Senin, 05 Januari 2015

PETANI SAAT INI



Sebagai anak petani yang dibesarkan di lingkungan pedesaan, saya menyenangi situasi persawahan.  Oleh karena itu setiap pulang kampung dan punya waktu longgar, saya selalu kesawah dan ngobrol dengan tetangga dan siapa saja yang kebetulan saat itu sedang berada di sawah.  Tentu ngobrol yang ringan sambil bernostaligia bekerja di sawah.  Apalagi jika yang ketemu adalah teman lama atau tetangga yang seumur dan dulu pernah bermain atau mengerjakan sawah bersama-sama, pastilah obrolan menjadi sangat gayeng.

Kali ini, pada liburan akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, saya pulang kampung dengan waktu yang longgar.  Tidak ada pekerjaan yang dikejar dead line dan tidak ada acara khusus di kampung.  Paling-paling janjian bertemu dengan beberapa teman untuk mendiskusikan “aset tanah dan gedung” yang dulu diamanahkan kepada kami (Yayasan Pendidikan Somoroto) dan selama ini kurang terurus.  Jadi saya pulang bersama dengan isteri dengan santai, selama dua hari penuh.

Sejak awal merencanakan pulang, yang kami berdua bayangkan adalah makan pecel, “jangan blendrang” (sayur kemarin yang sengaja disimpan untuk dimakan hari berikutnya), lihat sawah yang kabarnya baru saja selesai “tandur” (menanam padi) dan ziarah ke makan bapak-ibu.  Mudah-mudahan pas ada acara “maulidan”, sehingga dapat ikut makan nasi kenduri dengan ingkung ayam yang sangat khas rasanya.

Ketika beberapa kali ke sawah, bertemu dengan tetangga dan saudara serta ngobrol di pematang, saya menangkap perubahan pertanian yang kurang menggembirakan dan perlu mendapat perhatian.  Sayangnya saya tidak faham dan tidak tahu solusinya,sehigga sampai tulisan ini dibuat seakan menjadi beban moral bagi anak pertani seperti saya ini.  Mudah-mudahan ada pembaca yang tahu solusi dan berkenan berbagi dengan yang lain.

Perubahan budaya tampaknya terjadi sangat intens di pedesaan.  Mungkin karena gencarnya siaran TV dan atau banyaknya pemuda desa yang bekerja di kota atau bahkan di negara lain sebagai TKI/TKW.  Rumah-rumah di kampung saya sebagian sudah direhab dan diubah bentuknya, sehingga menyerupai bentuk rumah di kota.  Mungkin tinggal beberapa rumah (termasuk rumah keluarga kami) yang bentuknya masih tetap ala rumah pedesaan.  Biasanya disebut rumah “sinom” atau “dorogepak”.   Semua rumah sekarang “berlistrik” dan punya TV.

Sepeda motor sekarang banyak bersliweran, apalagi jalan di kampung semua telah beraspal.  Pola berpakaian “era saya di desa” sudah tidak ada lagi, kecuali orang-orang tua.  Pemuda desa sekarang banyak memakai celana jean dan berkaos oblong, seperti umumnya pemuda di perkotaan.  Pokoknya baik laki-laki maupun perempuan, cara berpakaian anak-anak kampung saya tidak beda dengan anak-anak muda di Surabaya.

Dari sisi pandang kemajuan dan mungkin kesejahteraan, kita patut bersyukur.  Namun ada sisi lain yang cukup mengkhawatirkan, khususnya dari keberlanjutan pertanian. Ini hanya dugaan saya yang tidak ahli dalam bidang itu.  Namun saya ingin berbagi kerisauan ini, siapa tahu dugaan saya benar.  Harapannya mereka yang ahli dapat segera menemukan jalan keluarnya.

Bentuk rumah dan cara berpakaian tampaknya merupakan indikator telah terjadi perubahan pola pikir dari masyarakat pedesaan, khususnya kaum muda.  Anak-anak muda di kampung saya hampir tidak ada yang tertarik bekerja di sawah.  Termasuk anak-anak petani yang punya sawah.  Oleh karena itu petani di kampung saya sekarang kesulitan mencari tenaga kerja untuk mengerjakan sawah.

Sekarang memang tidak ada lagi orang membajak, karena dikerjakan dengan traktor.  Namun untuk mencari tenaga untuk tandur (menanam padi) dan matun (menyiangi padi) sudah sangat sulit.  Mereka yang masih mau adalah yang usianya diatas 40 tahun, yaitu mereka yang saat muda belum “tersentuh” budaya saat ini.  Mereka yang berusian di bawah 30 tahun sudah hampir tidak ada yang mau.  Apalagi yang sudah mengenyam pendidikan setingkat SMA.  Mungkin mereka berkata “hari gini masih bekerja di sawah”.

Saya tidak dapat membayangkan lima sepuluh tahun lagi, ketika petani yang sekarang berusia di atas 40 tahun sudah tidak lagi kuat bekerja di sawah.   Bagi mereka yang sawahnya luas, mungkin dapat “mencari pekerja dari daerah lain”, tetapi bagi petani yang sawahnya sedikit dan selama ini dikerjakan sendiri, saya tidak dapat membayangkan.  Anak-anak mereka praktis tidak ada yang membantu orangtuanya ke sawah.  Mereka lebih memilih pekerjaan lain, seperti menjadi sopir atau kenek angkutan umum atau bekerja di kota atau bahkan menjadi TKI/TKW.

Mengapa demikian?  Ternyata mereka sangat “rasional”.  Di samping berkerja di sawah dianggap gengsinya rendah, ternyata menjadi petani apalagi menjadi buruh tani, secara ekonomi tidak menjanjikan.  Jauh kalah dibanding bekerja di pabrik apalagi bandingkan dengan menjadi TKI/TKW.  Ongkos bekerja menjad buruh tani lebih rendah dan pekerjaannya tidak terjadi sepanjang tahun.  Mereka hanya mendapat pekerjaan waktu tanam padi, matun (menyiangi padi), panen.  Di sela-sela musim itu mereka menganggur.

Bagi petani pemilik sawah juga tidak kalah sulit, walaupun sedikit lebih beruntung.  Mereka kesulitan mencari tenaga kerja untuk menggarap sawah.  Ongkos kerja juga semakin mahal, sementara harga hasil pertanian praktis tidak ada kenaikan signifikan.  Harga itu jauh tertinggal dibanding produk industri yang mereka harus beli untuk kehidupan sehari-hari.  Bayangkan, ketika anak sekolah yang perlu membeli sepatu seharga 250 ribu rupiah, itu sama dengan 30 kg beras.  Kalau anaknya sekolah SMA dan perlu membeli laptop sederhana dengan harga 2,5 juta, itu artinya harus menjual beras 3 kwintal (300 kg).  Sungguh berat bagi petani.  Di satu sisi harga produk pertanian dijaga agar terbeli oleh masyarakat luas, di lain pihak harga barang non pertanian naik terus.

Di samping itu, lahan yang dimiliki petani cenderung menurun.  Mengapa?  Di pedesaan lahan sawah adalah warisan utama, sehingga dibagi untuk anak-anak.  Jika anaknya 2 orang, berarti sang anak hanya mendapatkan sawah separuh sawah orangtuanya.  Dengan demikian secara beruntun, sawah mereka terus menurun luasnya.

Saya mencoba membandingkan situasi itu dengan petani di negara lain.  Di Jepang (yang saya tahu) bentuk sawahnya mirip dengan di Indonesia (kampung saya), yaitu berupa petak-petak kecil.  Petani di Jepang juga banyak yang menanam padi.  Namun dari informasi yang saya dapat, bertani merupakan pekerjaan sambilan di Jepang.  Mereka memiliki pekerjaan pokok di pabrik atau perusahaan tertentu.  Nah, diwaktu senggang mereka mengerjakan sawah. Oleh karena itu, walaupun luas sawahnya tidak luas, mereka tetap dapat hidup dengan baik.  Apalagi bibit, pupuk dan kepeluan pertanian mendapat subsidi dari pemerintah.

Di Amerika Serikat, konon banyak petani tulen yaitu petani sebagai pekerjaan utama.  Namun mereka memiliki lahan sangat luas, sampai berhekar-hektar.  Di samping itu mereka bertani secara modern dengan subsisi dari pemerintah.  Oleh karena itu petani merupakan pekerjaan yang cukup bergengsi di sana.

Dengan perbandingan itu dan melihat petani di kampung saya, saya jadi sedih.  Walaupun kita negara agraris, sepertinya perhatian kepada petani kurang maksimal.   Harga produknya dikendalikan agar terjangkau oleh daya beli masyarakat.  Bahkan jika kurang, impor dilakukan secara besar-besaran.  Namun subsidi tampaknya tidak dinikmati petani.  Pada hal jumlah petani (termasuk buruh tani) jumlahnya sangat besar.  Apakah kita terus membiarkan mereka menderita?  Tentu tidak.  Namun bagaimana caranya?  Nah, jujur saya tidak tahu.  Semoga para ahli dapat membantu mencari solusinya.

Tidak ada komentar: