Kamis, 10 Juli 2014

KATEGORISASI NEGERA: KITA MASUK MANA YA?



Tanggal 10 Juni 2014 pagi saya kedatangan tamu, Prof. DR. Philip K. Widjaya.  Dari karti namanya, beliau paling tidak memiliki tiga jabatan, yaitu Sekretaris Umum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, Sekretaris Jenderal Walubi, dan Committee Head of International Academic Relationship & School Affair Advisory-Universitas Ma Chung Malang.  Saya dikenalkan kepada beliau oleh mantan Sekretaris Pelaksana Kopertis VII, Drs. Made Mertha, MSi.

Karena baru pertama kali bertemu dan belum pernah punya aktivitas yang berkaitan tentu dalam pertemuan tersebut lebih banyak untuk menanyakan dan bercerita tentang kegiatan masing-masing.  Dan karena tahu kalau Prof. Philip adalah Sekretaris Umum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa, saya bercerita kalau Unesa memiliki Confucius Institute (CI) yang pendiriannya dibantu oleh Pemerintah China, melalui Hanban.   Saya juga bercerita kalau setiap tahun kami diundang dalam International Confucius Institute Conference yang persertanya dalam berbagai negara.

Beliau juga bercerita kegiatannya, baik di dalam maupun di luar negeri.  Salah satunya tentang Universitas Ma Chung, yang ternyata didirikan oleh alumni Sekolah Menengah Ma Chung yang ditutup pada tahun 1966.  Alumni tersebut tersebar di berbagai negara dan banyak yang sukses.  Melalui berbagai dikusi, disepakati para alumni itu mendirikan Universitas Ma Chung.  Yang boleh menjadi stake holders dengan menyumbang dana hanya 100 orang dan dari jumlah tersebut hanya 5 orang yang boleh “cawe-cawe” dalam pengelolaan.  Yang lain hanya boleh menyampaikan saran dan itupun harus melalui 5 orang yang telah ditunjuk.  Menurut beliau, kalau 100 orang semua ikut cawe-cawe manajemen akan menjadi ruwet.

Ketika diskusi tentang CI, saya mengatakan kalau Unesa ingin kegiatannya tidak hanya kursus bahasa Manadarin, tetapi menjadi CI dapat menjadi tempat pertukaran budaya antara Indonesia dan China.  Maksudnya anak-anak Indonesia dapat belajar China di CI, sebaliknya anak-anak keturunan Tionghoa dapat belajar budaya Indonesia.  Melalui kegiatan tersebut diharapkan terjadi interaksi intens antar mereka.  Dengan begitu keberadaan CI Unesa dapat ikut mendorong “pembauran” antara anak-anak keturunan Tionghoa dan anak-anak pribumi.

Setelah itu kami diskusi secara intens dan saya sangat tertarik terhadap analisis dan ulasan Prof Philip.  Dari diskusi itu saya menyimpulkan bahwa China memang sedang mencari cara untuk menggandeng negara-negara lain.  Sebagai negara yang diperkirakan akan menjadi super power, China sedang mencari pintu untuk memulai gerakannya untuk menanamkan pengaruhnya di negara lain.  Konon kekuatan militer dan ekonomi tampaknya kurang memberikan dukungan yang kukuh.  Oleh karena itu, China memilih menggunakan pintu diplomasi kebudayaan.  Dan dukungan pendirian CI di berbagai negara merupakan salah satu bentuk diplomasi tersebut.

Yang lebih menarik adalah mengapa faktor ekonomi tidak cukup kukuh sebagai alat diplomasi China.  Bukankah menurut berbagai berita kekuatan ekonomi China sangat besar dan sudah menjadi pesaing bagi negara super power Amerika Serikat.  Banyak ahli memperkirakan GDP China akan segera menyalip negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman dan Jepang.

Prof Philip mengatakan bahwa dilihat dari pola perekonomiannya, negara-negara di dunia ini dapat dibagi menjadi empat kategori.  Pertama, negara yang mengandal otak.  Negara jenis ini mengandalkan pertumbuhan ekonominya dari paten dan berbagai bentuk hasil riset yang menghasilkan royalty.  Aktivitas ekonomi di negara seperti itu banyak diwarnai oleh berbagai bentuk riset.

Kedua, adalah negara yang mengandalkan ekonominya dari industri dengan teknologi tinggi.  Dengan muatan teknologi tinggi, negrara tersebut mendapatkan nilai tambah yang sangat besar.  Bahan baku yang sangat murah akan berubah menjadi produk dengan nilai mahal, setelah diolah menjadi produk dengan teknologi tinggi.

Ketika, adalah negara yang mengolah bahan baku dengan teknologi sederhana.  Atau kalau dengan teknologi tinggi, teknologinya dikuasai oleh fihak lain dan industri di negara tersebut sekedar mengerjakan, sesuai dengan rancangan, bahan dan control kualitas dari pihak lain.  Dengan pola itu yang mendapatkan nilai tambah besar adalah yang memiliki teknologi, sedangkan yang mengerjakan hanya sekedar mendapatka upah kerja.

Ke-empat adalah negara yang menjual bahan mentah yang dimiliki tanpa diolah lebih dahulu.  Dengan demikian negara seperti itu hanya mendapatkan harga bahan mentah dan tidak mendapatkan nilai tambah sama sekali.

Menurut Prof Philip, China masih termasuk kategori ketiga.  Memang sudah tumbuh industry dna produkna sudah menguasai pasar dunia.  Namun yang dihasilkan adalah barang-barang yang dibuat dengan teknologi sederhana dan harganyapun juga murah.  Kalau ada pabrik dengan teknologi tinggi di China, teknologinya dimiliki oleh perusahaan dari luar China.  Jadi pabrik di China hanya mendapatkan ongkos kerja, sedangkan nilai tambah yang besar diperoleh oleh pemiliki teknologi di luar China.

Mendengar penjelasan itu saya jadi ingat cerita anak saya yang pernah bekerja di perusahaan garmen terkenal di Eropa.  Ternya pabriknya di China.  Di Eropa hanya membuat desain, menentukan bahan dan kontrol kualitas.  Pembuatan baju dan sebagainya dilakukan di China.  Mungkin mirip dengan industry otomotif di Indonesia, yang desain dan sebagainya dibuat di Jepang tetapi pabriknya di Indonesia.  Tentu keuntungan terbanyak diperoleh oleh yang punya teknologi.

Kalau China baru masuk kategori ketiga, lantas Indonesia masuk kategori berapa ya?  Jangan-jangan kategori ke-empat, karena kita menjual hasil-hasil tambang berupa bahan mentah.  Dan yang menarik kemudian kita mengimpor hasil tersebut setelah diolah menjadi produk tertentu.  Semoga kita dapat belajar dan setapak demi setapak dapat naik kelas. 

Tidak ada komentar: