Rabu, 09 Juli 2014

KOPERASI DAN TAMAN SISWA



Walaupun sudah lama mempelajari hal-hal yang terkait pendidikan dan juga sudah lama bekerja di bidang pendidikan, baru sekitar tahun 2006 saya membaca langsung tulisan Ki Hajar Dewantoro.  Waktu itu saya diberi buku oleh Pak Siswanto Hadi (waktu itu pejabat di Ditjen Dikti Kemdukbud) berjudul “Karya K.H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan” terbitan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Cetakan Ketiga Tahun 2004.  Tampaknya Taman Siswa ingin agar tulisan Ki Hajar Dewantara dibaca banyak orang, sehingga dihimpun dan dibukukan.  Saya beruntung mendapatkannya.

Membaca tulisan Ki Hajar Dewantara menumbuhkan dua kesan yang sangat kuat dan saling bertolak belakang.  Pertama, Ki Hajar sangat pandai dan berpikiran sangat luas.  Artikel atau makalah tersebut ditulis pada tahun 1930an dan bahkan ada yang ditulis tahun 1928.  Namun isinya sungguh luar biasa.  Teori Benyamin S. Boom tentang tiga domain pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor yang disampaikan tahun 1957 (kalau saya tidak salah), sudah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1930.  Pada Konggres Pertama Taman Siswa Ki Hajar menyampaikan pemikiran bahwa pendidikan adalah “daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”.

Tiga ranah yang disebutkan oleh Ki Hajar (1930) sama dengan yang disebut oleh Bloom (1957).  Jadi Ki Hajar 27 tahun lebih dahulu dibanding Bloom.  Di samping itu, Ki Hajar menyebut bahwa ketiga ranah tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan.  Catatan ini yang tidak dimiliki oleh Bloom dan menurut saya pendapat Ki Hajar yang lebih tepat.  Mengapa?  Karena ketiga ranah tersebut sebenarnya saling berkaitan, saling tumpang tindih.  Leonel Messi tentu tidak hanya terampil kakinya tetapi juga cerdas dalam memgambil keputusan ketika bermain bola.

Hal lain yang menurut saya sangat hebat, adalah penekanan pendidikan karakter.  Jika kita baru tahun 2009 membuat program pengarusutamaan pendidikan karakter dan Thomas Lickona baru pada tahun 1991 mengangkat pentingnya pendidikan karakter, Ki Hajar Dewantara sudah sejak tahun 1930an terus mendesakkan pentingkan pendidikan karakter sebagai salah satu bagian penting pendidikan.

Yang lebih hebat lagi, bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan bukanlah sekedar memperlajari mata pelajaran, tetapi menyiapkan anak-anak agar sukses dalam hidup dak kehidupan selaras dengan zamannya.  Jika Per Dalin dan Val D. Rust baru berbicara itu pada tahun 1996 melalui bukunya “Towards Schooling for the Twenty-First Century”, Ki Hajar sudah menyampaikan itu pada tahun 1930.

Kesan kedua, adalah sekolah-sekolah Taman Siswa yang tidak berkembang dan seakan tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia. Membaca buku-buku Ki Hajar dan meyakini bahwa pemikiran beliau tentang pendidikan sangat bagus, tidak demikian halnya perkembangan sekolah-sekolah Taman Siswa.  Ketika masih sekolah di SMPN-1 Ponorogo saya memiliki teman yang bersekolah di SMP Taman Dewasa (waktu itu kita kenal dengan SMP TD).  Gedung sekolahnya sederhana tetapi asri dengan halaman ditanami pohon mangga yang rindang.  Jujur saya hanya tahu kondisi fisik SMP TD yang terletak di jalan raya yang setiap hari saya lewati, tetapi tidak tahu bagaimana proses pembelajarannya.  Seumur anak SMP tentu belum faham tentang itu dan kebetulan saya tidak bersekolah di SMP TD.  Namun waktu itu SMP TD termasuk yang favorit disamping SMP Negeri yang hanya satu buah.

Setahu saya sekarang SMP TD di Ponorogo sudah tidak ada.  Di Surabaya, seingat saya juga pernah ada Sekolah Taman Siswa di Jl. Gentengkali dan kalau tidak salah juga ada di sekitar Pacarkeling.  Namun perkembangan sekolah-sekolah Taman Siswa di Surabaya tampaknya kurang menggembirakan.  Saya juga pernah diundang dalam suatu diskusi pendidikan bersama Prof HAR Tilaar dan Mas Darmaningtyas, di sebuah sekolah Taman Siswa di Jakarta Utara.  Kesan saya kondisi sekolah tersebut juga tidak terlalu menggembirakan.

 Saya tidak memiliki data berapa jumlah sekolah Taman Siswa di Indonesia dan bagaimana kondisi sekolah-sekolah tersebut.  Namun sejauh yang saya tahu, sekolah Taman Siswa tidak masuk dalam perbincangan sekolah favorit dan bahkan tidak menjadi tujuan orang tua yang sedang memilihkan sekolah untuk anaknya.  Jadi seakan ada paradox, ada hal yang bertolak belakang.  Di satu sisi, konsep pendidikan Taman Siswa diakui merupakan konsep yang sangat bagus, bersumber dari pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.  Namun di sisi lain, sekolah-sekolah Taman Siswa justru tidak berkembang dan seakan tenggelam dalam persaingan dengan lembaga pendidikan yang sangat beraneka ragam di Indonesia.  Mengapa begitu?  Itulah pertanyaan yang sampai saat ini saya belum mendapat penjelasan yang komprehensif.

Memikirkan fenomena Taman Siswa, saya jadi teringat diskusi kecil saya dengan beberapa teman tentang koperasi.  Sebagai sebuah konsep organisasi dan lembaga ekonomi, koperasi yang konon dipelopori oleh Bung Hatta diyakini banyak orang sangat bagus.  Mungkin karena Bung Hatta ikut mengarsiteki UUD 1945 atau para penyusun UUD 1945 yakin akan kebaikan konsep koperasi, konon pasal-pasal tentang ekonomi dalam UUD 1945 sebenarnya dijiwai oleh konsep koperasi.

Namun kita juga menyaksikan perkembangan koperasi kurang menggembirakan.  Saya belum pernah mendengar koperasi yang berkembang pesat dan mampu berkompetisi dengan lembaga ekonomi lain, seperti perusahaan dan bentuk lainnya.  Di negara maju juga ada lembaga semacam koperasi (biasanya disebut cooperative), tetapi juga sulit untuk bersaing dengan lembaga ekonomi lainnya.

Mengapa?  Konsep ekonomi dan lembaga ekonomi yang sangat bagus, tetapi tidak mampu bersaing dengan lembaga lainnya.  Jadi sangat mirip dengan sekolah-sekolah Taman Siswa yang memiliki konsep pendidikan sangat bagus, tetapi kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lain.  Dua fenomena yang mirip.  Tentu bukan karena konsepnya yang keliru.

Mungkinkah itu karena factor manajemen? Is that a matter of management?  Apakah pola pengolaan sekolah-sekolah Taman Siswa kalah canggih dengan sekolah swasta lain, sehingga kalah dalam persaingan?  Mungkinkah pengelolaan koperasi kalah canggih dengan persuahaan lain, sehingga kalah bersaing di era yang sangat kompetetif sekarang ini?

Saya merasa tidak memiliki kompetensi untuk menjawab hal tersebut.  Namun ijinkah saya menyampaikan hasil pengamatan sepintas.  Sekarang sekolah-sekolah swasta dikelola dengan manajemen modern.  Bahkan banyak sekolah-sekolah “maju” yang manajemennya di back up oleh orang-orang yang pengalaman di dunia bisnis.  Saya sendiri merasa kagum dengan gaya manajemen sekolah seperti itu, sekaligus bertanya-tanya “kok sekolah dikelola seperti bisnis”.  Seingat saya pada tahun 1980an Johaner Untoro, saat itu Rektor Universitas Pelita Harapan, menyebut pendidikan sebagai entitas noble industry.  Maksudnya industry tetapi dengan tujuan mulia.  Dikelola seperti layaknya industry tetapi tujuannya tetap seperti pendidikan pada layaknya.

Jika dugaan itu benar, lembaga pendidikan seperti Taman Siswa  dan juga koperasi harus mulai memikirkan untuk menerapkan manajemen modern.  Harus dipikirkan bagaimana mengelola sekolah dan koperasi dengan mengadop prinsip-prinsip manajemen modern, namun tetap memegang tegus tujuan mulia pendidikan dan tujuan mulia koperasi.

Saya jadi teringat nasehat seorang teman ustadz yang mengatakan niat yang baik tetapi tidak dilaksanakan dengan baik seringkali gagal.  Jadi niatnya harus baik dan kemudian dilaksanakan dengan cara yang tepat pula.  Semoga.

Tidak ada komentar: