Sabtu, 29 November 2014

MENGINAP DI HOTEL BINTANG 15 DI AMSTERDAM



Sebenarnya kami ke Amsterdam hanya mampir, karena penerbangan langsung dari Bremen ke Jakarta tidak ada.  Pilihannya tansit di Frankfrut atau Amsterdam.  Tampaknya teman-teman memilih di Amsterdam. Mungkin ingin melihat negara yang dulu menjajah Indonesia selama 350 tahun.  Dari Bremen teman-teman juga memutuskan untuk naik kereta api, mungkin agar dapat melihat pertanian dan peternakan di sepanjang perjalanan.  Bagaimana negara Belanda yang wilayahnya hanya “secuil” tetapi terkenal dengan kejunya yang sangat enak.  Mungkin juga teman-teman ingin melihat situasi Belanda yang wilayahnya kecil tapi dapat bertahan menjajah kita selama 350 tahun.  Pak Pardji berkelakar ingin "mengencingi" negara yang dulu menjajah kita.

Saya sendiri sudah beberapa kali ke Amsterdam, sehingga tidak begitu menarik lagi.  Seingat saya, terakhir kali ke Belanda tahun 2013 bersama Prof Kisyani dan Prof Ketut Budayasa, untuk urusan dengan Utrecht University dan Groningen University.  Waktu itu kami datang di musim dingin dan salju dimana-mana.  Bahkan ketika naik kereta api dari Groningen kembali ke Amsterdam dan berhenti di suatu stasiun (saya lupa namanya), Pak Ketut dan Bu Kis sempat bermain salju ria dengan dipotret segala.

Karena hanya transit dan menginap semalam, tampaknya teman-teman memilih hotel yang terletak di lokasi wisata.  Pilihan jatuh pada hotel The Exchange di Damrak, sekitar 150 meter dari stasiun Amsterdam Central.  Kami berjalan kaki dari stasiun sambil menarik koper masing-masing.  Seperti jalan di kota-kota Eropa pada umumnya, jalan Damrak memiliki pedistrian yang sangat lebar, melebihi lebar jalannya, sehingga kami dapat berjalan dengan nyaman sambil melihat turis yang lalu lalang.

Begitu mulai berjalan dan melihat gedung bernama Beurs van Berlage, saya ingat dahulu Pak Ketut pernah membeli tiket tour di situ.  Berarti The Exchange hotel juga di sekitar itu.  Rasanya tidak mungkin hotel kami cari terletak di sisi gedung Beurs van Berlage, yang kalau toh ada hotel lain tentu tarifnya sangat mahal.  Jadi sangat mungkin letaknya di sisi jalan yang lain, tempat pedistrian kami berjalan.  Kami sudah hampir sampai ujung jalan, tetapi tidak menemukan hotel The Exchange.  Ya terpaksa bertanya dan ternyata sudah lewat.  Jadinya  kami berjalan balik.

Tepat di depan pintu gerbang Beurs van Balage ada sebuah lorong selebar 1 meteran dan di pintunya tertulis The Exchange Hotel dengan simbul bintang sebanyak 15.  Kami ragu-ragu, dimana hotelnya.  Ada diujung lorong?  Apa iya hotel tempat kami akan menginap di dalam lorong sekecil itu?  Setelah diamati tenyata di ujung lorong itu ada tulisan RESEPTIE.  Dan itulah front office hotel yang kami cari.   Tadi kami terlewat, karena di benak saya pintu gerbang hotel ya paling tidak sekitar 4 meteran dan dari luar tampak ada lobi dimana ada front office disitu.

Setelah masuk lorong yang sulit untuk bersimpangan sambil membawa koper, berdiri di dekat front office saya baru “ngeh”.  Tampaknya pemilik hotel sangat kreatif.  Sebenarnya dia punya satu petak ruko.  Namun justru ruko bagian depan digunakan untuk restoran dengan nama Fresh Coffe and Breakfast.  Baru sebagian dari ruko itu dibagian belakang digunakan sebagai front office hotel.  Sedangkan pintu masukkan mengambil sebagian ruko itu dan dipaskan ke tangga yang aslinya untuk naik ke lantai 2.  Setelah naik, sayatahu kalau kamar-kamar hotel melebar dan berada di atas toko/rumah makan yang lain.  Sekali lagi, pemilik hotel tersebut cerdas dan kreatif.  Di lantai bawah yang mahal, dia hanya mengambil satu budah ruko tetapi untuk lantai dua dan seterusnya mengambil beberapa ruko. Tentu harganya lebih murah.

Untuk ke kamar kami harus naik lif yang sangat kecil dan hanya cukup untuk 2 orang dengan masing-masing membawa 1 koper.  Saya naik bersama dengan teman, saya lupa siapa dia.  Yang jelas, saya menunju lantai 1 dan beliau ke lantai 2.  Setelah pintu ditutup manual, lift mulai berjalan dan berhenti di lantai satu saya bingung.  Pintu tidak membuka dan sejenak kemudian lift berjalan ke lantai 2.  Pintu juga tidak membuka, saya mencari tombol membuka pintu tidak ada.  Akhirnya lift berjalan turun kembali ke lantai dasar.

Di lantai dasar saya bertanya tombol membuka pintu.  Dan “ajaib” dijawab tidak ada dan kami harus membuka pintu dengan mendorongnya.  Pengalaman pertama yang sangat menarik.  Ketika lift kembali berjalan naik dan berhenti di lantai 1, saya dorong pintunya dan terbuka. “Ya berhasil, menggunakan lift dengan pintu terbuka secara manual”.  Di Belanda yang katanya negara maju, ternyata masih ada lift dengan pintu manual.

Keluar dari lift saya mencari kamar 106 dimana saya akan menginap berdua dengan Prof Ismet Basuki.  Sampai kamar, ternyata Pak Ismet sudah berada dan sedang makan nasi goreng yang dibawakan adiknya Bu Harti (Bu Mislan).  Saya mengamati kamar 106 yang sangat terkesan.  Seluruh dinding ditutupi foam yang dibentuk seperti batuan pegunungan berwarna putih.  Termasuk pintu juga dibuat seperti itu.  Jadi kesannya seperti di dalam gua dengan didingi gua berwarna putih.

Di dalam kamar saya berpikir, apa hotel ini memenuhi syarat?  Bagaimana seandainya ada  kebakaran?  Bukankah setiap gedung bertingkat ada standar keamanan?  Apalagi ini hotel yang jumlah orang yang tinggal banyak dan yang belum familiar dengan situasi setempat?  Apakah ketika minta ijin tidak dipersyaratkan keamanan hotel? 

Dalam rombongan ada dua orang teman dari jurusan Sipil, yaitu Dr. Supardji dan Suprapto, MT.  Namun keduanya juga tidak dapat memberi jawaban yang tuntas.  Keduanya juga mempertanyakan masalah itu.  Masih banyak pertanyaan lain tentang hotel itu, khususnya tentang keamanan yang tidak terjawab sampai kami pulang.

Kalau kondisi kamar saya tidak begitu risau.  Walaupun kecil dan dekorasinya aneh bagi saya tidak ada masalah.  Apalagi dalam brosur hotel tertulis slogan “hotel with romm decorated as a model”.  Mungkin maksudnya, kamar hotel didekorasi seperti model di fashion show yang bajunya aneh-aneh.  Kamar mandi juga standar, katakanlah standar minimal untuk orang barat.  Dalam kamar juga ada telepon dan TV.  Wifi juga bagus aksesnya.

Yang saya pertanyakan adalah standar keamanan.  Dengan lorong yang kecil dan berliku-liku dan lift yang hanya satu buah dengan cukup untuk 2 atau tiga orang.  Dengan tangga yag sempit dan terjal.  Apakah layak untuk keamanan hotel?  Bukankah mestinya ada standar keamanan untuk sebuah hotel?  Sebuah bahan kajian dan pelajaran yang sangat menarik buat teman-teman yang menekuni perhotelan dan bangunan.

Tidak ada komentar: