Minggu, 06 Juli 2014

OTONOMI PERGURUAN TINGGI



Pasal 51 ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.  Sementara itu, pasal 62 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridarma.  Pasal 62 ayat (3)-nya menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi tersebut dieavaluasi secara mandiri oleh perguruan tinggi.

Jadi jelas sekali bahwa perundang-undangan mengamanatkan bahwa pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan secara otonom.  Semestinya perguruan tinggi memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk mengatur sumberdaya yang dimiliki.  Tentu ada rambu-rambu secara umum, misalnya pengelolaan itu harus dilaksanakan scara akuntabel dan transparan, sehingga setiap saat pengelola dapat dimintai pertanggungjawaban.

Namun demikian apakah seperti itu kenyataannya?   Ketua Majelis Guru Besar ITB, Prof Harijono Tjokronegoro (2012) menyatakan bahwa hakekat otonomi perguruan tinggi nyaris lenyap, otonomi seolah dianggap sesuatu yang baru dan sebagai suatu penyakit yang sedang tumbuh. Ungkapan dalam kata sambutan buku berjudul “Otonomi Perguruan Tinggi: Sebuah Keniscayaan” itu menunjukkan kerisauan beliau dan hampir semua penulis di buku tersebut tentang sempitnya ruang gerak perguruan tinggi di Indonesia.

Tanggal 3 Juli 2014, lima belas PTN (Perguruan Tinggi Negeri) diundang oleh Ditjen Dikti untuk membahas OTK (organisasi dan tata kerja) yang diusulkan.  Termasuk beberapa yang belum mengusulkan, tetapi diduga memiliki struktur lapangan yang tidak sesuai dengan OTK yang telah disetujui oleh Pemerintah.  Salam satu yang diundang adalah Unesa, karena memang sedang mengusulkan OTK baru agar sesuai dengan sitauasi dan kondisi di Unesa.

Penjelasan Sekretaris Ditjen Dikti tentang problema OTK sangat menarik.  Selama ini hampir semua PTN memiliki struktur yang tidak sama dengan OTK yang telah disahkan oleh Pemerintah.  Dan setiap PTN memiliki strukur sendiri-sendiri yang tidak sama antara satu dengan lainnya.  Di masa kalu hal itu tidak menjadi masalah, tetapi dengan penertiban keuangan dapat menimbulkan masalah.  PTN tidak diperbolehkan membayar tunjangan jabatan untuk jabatan/posisi/struktur di luar OTK yang telah disetujui oleh Pemerintah.

Masalah berikutnya, banyak jabatan yang selama ini sudah diterapkan di PTN tidak dikenal dalam nomerklatur Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), sehingga akan sulit disetujui jika struktur terebut diusulkan.  Jika tidak disetujui, maka tidak akan dapat dibayarkan tunjangan jabatannya, walupun dengan menggunakan PNBP (penerimaan negera bukan pajak) yang dihasilkan oleh PTN sendiri.  Oleh karena itu jika ingin aman, PTN harus kembali ke struktur baku yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Apa yang menarik dalam hal ini?   Struktur PTN diseragamkan menurut desain Pemerintah.  Pada hal selama ini hamper semua PTN memodifikasi struktur tersebut agar lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.   Modifikasi itu pasti didasari agar pengelolaan PTN dapat lebih efektif. Modifikasi itu tentu bukan asal-asalan dan bukan sekedar ingin beda, tetapi tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan.   Dengan kata lain, struktur baku dari Pemerintah tidak lagi cocok dengan kondisi lapangan, sehingga disesuaikan.

Pertanyaan yang muncul, bukankah baik Undang-undang Sisdiknas dan Undang-undang Dikti menyatakan bahwa pengelolaan perguruan tinggi dilakanakan dengan prinsip otonomi?  Jika semua harus dibakukan, dimana letak otonomi?  Jadi ada benarnya kerisauan Prof. Harijono Tjokoronegoro tentang kurangnya otonomi pengelolaan perguruan tinggi.

Saya membayangkan tambahan kata “Reformasi Birokrasi” dan Kemenpan, dimaksudkan agar pola kerja birokratis di lembaga pemerintahan dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi.  Sudah menjadi rahasia umum lambatnya layananan di lembaga pemerintahan dan juga kurang lincahnya manajemen di lembaga pemerintahan diakibatkan oleh pola kerja yang birokratis.  Jika ingin lincah, suatu organisasi harus belajar untuk menyesuaikan struktur dan pola kerjanya agar sesuai dengan tuntutan zaman.  Itulah salah satu ini ajaran Peter Senge (1995) dengan apa yang disebu learning organization.  Saya menduga PTN menerapkan prinsip itu, ketika memodifikasi struktur organisasinya.  Semoga Pemerintah, dalam hal ini Kemenpan dan RB serta Kemdikbud dapat memahami prinsip itu pula.

Sejauh pengetahuan saya, banyak pejabat di Kemdikbud dan Kemenpan dan RB adalah para dosen dan bahkan dulu pernah menjadi pejabat di PTN.  Saya yakin beliau dulu juga melakukan modifikasi organisasinya, ketika menjadi pejabat di PTN.  Apakah dengan begitu, beliau akan mudah memahami keinginan PTN memodifikasi struktur organisasinya?  Itulah pertanyaan yang mengganjal benak saya.

Saya jadi teringat metaphora “menantu baru dan mertua baru”.  Semua mertua tentu pernah jadi menantu baru, sewaktu dulu baru menikah.  Sewaku jadi menantu baru, tentu dia ingin memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangganya. Bukankah rumah tangga baru itu sudah “lepas” dari rumah tanggan orang tua maupun mertua, sehingga semestinya memiliki kebebasan untuk mengaturnya. 

Sebaliknya, sang mertua baru punya pandangan yang berbeda.  Dia merasa memiliki pengalaman panjang dalam mengelola rumah tangga dan ingin menularkan itu kepada rumah tangga baru anaknya.  Tentu maksudnya baik.  Disitulah mulai muculnya Tarik menarik antara menantu dan mertua.  Maksudnya sama-sama baik, tetapi sudut pandangnya yang berbeda.

Apakah pejabat di Kemenpan dan RB serta di Kemdikbud memiliki pola piker seperti metaphora mertua baru?  Apakah pejabat di PTN memiliki pola piker seperti menantu baru?  Mudah-mudahan tidak.  Mudah-mudahan, kita semua mengingat nasehat Michael Porter (1998), bahwa keasalahan fatal yang sering terjadi dalam manajemen adalah menganggap pola yang sukses di suatu organisasi akan sukses jika diterapkan di organisasi lain.  Mengapa?  Karena setiap organisasi memiliki situasi yang berbeda, sehingga memerlukan pola pengelolaan yang tidak tepat sama. 

Apakah setiap PTN memiliki kondisi yang benar-benar berbeda?  Rasanya juga tidak.  Tentu ada hal-hal dasar yang sama.  Namun tentu juga ada hal-hal yang berbeda.  Jadi memang diperlukan standar dasar organisasi PTN.  Namun setiap PTN harus diberi ruang gerak untuk menyesuaikan OTKnya seseuai dengan situasi dan kondisi setempat.  PTN sebaiknya diberi ruang gerak cukup, sesuai dengan prinisp otonomi.  Batasan yang harus dipegang adalah akuntabilitas dan transparansi.  Artinya, modifikasi harus dilakukan secara transparan dan PTN harus dapat mempertanggungjawabkan modifikasi tersebut.

Yang harus dihindari adalah pengekangan berlebihan sehingga PTN menjadi tidak lincah.  Sebaliknya juga jangan sampai menyusun struktur yang berlebihan, sehingga pengelolaan menjadi tidak efisien.  Sesuai dengan prinsip dalam pendidikan, berilah ruang gerak siswa/mahasiswa semaksimal mungkin agar muncul semangat belajar dan kreativitasnya.  Namun berilah rambu-rambu pokok agar mereka tidak salah jalan.  Juga sesuai prinsip manajemen, berilah pimpinan unit kerja menyesuaikan pola pengelolaan unitnya, walaupun tetap dalam koridor umum.  Semoga.

Tidak ada komentar: