikbud tahun 2010 menemukan pendidikan karakter yang paling efektif dilakukan melalui “modeling”, sehingga pimpinan sekolah, guru dan tenaga kependidikan harus menjadi contoh bagaimana berperilaku dalam kehidupan keseharian.  Penelitian tersebut juga menemukan budaya sekolah sangat menentukan, karena anak-anak akan menyesuaikan diri dengan budaya sekolah, dimana-mana orangnya berperilaku yang baik.  Pertanyaannya, apakah kegagalan pendidikan karakter karena kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah belum mampu menjadi contoh bagaimana berperilaku yang baik.  Apakah budaya di sekolah tidak menggambarkan perilaku yang berkarakter?  Jujur, saya tidak tahu.

Namun kita memahami pada proses belajar, termasuk bersikap dan berperilaku, tidak hanya terjadi di sekolah.  Seperti kata Peter Senge dalam buku School That Learn, siswa  berinterkasi juga dengan siswa atau teman lain di luar sekolah, dengan orangtua di rumah, dan juga media sosial yang mereka tonton dan baca.  Dengan demikian perilaku siswa tidak hanya dipengaruhi oleh budaya sekolah dan orang-orang disekolahnya, tetapi juga oleh lingkungan keluarga dan orang-orang disitu, serta teman-teman lainnnya maupun media sosial yang di luar rumahnya. Apalagi, rentang waktu anak-anak di sekolah juga pendek dibanding di luar sekolah.  Jadi, karakter siswa tidak hanya dipengaruhi oleh keteladanan orang-orang di sekolah, tetapi juga oleh keteladanan orang-orang di luar sekolah, termasuk di televisi dan media sosila lainnya.  Pertanyaannya nambah lagi, apakah perilaku orang dewasa, apalagi orang-orang penting dan juga film-film ditelevisi tidak dapat menjadi contoh berperilaku yang baik ya?

Dari cerita di atas, berarti pendidikan karakter tidak dapat diserahkan kepada sekolah saja.  Pendidikan karakter harus menjadi tugas semua pihak.  Yang harus menjadi contoh berperilaku yang baik, tidak hanya guru, tetapi juga orangtua, dan tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat.  Masyarakat kita sangat patronistik, sehingga meniru patronnya.  Film, sinetron, youtube juga harus dikendalikan agar sesuai dengan karakter yang ingin dikembag]ngkan.  Jadi rumit ya?  Mungkin itulah mengapa pendidikan karakter belum berhasil, walaupun sudah dijalankan sekian lama.

Tidak ada komentar: