Sabtu, 29 Februari 2020

APA SETIAP MENTERI HARUS PUNYA TRADE MARK YA?


Mungkin istilah trade mark tidak tepat, tetapi saya tidak tahu istilah lain yang lebih cocok.  Yang saya maksud, apakah setiap menteri harus punya kebijakan yang khas, yang berbeda dengan menteri-menteri sebelumnya sehingga menjadi pencirinya. Kemudian kebijakan itu diberi nama yang seakan menjadi trade mark yang bersangkutan.  Mendikbud Nugroho Notosusanto terkenal dengan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), Mendikbud Wardiman Djojonegoro terkenal dengan kebijakan link and match, Mendikbud Muhammad Nuh terkenal dengan Kurikulum 2013, Mendiknas Muhajir Effendi terkenal dengan kebijakan zonasi, dan Mendikbud Nadiem Makarim sekarang ini terkenal dengan kebijakan merdeka belajar. 
Bahwa setiap pejabat punya kebijakan untuk mewujudkan mimpinya saat memimpin tentu merupakan sesuatu keniscayaan.  Bukankah seorang pejabat pasti punya keinginan agar para eranya instansinya menjadi “seperti ini”, yang lebih baik dari era sebelumnya.  Untuk mewujudkan itu dibuatlah kebijakan guna mengarahkan seluruh warga instansi untuk bekerja keras mewujudkan mimpi tersebut.  Namun disisi lain, muncul komentar “setiap ganti menteri ganti kebijakan”.

Dalam konteks Kemdikbud, pasti setiap kebijakan tentu dimaksudkan agar pendidikan semakin baik.  Minimal, kebijakan dimaksudkan untuk mengakselerasi menuju lebih baik itu.  Namun pelaksana kebijakan dalam bidang pendidikan itu kan ribuan bahkan jutaan orang.  Bagaimana akselerasi itu terjadi tetapi pelaksana di lapangan tidak bingung. Itu yang harus dipertimbagkan.  Jika pelaksana bingung bukan mustahil mereka demotivasi atau bahkan salah langkah.  Merenungkan fenomena itu, saya jadi teringat kata-kata bijak “bagaimana dapat menangkap ikan tetapi kolamnya tidak keruh”

Saya ingat Pak Budi Kuncoro, yang sekarang menjadi staf khusus Menko Polhukam, sering meggunakan ungkapan itu.  Saat menjadi konsultan yang menangani pelatihan dosen dan guru yang mengajar di PPG, beliau tidak menggunakan istilah pelatihan tetapi capacity sharing (berbagi pengalaman, berbagi kemampuan).  Beliau menjelaskan, istilah itu digunakan agar para dosen (sebagian professor) tidak merasa digurui.  Pada hal yang melatih dosen yang lebih yunior.  Dalam pelatihan tersebut para dosen digabungkan dengan guru yang mungkin saja bekas mahasiswanya.

Kawan saya yang doktor public policy menjelaskan, kebijakan memang diperlukan atau bahkan membuat kebijakan merupakan salah satu tugas pejabat.  Mengusahakan agar kebijakan itu difahami dan diterima oleh publik merupakan tahap berikutnya yang tidak kalah rumit. Mengutip pendapat seorang pakar, kawan tadi mengatakan untuk menyusun suatu kebijakan diperlukan data yang lengkap sebagai landasan, namun ketika data tersedia lengkap belum tentu tersusun kebijakan yang baik.  Tergantung keahlian si pembuat kebijakan.  Ketika kebijakan yang baik sudah terumuskan belum tentu publik memahami dan menerimanya.  Tergantung kepandaian staf yang bertugas melakukan sosialisasi.  Dalam bagian ini diperlukan tahap negosiasi, untuk mencocokkan kebijakan dengan kondisi lapangan.

Seringkali pembuat kebijakan melupakan tahapan tersebut.  Seringkali pembuat kebijakan tidak faham kondisi lapangan yang akan terkena atau menjalankan kebijakan tersebut. Seringkali pembuat kebijakan menganggap masyarakat luas “pandai” seperti dirinya.  Gap pengetahuan dan pemikiran antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan masyarakat yang terkena kebijakan seringkali menjadi penyebab lembatnya atau gagalnya suatu kebijakan.

Apakah kebijakan harus diberi nama yang menjadi trade mark pejabat pembuatnya?  Menurut teman yang PhD publik policy, tergantung tujuan dan siatuasinya.  Jika diyakini kebijakan itu sederhana, mudah difahami dan akan membuat publik senang, pemberian nama baru tepat.  Namu jika kebijakan tersebut dapat membuat banyak orang resisten, sebaiknya tidak diberi nama.  Dilakukan saja secara bertahap, nanti jika masyarakat sudah faham dapat dimunculkan namanya.  Mengapa begitu?  Jika masyarakat tidak faham dan bahkan resisten, akan menghabiskan waktu dan enersi untuk menyelesaikannya.   Nanti malah “kolamnya keruh dan ikan semakin sulit didapatkan”.

Bagaimana dengan Kemdikbud?  Teman saya, menjawab ibarat kapal kemdikbud itu kapal induk.  Ukuranya besar, isinya beranekaragam, banyak kepentingan di dalamnya.  Coba lihat, apapun kebijakan pendidikan (untuk dasar menengah), pada akhirnya yang melaksanakan guru di sekolah.  Guru diseluruh peloson tanah air.  Berapa jenjang yang harus dilalui agar keijakan Mendikbud sampai pada guru?  Sangat Panjang dan bukan tidak mungkin terjadi distorsi.  Bagaimana dengan pendidikan tinggi?  Lebih repot, karena dosen merasa otonomi sehingga seringkali tidak begitu saja patuh pada kebijakan dari atas.  Oleh karena itu, teman tadi mengusulkan sebelum kebijakan itu diumumkan, lebih baik dilakukan “negosiasi” atau “sosialisasi” lebih dahulu dengan tanpa memberikan nama yang mungkin bisan membuat public heboh.

1 komentar:

Admin mengatakan...

artikel yang bagus gan, sangat bermanfaat

Chatbot
Web Designer