Rabu, 23 Juli 2014

SARAN UNTUK HAFIZ KECIL MUSA



Saya beberapa kali menyaksikan Hafiz kecil Musa dan kawan-kawannya dalam acara televisi.  Namun baru hari ini membaca bagaimana dia belajar menghafal Al Qur’an, perilaku keseharian, dan harapan dia maupun orangtuanya.  Jawa Pos 21 Juli memuatnya secara cukup lengkap.  Ternyata dia mulai menghafal Al Qur’an mulau usia 2 tahun dan pada usia 4 tahun sudah dapat membaca Al Qur’an.  Juni lalu dia menuntas hafalannya.  Surat terakhir yang dihafalkan adalah Al Isra’ dan An Nahl.   Orangtuanya sendiri yang membimbingnya.  Sungguh luar biasa.

Walaupun sudah hafiz di usia belum genap 6 tahun, keseharian musa ternyata tidak jauh berbeda dengan teman seusianya.  Dia juga senang bermain dan bercita-cita menjadi pilot.  Sang orantua membebaskan akan berprofesi apa besuk.  Hanya saja untuk menjaga hafalannya, sang orangtua merencanakan Musa ikut homeschooling.

Saya bukan psikolog sehingga tidak faham karaterstik psikologi anak seperti Musa.  Namun saya menduga Musa adalah anak cerdas dan sangat mungkin punya IQ diatas rata-rata.   Sebagai orang yang lama mengajar, saya berpikir anak dengan IQ rata-rata akan sangat sulit menghafal 30 juz Al Qur’an.  Apalagi itu diselesaikan ketika berusia belum genap 6 tahun.

Saya teringat diskusi saya dengan Prof Imam Suprayoga manta rektor UIN Malang.  Beliau bercerita beberapa lulusan terbaiknya hafal Al Qur’an, pada hal mereka dari program studi “umum”, ada yang dari Fisika, Ekonomi, Teknik dan sebagainya.  Yang menarik mereka itu lulus dengan predikat cum laude.  Jadi kata kuncinya adalah mereka itu mahasiswa cerdas dan pekerja keras. Sehingga hasil belajarnya optimal, baik dari prestasi keilmuan pada bidangnya (cum laude) dan dalam bidang keagamaan (hafiz).

Jika kita percaya kalau Musa adalah anak cerdas, sangat mungkin akan berprestasi baik ketika sekolah dan bukan tidak mungkin akan berprestasi cemerlang dalam kariernya.  Terkait dengan itu, ijinkan saya mengajuan saran.  Pertama, rencana Sang Ayah untuk memasukkan Musa dalam home schooling dengan alasan untuk menjaga hafalannya perlu dipertimbangkan kembali.   Pengalaman di UIN Malang menunjukkan bahwa belajar “ilmu umum” tidak menyebabkan mahasiswa lupa belajar agama.  Di beberapa kampus umum (non IAIN/UIN) semangat mahasiswa belajar agama juga cukup tinggi.

Di samping punya kelebihan, home schooling juga punya kekurangan, yaitu sedikitnya kesempatan anak yang bersosialisasi dengan kawan-kawan di luar keluarga atau tetangga.  Pada hal bergaul dengan teman yang heterogen akan menjadi pengalaman hidup dan bekal hidup yang penting bagi anak-anak.  Bukankah pada saat dewasa, Musa juga akan bergaul dengan banyak orang yang sangat mungkin heterogen karateristiknya.

Memang saat ini mucul bentuk home schooling yang dilakukan oleh lembaga tertentu.  Namun menurut saya, lembaga seperti itu bukan lagi home schooling dalam konsep yang sebenarnya.  Tetapi hanya “cara” menghindari pendidikan formal dan akhirnya mirip seperti kursus.

Kedua, saya sangat gembira membaca bahwa Sang Ayah membebaskan Musa untuk akan menjadi apa atau berprofesi apa setelah dewasa.   Sangat bijaksana, karena anak harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya.  Bahkan menurut Jawa Pos, Musa ingin menjadi pilot.  Nah, karena ingin menjadi pilot sebaiknya Musa juga mendapatkan pendidikan yang cocok untuk masuk pendidikan pilot.

Namun karena cita-cita anak biasanya berubah-ubah, ada baiknya orang tua Musa mencermati kesenangan Musa atau jika perlu membawa ke psikolog untuk mendapatkan gambaran, profesi apa yang sesuai dengan bakat dan minat Musa.   Hal itu sangat bagus agar Musa tidak keliru memilih jalur pendidikan.

Ketiga, sangat baik kalau setelah dewasa Musa tidak menjadi ustad atau guru Agama Islam.  Mengapa?  Kalau Musa menjadi ustad atau guru Agama Islam tentu bagus, karena telah hafal AL Qur’an.  Bahkan mungkin akan menjadi ustad atau guru Agama Islam yang tersohor.  Namun, seandainya Musa besuk menjadi Bupati/Walikota atau Gubernur atau Kapolda atau Pangdam atau CEO perusahaan besar atau menjadi pengusaha besar, mungkin dampaknya kepada masyarakat jauh lebih besar.  Saya membayangkan kalau ada Walikota yang hafal Al Qur’an, tetapi setiap kebijakan yang diambil akan diwarnai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qur’an.  Tentu dia tidak mudah tergelincir pada tindakan yang negatif, karena teringat akan nilai-nilai dalam Al Qur’an.   Demikian pula jika yang bersangkutan menjadi pejabat pengambil kebijakan penting dalam berbangsa dan bernegara.  Semoga.

1 komentar:

Maharti Rn mengatakan...

masyaallah.........saya mengikuti terus acara hafiz quran, tingkah kekanakan musa tetaplah sesuai usianya, apresiasi hebat sumuda itu sudah hafal quran, saya setuju dengan saran prof samani,semoga generasi indonesia berawal dengan pembentukan akhlak dan berlandaskan al-quran semakin menjamur, musa dan keluarga semoga menginspirasi keluarga-2 indonesia, amiiien