Kamis, 03 Juli 2014

APA SEKOLAH MASIH DIPERLUKAN?



Tahun 2008an pertanyaan tersebut beberapakali saya terima.  Pertanyaan seperti itu mucul ketika di mereka membaca buku lama saya (pertama terbit tahun 2007) yang berjudul Menggagas Pendidikan Bermakna.  Memang Bab I buku itu berjudul Untuk Apa Anak Harus Sekolah.  Isinya menggambarkan bahwa pendidikan yang berjalan saat ini seringkali membekali anak-anak dengan sesuatu yang tidak cocok dengan kebutuhan nyata saat mereka sudah lulus dan terjun bekerja dan bermasyarakat.  Akibatnya banyak anak yang ketika sekolah mendapat prestasi cemerlang dan menjadi bintang kelas, namun setelah lulus dan bekerja serta bermasyatakat prestasinya biasa-biasa saja.  Bahkan seringkali kalah disbanding temannya yang dulu ketika sekolah prestasinya biasa-biasa saja.  Prof. Dr. Satryo S Brodjonegoro, Dirjen Dikti waktu itu, ketika membaca buku tersebut juga setengah protes.  Kok isinya seperti menyuruh orang tidak sekolah.

Saya tidak tahu mengapa pertanyaan serupa beberapa kali mucul lagi.  Apakah ada yang baru membaca buku tersebut atau ada masalah lain.  Atau mungkin mereka mengikuti seminar saya dan saya kebetulan menyinggung masalah ketidaksinkronan isi pendidikan di sekolah dengan kebutuhan nyata di lapangan.  Memang beberapa kali saya menyebut itu, bahkan juga mengutip statement Tony Wagner (2008) dalam bukunya The Global Achievement Gap, yang isinya kerisauan dia terhadap isi pendidikan di Amerika yang dianggap usang dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman.

Untuk memahami masalah tersebut, ada baiknya kita ketahui sejarah persekolahan.  Pada awal peradaban manusia, anak belajar dan dididik oleh orangtuanya sendiri.  Anak belajar berburu, belajar bercocok tanam, memelihara ternak, berperang dan sebagainya.  Tentu pendidikannya berbentuk informal dan berlangsung sehari-hari di rumah/keluarga.  Siapa yang menjadi guru atau yang mengajari?  Ya orang tua  atau orang yang lebih tua atau yang lebih pandai di keluarga atau komunitas itu.  Jadi anak tentang kehidupan sehari-hari kepada orang di sekitarnya dan bahkan dari alam atau kejadian yang dialaminya sehari-hari.  Misalnya ketika anak kena api dan merasa panas, anak belajar dari kejadian tersebut.

Ketika kebudayaan mulai berkembang dan mulai dikenal masalah-masalah yang terkait dengan norma dan tata nilai, mulailah ada orang ya dituakan dalam suatu komunitas.  Orang itu difahami komunitasnya memiliki kelebihan atau kearifan atau kesaktian, sehingga menjadi tempat orang bertanya dan meminta nasehat.  Pada perkembangannya, orang semacam itu menjadi “guru” bagi komunitasnya.  Karena mulai banyak orang yang belajar kepada orang tersebut dan banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya belajar ke “guru” tersebut, tempat tinggal atau tempat guru tersebut “mengajar” dapat disebut perguruan.

Perguruan itulah embrio dari padepokan atau pesantren atau sejenisnya, yang makna dasarnya adalah tempat para murid/cantrik/santri menimba ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan yang dipelajari berkisar pada hal-hal yang terkait dengan filosofi kehidupan, hal-hal yang terkait dengan spiritual.  Dalam perkembangannya juga mencakup ilmu pengetahuan (umum) sesuai dengan perkembangan.  Misalnya ilmu logika, ilmu perbintangan, ilmu pertanian dan sebagainya.  Kita dapat menelusuri perkembangan pola itu pada beberapa pesantren “tradisional” dan perguruan-perguruan aliran kepercayaan yang sampai sekarang masih eksis.

Apa yang dipelajari di padepokan atau pesantren tersebut terus berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan.  Dan tentu saja pola pembelajaran maupun materi ajar semakin lama semakin terstruktur.  Dengan kata lain pola pendidikannya semakin sistematik.  Itulah yang menjadi embrio sekolah seperti yang sekarang kita kenal.  Oleh karena itu dapat kita mengerti kalau sekolah-sekolah tua kental dengan muatan agama atau keyakinan atau filsafat.

Perkembangan kehidupan manusia kemudian menimbulkan mobilitas dan terjadi interkasi antar komunitas yang tinggal di lokasi yang berbeda.  Bersamaan dengan itu komunikasi dan interkasi antar perguruan dan padepokan juga terjadi.  Akibatnya mulai tumbuh kebutuhan untuk penyamaan unsur-unsur pokok dalam persekolahan, dengan maksud agar jika anak pindah dari sati daerah ke daerah lain, dapat juga pindah sekolahnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bawah sekolah pada awalnya merupakan pendidikan berbentuk informal, tidak standardized dan isi pokoknya adalah hal-hal yang terkait dengan kecakapan hidup (life skills).  Ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat, kemudian bobot ilmu pengetahua (sebut teori) mulai mendominasi isi pendidikan di sekolah.  Apalagi ketika perkembangan ilmu pengetahuan bercabang-cabang seperti sekarang ini.

Ketika kritik terhadap sekolah sangat kencang, apa betul sekolah tidak diperlukan lagi? Apakah betul anak-anak dapat belajar sendiri dari sumber-sumber informasi yang melimpah ruah?  Apakah betul anak-anak langsung dapat berlajar kecakapan hidup tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan teoritik, seperti Matametika, Fisika, Sosiologi, Ekonomi dan sebagainya?

Saya yakin kritik terhadap sekolah memang diperlukan.  Tetapi menghapus sekolah sama sekali dan menyuruh anak-anak belajar sendiri langsung dari kehidupan dan dari sumber-sumber yang memang melimpah, rasanya juga tidak tepat.  Apalagi jika orang tua yang diharapkan membimbing anaknya dalam belajar tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan secara memadai.  Oleh karena itu, yang diperlukan bukan menghilangkan sekolah dan menghilangkan peran guru, tetapi merekonstruksi pendidikan di sekolah dan menataulang peran guru.

Orientasi pendidikan di sekolah harus dikembalikan untuk membantu anak-anak belajar memecahkan problema kehidupan.  Namun harus dipastikan memecahkan problema kehidupan tersebut dilakukan dengan berpegang pada norma-norma kehidupan dan secara kreatif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tersedia.  Tugas guru bukan memberikan informasi, karena informasi sudah tersedia dimana-mana.  Tugas guru adalah mendampingi, membimbing dan memotivasi anak-anak dalam belajar memecahkan problema kehidupan. 

Pola tersebut dapat diwujudkan sebagai authentic problem based learning, dengan catatan bekal ilmu pengetahuan untuk memecahkan problema nyata tersebut tetap dipelajari, sesuai dengan yang diperlukan.  Jadi ilmu pengetahuan dipelajari secara fungsional.

Peran guru tetap penting, karena pendidikan harus dirancang untuk anak dengan kemampuan rata-rata.  Anak-anak yang cerdas, mungkin sekali dapat belajar secara mandiri dengan bimbingan minimal dari guru.  Namun anak-anak dengan kemampuan dasar rata-rata tentu memerlukan bantuan dan bimbingan cukup banyak.  Apalagi mereka yang kemampuan dasarnya kurang, tentu sangat memerlukan bantuan guru. Semoga.

1 komentar:

aout mengatakan...

Bodoh.. Ya iya lah sekolah diperlukan.