Senin, 13 Januari 2020

MERDEKA BELAJAR-2

Sungguh beruntung saya diundang dalam pertemuan tanggal 10-11 Januari 2020, karena dapat bertemu dengan Pak Iwan (Iwan Shahril, PhD, staf khusus Mendikbud).  Mengapa?  Karena Pak Iwan menjelaskan apa yang dimaksud dengan merdeka belajar, sehingga pertanyaan yang sebelumnya menggelayut di benak saya dapat terjawab.  Mudah-mudahan saya tidak salah dalam memahami penjelasan beliau.  Berikut ini saya ingin berbagi hasil renungan, setelah mendapat pencerahan tersebut.

Menurut beliau, merdeka belajar adalah sebuah filosofi yang ditandai dengan lima prinsip: Pertama, berdaya memberdayakan.  Artinya pendidikan harus membuat siswa berdaya dan mampu memberdayakan orang lain.  Juga harus membuat guru berdaya dan mampu memberdayakan orang lain, khususnya siswa.  Juga harus membuat kepala sekolah berdaya dan mampu memberdayakan orang lain, misalnya guru dan tenaga kependidikan, siswa dan bahkan orangtua siswa.


Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang intinya ingin membantu anak menjadi merdeka, mampu mandiri dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap harus diingat bahwa mandiri dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa manusia itu bagian dari komunitas dimana dia berada.  Juga sebagai makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga harus mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara manusia merdeka, bagian dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.

Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  Pak Iwan menggunakan istilah yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tetapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum memahami secara baik, karena memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun jika pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep mirip dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka belajar bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tetapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran tidak boleh berhenti pada apa yang dilakukan guru tetapi harus sampai apa yang diperoleh siswa.  Jadi yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, mencoba mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.

Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter. Menurut P Iwan yang lebih penting bagi anak-anak kita adalah menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sangat diperlukan di era disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, karena dapat dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menjelaskan secara detail atau saya yang tidak dapat menangkap penjelasan beliau.

Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak dapat dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tetapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) ketika belajar critical thinking, creativity dan sebagainya, kita memerlukan wahana dan wahana yang paling tepat adalah kompetensi.  Misalnya anak SD belajar berpikir kritis saat mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus belajar menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Jadi yang diperlukan bagaimana merancang pembelajaran topik (konten) tertentu, tetapi yang ingin dituju tidak hanya penguasaan kontennya tetapi juga kompetensi tertentu.  Jadi mirip dengan keinginan agar anak-anak belajar untuk mencapai HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari melakukan analisis-sintesis, evaluasi dan kreativitas.  Dugaan saya keinginan menggeser dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa anak-anak kita cenderung belajar di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kerisauan yang harus segera dicarikan solusinya.

 (2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak dapat melompat.  Matematika merupakan salah satu contoh. Anak tidak akan dapat belajar perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan dapat belajar pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa ketika belajar penjumlahan anak harus berpikir kritis sangat betul, tidak hanya hafal tetapi paham mengapa begini dan begitu. 

Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan bahan banding.  Matapelajaran (konten) disebut sebagai learning areas, sedangkan konten dan karakter disebut sebagai learning goals.  Misalnya, ketika anak SMP belajar IPA salah satu tujuannya adalah siswa dapat menguasai dan memanfaatkan pengetahuan tentang magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.

Ke-empat, sekolah sebagai unit inovasi, bukan seperti birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan sampai statement Mendikbud tentang RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru harus menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk melakukan inovasi pembelajaran, agar hasil belajar siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil belajar siswa itu fungsi dari inovasi praktis yang dilakukan guru dalam pembelajaran.

Ketika guru didorong melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study tujuannya mirip dengan itu, yaitu terus menerus melakukan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen penelitian yang justru membebani guru.  Yang lebih penting guru melakukan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya lakukan seperti ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa ketika melakukan refleksi harus didasari berpikir analisis-sintesis dan ketika merancang perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga harus melakukan HOT sebagaimana yang diajarkan kepada siswa.

Hasil-hasil inovasi pembelajaran seperti itu akan sangat baik dijadikan bahan berbagi pengalaman dalam forum KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak harus berupa kesuksesan tetapi juga kegagalan dan hambatan ketika melakukan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi tempat saling belajar bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi tempat berbagi berbagai pengalaman memecahkan masalah berdasarkan kondisi real di lapangan.

Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud sebagai unit enabler.  Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak sebagai pihak yang memerintah dan mengontrol, tetapi justu membantu dan memfasilitasi sekolah agar dapat melaksanakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin mirip dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, tugas guru adalah membantu dan menfalitiasi siswa agar dapat belajar dengan optimal.  Tugas kepala sekolah adalah membantu dan memfalitasi guru agar dapat bekerja dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud adalah membantu sekolah agar dapat melaksanakan proses pendidikan dengan baik.  Jadi bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.

Jika pemahaman saya benar, merdeka  belajar merupakan wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini diinginkan tetapi belum berjalan dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan memberdayakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang mengutamakan hasil belajar dan bukan hanya proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil belajar siswa harus sampai HOT.  Bukankah melalui PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus melakukan inovasi, sehingga sekolah merupakan unit inovasi dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan merupakan sebuah layanan. Tugas kepala sekolah adalah membantu guru dapat bekerja dengan baik dan tugas Dinas Pendidikan serta Kemdikbud adalah membantu sekolah agar mampu melaksanakan

1 komentar:

eroz072@gmail.com mengatakan...

Sangat memperkaya wawasan. Maturnuwun Bapak.