Kamis, 20 November 2014

BELAJAR DARI ELABO TRAINING SYSTEME: KECIL TETAPI FOKUS



Kedatangan kami, tim FT Unesa, ke Jerman atas undangan Elabo Trainings Systeme.   Rombongan  dipimpin oleh Prof Eko Hariadi, Pembantu Dekan 1, dan diikuti oleh para Ketua Jurusan dan beberapa staf ini Fakultas.  Kami tiba di Munich sekitar pukul 12.30 waktu setempat dan dijemput oleh Direktur Marketing Elabo,Dipl Ing. Swen Urban.  Menurut jadwal, kami langsung ke kantor Elabo dan besuknya ke Siemens.

Elabo Training Systeme (ETS) adalah perusahaan yang mengkhususkan diri membuat perlengkapan praktikum untuk pendidikan vokasi dan pendidikan teknologi untuk bidang-bidang yang terkait dengan elektro dan mekatronika. Perusahaan ini berdiri tahu 1997 dan sampai tahun 2014 masih merupakan perusahaan keluarga.  Jumlah karyawan hanya 50 orang. Kantor yang kami kunjungi juga relatif kecil.  Gedungnya terletak di pinggiran kota kecil bernama Kinding.  Bangunannya dua lantai yang kira-kira berukuran 10 x 20 m. 

Memang ada bangunan lain yang saya duga workshop, karena di kantor tersebut tidak ada peralatan untuk pengerjaan peralatan yang dipajang.   Saya yakin ada workshop untuk membuat berbagai perlengkapan praktimum bidang elektro dan mekatronika.  Saya dapat penjelasan beberapa komponen dibuat dengan mesin CNC yang di gedung tersebut tidak saya lihat.  Namun dengan jumlah karyawan yang hanya 50 orang untuk perusahaan yang mampu mengekspor produknya ke berbagai negara, tentu terhitung sangat kecil.

Dari presentasi yang saya ikuti, ETS sudah berhasil menjual jasa dan produknya ke ATMI Cikarang, yaitu pengembangan ATMI Solo yang mengkhususkan pada bidang mekatronika.  Kita sudah tahu kalau ATMI (Akademi Teknik Mesin Industri) Solo merupakan pelopor pendidikan teknologi setingkat D3 yang sangat handal di Indonesia.  ATMI Solo merupakan akademi yang merangkap sebagai industri.  ATMI Solo menghasilkan berbagai produk yang digunakan di industri.  Jadi produknya sudah diakui kualitasnya.  Jika ETS mampu menjual jasa dan produknya ke ATMI, saya menyimpulkan barang produksi ETS tentu juga sangat baik.

Selain ke Indonesia, ETS ternyata juga dipercaya membuat perlengkapan praktek di Amerian University di Kuwait, Vocational Teacher Training Center di Saudi Arabia dan German Malaysia University di Kualalumpur.  Dari informasi yang saya dapat, UNP (Universitas Negeri Padang) juga sedang memesan perlengkapan ke ETS.  Undiksa tampaknya juga tertarik, sehingga Mr. Swen Urban akan ke Singaraja bulan Desember 2014 ini.

Yang menarik perlengkapan praktikum di ETS dibuat secara customized.  Artinya dibuat atas pesanan dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.  Mereka memerlukan tujuh tahap untuk sampai membangunkan sebuah perlengkapan parktikum sampai terpasang di tempat pelangan.

(1) Tahap analisis kebutuhan peralatan.  Pada tahap ini ETS bersama pelanggan melakukan analisis peralatan apa yang diperlukan, untuk apa fungsinya, seberapa besarnya, berapa jumlahnya dan sebagainya.  Kurikulum merupakan salah satu acuan dasar pada tahap ini.

(2) Tahap perancangan peralatan.  Pada tahap ini pihak ETS  membuat desain (rancangan) dari perlengkapan parktikum atas dasar hasil analisis bersama pelanggan. (3) Selanjutnya tahap konsultasi, yaitu membahas hasil desain bersama pelanggan dan pihak terkait.  Maksudnya agar di satu sisi rancangan sesuai dengan keinginan pelanggan, di sisi lain dapat dibuat dengan komponen dan peralatan yang dimiliki Elabo.

(4) Tahap prokurmen (pembelian), maksudnya kepastikan pembelian setelah desain dan harga disepakati.  Tahap ini merupakan tahap kepastian bahwa rancangan peralatan praktikum jadi dibuat.  (5) Tahap konstruksi, yaitu tahap pembuatan peralatan di ETS.  Setelah selesai disusul dengan tahap (6) yaitu pemasangan di lokasi tempat pelangan. (7) Tahap pelatihan dapat berlangsung di ETS dan atau di tempat peralatan dipasang.  Di ETS sebelum peralatan di pasang, sedangkan di workshop pelanggan saat perlengkapan telah selesai dipasang, sekaligus mengujicobanya.

Mengunjungi ruang pamer dan mendapat penjelasan dari Mr. Swen Urban dan rekannya yang menangani, saya mendapat kesan bahwa ETS ditangani secara profesional dan fokus pada bidang tertentu saja, yaitu yang terkait dengan elektro.  Walaupun tidak faham benar, menurut saya barang-barang diproduksi tidak menggunakan teknologi canggih.  Saya sempat bertanya kepada Dr. Moch Cholik (Kajur Teknk Mesin) dan Pak Bambang Sudjatmiko, MT (Kajur Tek Informatika) apakah kita tidak dapat membuat barang seperti itu.  Mereka berdua menjawab serempak “sebenarnya bisa”. Jawaban serupa saya dapat dari Prof Eko Hariadi dan Prof Ismet Basuki.

Jawaban “sebenarnya bisa, sungguh menarik untuk dianalisis.  Mengapa menggunakan kata “sebenarnya”.  Apakah itu bermakna, seharusnya bisa tetapi kenyataannya tidak bisa atau belum bisa?   Ketika saya kejar dengan pertanyaan, apa kesulitan membuat barang-barang seperti itu, toh teknologinya sudah kita kuasai.  Saya yakin ETS tidak membuat sendiri komponennya.  Sensor, motor listrik serta komponen lain tentu dibeli dari pabrikan pembuatnya yang sebagian besar buatan Siemens.  Jadi peran ETS adalah merancang perlengkapan praktikum dan kemudian merakit dengan menggunakan komponen yang ada di pasaran.  Teman bertiga menjawab, kesulitan utama: (1) mendapatkan komponen yang mutunya bagus.  Di pasar Genteng memang banyak komponen seperti itu tetapi mutunya kurang baik. (2) Tidak mudah membuat rangkaian yang kokoh dan presisi, karena peralatan yang kita miliki tidak lengkap.


Mendapat jawaban ke-empat rekan yang semua pakar di bidangnya saya termenung.  Memang FT Unesa bukan lembaga profesional di bidang itu, sehingga tidak punya pengalaman panjang kemana mendapatkan berbagai komponen dan bahan lain dengan kualias baik.  Juga tidak memiliki peralatan untuk mengerjakan dengan presisi tinggi.  Tetapi yang ingin saya fahami, bukankah secara konsep pembuatan peralatan tersebut tidak sulit. Saya yakin, mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Teknologi mampu merancangnya.

Rancangan tersebut dapat dibuat dengan bekerjasama dengan parusahaan atau lembaga profesional untuk membuatnya.  Misalnya komponen yang dibuat dengan mesin CNS yang dibuat di lab Teknik Mesin atau lembaga lain yang sesuai.  Yang pasti diperlukan tukang atau karyawan yang memang sehari-hari menangangi pembuatan barang seperti itu.  Peran perancang adalah memastikan benda yang dibuat sesuai dengan rencangannya dan setelah dirangkai dapat berfungsi seperti yang diinginkan.

Mengapa saya berpikir seperti itu?  Peralatan praktikum seperti yang dibuat oleh ETS, paling tidak untuk beberapa yang sederhana sangat cocok untuk anak-anak SMK.  Dan saya yakin itu dapat dirancang oleh mahasiswa S2 PTK dan dapat dibuat di Indonesia.  Nah, berapa jumlah SMK di Idonesia?  Sangat banyak.  Dan tentu semuanya memerlukan sarana praktikum seperti yang dibuat di ETS.  Lebih dari itu, pembuatan peralatan seperti itu akan menumbuhkan kreativitas mahasiswa.  Sudah saatnya kita menjadi bangsa produsen dan bukang konsumen.  Walaupun dimulai untuk dipakai bangsa sendiri.  Semoga kita dapat belajar.

Tidak ada komentar: