Minggu, 23 November 2014

NAIK GONDOLA DAN HAMPIR KECOPETAN DI VENEZIA



Ketika diputuskan dalam lawatan ke Jerman akan mampir ke Italia, salah satu yang terbayang di benak saya adalah naik gondola di Venezia.  Memang sudah ada tiruannya, yaitu di Hotel Vevezia Macau China.  Hotel dengan nama Venezia itu sepertinya ingin menghadirkan situasi kota Venezua St Lucia di Italia ke Macau.  Situasi gedung di hotel itu konon dibuat sebagai miniaturnya St Lucia.  Namun tentu tidak seindah aslinya.  Oleh karena itu diputuskan harus ke Venezia St Lucia tempat gondola yang asli.

Karena kami menginap di hotel Bologna di Venezia Mestre, maka kami harus naik kereta api ke Venezia St Lucia dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.  Saya duga pemilihan hotel di Venezia Mestre karena tarifnya lebih murah, karena bukan di tempat wisata utamanya.  Toh naik kereta api hanya 10 menit dan hotelnya sangat dekat dengan stasiun sehingga dapat jalan kaki.

Venezia St Lucia saya duga dulunya berupa pulau-pulau kecil di lepas pantasi Venezia daratan.  Di atas pulau-pulau itu dibangun berbagai gedung dengan menyisakan saluran-saluran dengan lebar sekitar 10 meter. Di kiri kanan saluran berupa gedung-gedung kuno yang umumnya bertingkat 3-6 lantai.  Semua bangunannya mepet ke bibir saluran dan umumnya memiliki pintu dan jendela ke saluran tersebut.  Oleh karena itu saluran seakan menjadi urat nadi perjalanan dalam kompleks bangunan tinggi tersebut.

Apakah ada jalan biasa di atas gedung tersebut?  Ada dan juga banyak.  Oleh karena itu banyak jembatan yang melintasi saluran tempat gondola lewat, sehingga pendayung harus membungkukan badan saat gondola melewati bawah jembatan.  Saat naik gondola, kita juga dapat mengintip apa yang ada di balik jendela gedung-gedung tersebut.  Ternyata ada kafe, ada hotel dan sebagainya.

Antar pulau yang agak besar tentu ada selat atau apa itu namanya.  Yang jelas seperti sungai yang membelah pulau tetapi kedua ujungnya bermuara di laut.  Jadi saya yakin airnya air laut.  Tidak terlalu jernih, sehingga kita tidak dapat meihat ikan dalam air.  Atau memang tidak ada ikan, karena terganggu lalu lalang perahu dan gondola yang begitu banyak.  Atau mungkin sebab lain saya tidak tahu, misalnya pencemaran lingkungan.  Saya tidak tahu kemana limbah rumah tangga dibuang, karena seperti tidak ada daratan yang cukup luas.  Permukaan air juga mepet dengan permukaan daratan.  Kurang jernihnya air dan tidak tampaknya ikan menjadikan nilai Venezia St Lucia tidak 100.

Kami berangkat dari hotel jam 9an, jalan kaki ke stasiun Venezia Mestre dan naik kereta ke Venezua St Lucia dengan santai.  Venezia Mestre merupakan kota di bibir pantai daratan, sehingga kereta api sebenarnya hanya menyeberangkan penungpang ke pulai Venezia St Lucia.  Saat mendekati pantai saya kaget, kok pantainya  tidak bersih dan rapi layaknya daerah wisata.  Kereta berjalan lambat dan sampai di tengah selat ada semacam taman kecil di kiri kanan rel kereta api.  Namun taman tersebut tampak tidak terurus. Menambah pertanyaan, ini kan tempat wisata kelas dunia, mengapa kondisinya kurang terurus?

Turun dari kereta api di stasiun Venezia St Lucia saya menyadari bahwa ini memang benar-benar tempat wisata kelas dunia.  Sangat banyak pengujung dan dari wajahnya tampak berasal dari berbagai penjuru dunia.  Banyak bule Eropa Barat dengan postur tinggi besar rambut blonde, abu-abu atau merah.  Banyak orang Timur Tengah dengan ciri khasnya rambut hitam dengan berewok yang tebal.  Banyak orang Asia Timur, dengan kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus.  Dan walaupun tidak banyak, jug ada wajah-wajah mirip Melayu, mungkin orang Asia Tenggara, dari bicaranya dapat dikenali sebagai orang Malaysia atau Bruani atau Indonesia, orang Filipina atau aorang Thaliland.  Tentu yang terbanyak wajah Italia, dengan kulit kuning (tidak putih seperti orang Eropa Barat), muka lonjong dengan dagu kokoh, hidung mancung, rambut cenderung hitam dan berombak.

Ketika melihat-lihat saya agak kesulitan, karena hampir semua informasi berbahasa Italia dan hanya sedikit yang berbahas Inggris.  Saya juga kaget ketika bertanya kepada seseorang, dia menjawab dengan bahasa Italia dan sepertinya tidak bisa berbahasa Inggris.  Apa memang begitu?  Bukankah ini kota wisata dunia?  Kok masih ada oang disitu yang tidak dapat berbahasa Inggris, walupun mungkin orang tersebut bukan orang terpelajar.

Keluar dari stasiun kami naik kapal menuju San Marino, konon merupakan pusat wisatanya.  Kapal yang kami naiki melaju di sungai atau selat dengan perlahan, sehingga kami dapat mengambil foto gedung di pinggir sungai tersebut.  Saya sengaja mengambil tempat duduk di bagian paling depan, sehingga dapat bebas melihat kiri kanan, walaupuh harus menanggung konskwensi hawa dingin akbat angin laut yang menusuk.

Pak Cholik yang duduk di dekat saya terus berseloroh, sehingga suasana menjadi cair.  “Sopo ngiro anake emak iso nang Itali”. “Mosok sobonen mek nang Karah ambek Ketintang tok”.  (Siapa mengira anaknya ibu bisa ke Itali. Masak hanya perginya hanya ke Karah dan Ketintang}.  Dia juga terus menggoda Pak Pardji, tentang kebiasaan orang Madura.  Sementara Pak Bambang Sujatmiko terus berkomentar menyocokan bacaannya di Google dengan yang sekarang dilihat dan Pak Eko Hariadi menimpali “kita enak punya Mbah Google berjalan”.

Sambil menyusuri sungai muncul diskusi, apakah Surabaya tidak bisa puya wisata air seperti ini?  Sungap Mas tidak kalah lebar dengan sungai yang saat itu kami lewati.  Era Pak Basofi menjadi Gubernur juga berhasil mengubah rumah-rumah tepi sungai yang semula membelakangi sungai menjad menghadap sungai.  Rumah-rumah di tepi kali di sekitar jalan dari jembatan Jagir sampai Bagong sudah menghadap sungai dan tampak rapi.  Sungai di dekat Plasa Surabaya yang ada Monkasel sampai depan Balai Budaya Gentengkali juga sudah bagus.  Mungkin Pemerintah Kota Surabaya perlu memiikirkan peluang wisata menyusuri sungai tersebut.  Jika perlu sampai ke Ujung dekat pelabuhan Tanjung Perak.

Sampai di San Marino dan turun dari kapal, teman-teman perlu ke kamar kecil yang ternyata tidak mudah ditemukan.  Kami harus jalan menyusuri lorong untuk menemukan tiolet dan itupun membayar 1,5 euro per orang.  Jadi untuk kencing harus membayar 18 ribu rupiah.  Teman-teman berkomentar kita harus berlama-lama di toilet dan kalau perlu mandi sekali, karena bayarnya mahal.

Selesai ke kamar kecil saya dengan beberapa teman sengaja menuju tempat mankal gondola di depan toko/kafe Hard Rock.  Bukankah keinginan ke Vevezia untuk naik gondola.  Satu gondola berisi enam orang dengan tarif 80 Euro atau sekitar 960 ribu rupiah.  Lama perjalanan sekitar 30 menit.  Pendayung gondola berwajah asli Italia, sehingg Bu Titik memberi komentar cakep-cakep kerjanya mendayung gondola.  Entah tidak lancar bahasa Inggris atau apa, setiap kami bertanya dia menjawab dengan bahasa Italia, sehingga kami harus meraba-raba apa maksudnya.  Namun selama perjalana, dia lebih banyak berbicara dengan hp dengan earpun yang menempel di telinganya.

Sayang sekali gondola yang kami naiki tidak ada pemain musiknya.  Ternyata kalau ingin ada pemain musik serupa dengan klarinet, harus membayar tambahan dan satu kursi dikosongkan untuk di pemain.  Kami tidak tahu, sehingga terlanjur meluncur tanpa pemain musik.  Saya juga melihat gondola khusus yang diperuntukkan mereka yang lagi bulan madu atau berpacaran, sehingga kursinya hanya dua orang dan dilengkapi dengan peneduh penumpang.  Ketika naik kapal atau berjalan di daratan kami beberapa kali melihat orang yang berduaan naik gondola seperti itu.  Pak Parji memancing Pak Cholik dengan seloroh “kapan calon ibunya diajak naik gondola seperti itu?”.  Pak Cholik sama sekali tidak grogi dan menjawab “gampang, gak ngetekno PLPG”.

Selesai menikmati naik gondola, kami jalan-jalan sekedar melihat-lihat dan membeli souvenir.  Ada yang di toko dan ada pula yang dijual di tepi jalan.  Yang menarik mulai banyak orang Bangladesh yang berjualan souvenir di kaki lima. Ada yang pandai bahasa Melayu karena pernah bekerja di Singapura.  Rata-rata barangnya buatan China, walaupun ada tulisannya Valenzia.  Saya menggoda penjual dari Bangedesh.  Semula dia meyakinkan pasmina yang saya akan beli itu buatan Itali.  Setelah saya tunjukkan ada kabel kecil bertuliskan made in PRC, dia berkelit itu dibuat oleh orang China yang tinggal di Itali.  Setelah saya yakinkan bahwa saya sudah pergi ke berbagai negara dan sudah menjadi rahasia umum bahwa barang buatan China dijual di berbagai negara dengan tulisan negara tersebut, baru dia manggut-manggut.

Juga ada satu dua orang kulit hitam yang berjualan berbagai jenis tas. Tas dagangannya diletakkan begitu saja di pinggir jalan sambil ditawarkan.  Tampaknya penjual souvenis kuliat hitam masih belum secanggih rekannya dari Bangladesh.  Terbukti belum punya rombong dan juga belum pandai menawarkan.  Mungkin masih belajar.  Namun dengan muculnya orang Bangladesh dan Afrika yang berjualan, bukan tidak mustahil suatu saat mereka akan mendominasi.  Mereka tampak lebih gigih dibanding penjual asli dari Italia.

Kami sempat makan siang di rumah makan Italia.  Ingin mengidentikan diri dengan tempat berwisata, saya memesan seafood spageti dan ditutup dengan minum teh hijau.  Setelah keluar ternyata seafoodnya hanya berupa kerang beberapa biji.  Saya berseloroh “kalau ini namanya mie diberi tidak buah kerang”.   Namun bangga juga bisa makan spageti di lokasi wisata terkenal Venezia Santa Lucia.

Selesai makan kami jalan-jalan sedikit. Tidak banyak yang dapat dinikmati, karena yang paling utama adalah naik gondola dan melihat gedung-gedung yang meper bibir saluran dan sungai.  Pemandangan seperti itu tidak dapat dilihat ketika kami dijalan-jalan, karena yang tampak ya hanya deretan toko dan restoran.

Selesai itu kami kembali ke stasiun dan informasi bahwa kereta ke Roma start pertama dari stasiun Venezia St Lucia.  Di Venezia Mester memang berhenti tetapi hanya sebentar.  Setelah berunding, kami sepakat akan naik dari stasiun Venezia St Lucia biar tidak tergesa-gesa menaikkan koper yang terus menggemuk karena tambah isi atau bahkan beranak karena ada yang memberi koper baru untuk souvenir yang dibelinya.  Nah untuk itu kami kembali naik kerena ke stasiun Venezia Mester, mengambil barang dan kembali naik kereta ke stasiun Venezia St Lucia untuk menunggu kereta ke Roma.

Kami mendapatkan tiket untuk gerbonng nomer 7.  Kami melihat tanda dimana gerbong noer 7 berhenti, yaitu di paling depan dekan ujung kereta.  Kamipun bergeser mendekati lokasi tersebut.  Namun ketika kereta datang, saya melihat gerbong di lokasi itu bernomor.  Karena ragu-ragu, saya bertanya ke petugas yang membesihkan gerbong dan mendapat jawaban isyarat (mungkin tidak pandai bahasa inggris) bahwa gerbong no 7 tempatnya di ujung sebaliknya.  Ternyata nomor di papan yang tadi kami lihat itu untuk kereka sebelumnya.  Buktinya setelah beberapa lami tulisan di papan penunjuk berubah kalau gerbong nomer 7 di ujung seperti yang ditunjukkan petugas pembersih gerbong.  Untunglah kami bertanya.  Ungkapan “malu bertanya sesat di jalan” ternyata masih berlaku.

Sambil menunggu gerbong selesai dibershkan, kami ngobrol di dekat pintu masuh gerbong nomer 7. Di dekat kami ad beberapa anak muda Italia yang kami kira juga akan sama-sama naik.  Pak Bambang bekomentar cantik-cantik yang mereka.  Duduk kali dipisahkan oleh bangku panjang dan tidak sempat saling menegur.  Yang jelas, seingat saya anak mudan sekitar 4 orang dua laki-laki, dua perempuan.

Begitu pintu gerbong dibuka dan dipersilahkan masuk kami segera naik.  Seingat saya Pak Pardji naik duluan untuk membantu ibu-ibu menaikkan koper.  Ketika saya naik dengan membawa koper, tempat menyimpan koper sudah penuh.  Karena koper saya agak besar, maa koper teman yang lebih kecil saya naikkan di rak atas dan tempatnya saya masuki koper saya.  Tampaknya koper saya terlalu besar, sehingga harus didorong dengan keras agar dapat masuk.  Bu Juhrah yang ada di samping saya membantu mendorong.  Saat itu saya mendengat berliau berteriak kecil.  Saya tidak ingat apa yang diucapkan.  Yang pasti saya mendengar dan setelah melihat (karena di samping saya), beliau memukul tangan cewek Italia di sebelahnya.

Saya tidak begitu “ngeh”dan bahkan sempat berpikir kok Bu Juhrah kok berbuat kasar pada orang yang sama-sama akan naik kereta.  Namun ketika sadar, saya baru ngeh kalau Bu Juhrah memukul tangan cewek tadi karena dia akan menyopet dompet beliau.  Ketika beliau membungkuk membantu saya mendorong koper, tas Bu Juhrah bergeser ke samping tubuh.  Saat itulah, cewek tadi membuat rensletingnya dan mencoba mengambil dompet panjang di dalamnya.  Begitu dipukul tangannya, cewek tadi diam dan tidak berapa lama terus menghilang.  Entah turun atau entah kemana.  Alhamdulillah, Allah melindungi kami.  Di dalam tas tersebut tersimpan paspor dan tentu uang.  Dapat dibayangkan kalau paspor hilang, urusan akan menjadi panjang.

Begitu kereta mulai berjalan saya melihat Bu Juhrah sepertinya masih terbayang-bayang peristiwa yang baru saja terjadi.   Peringatan hati-hati di Italia banyak copet ternyata benar.  Apakah di Italia juga masih banyak gangster seperti diceritakan di novel atau film saya tidak tahu.  Apakah istilah mafia Sicilia atau sejenisnya juga masih ada, saya juga tidak tahu.  Namun Pak Cholik sempat memotret spanduk di tepi sungai yang kami lewati ke San Marino bertuliskan “Stop Mafia”.   Jadi masih ada peringatan atau himbauan untuk menghentika aktivitas semacam mafia.  Pelajaran menarik bagi siapaun yang mau belajar.

Tidak ada komentar: