Senin, 20 April 2015

MEMBACA ITU BUKAN SEKEDAR MEMBUNYIKAN HURUF



Beberapa hari lalu saya diwawancari via telepon oleh sebuah stasiun radio tetang program Literasi yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Surabaya.  Pada prinsipnya saya mendukung program tersebut, karena memang penting.  Membaca merupakan salah satu pintu pengetahuan, dengan membaca kita akan mendapatkan pengetahuan dan juga menyerap pengalaman orang lain.
Namun saya memberikan beberapa catatan tentang program tersebut.  Pertama, membaca itu bukan sekedar membunyikan huruf, tetapi memahami apa yang terkandung dalam bacaan tersebut. Saya punya pengalaman terkait dengan prinsip tersebut.  Sekitar awal tahun 2000-an, ketika mengembangkan pembelajaran kontekstual (contextual larning), saya mengunjungi sebuah SMP Negeri di Bali.  Iseng-iseng saya membawa segebok koran lokal.  Koran saya bagikan kepada siswa SMP Kelas 1 dan meminta membaca berita tentang daerah Bali.  Setelah sekitar 20 menit saya meminta mereka menuliskan ringkasan berita tersebut. Satu persatu mereka saya minta membaca ringkasan tersebut dan tidak sampai separuh yang dapat membuatnya.
Tidak percaya dengan apa yang saya dengar, saya mencoba mendekati beberapa siswa dan saya tanya apa isi berita tersebut.  Ternyata banyak dari mereka yang tidak faham.  Pada hal itu berita daerahnya dan berita tentang keseharian masyarakat Bali.   Saya minta mereka membaca berita itu dan ternyata bisa.  Jadi mereka dapat membaca dalam arti membunyikan huruf tetapi tidak memahami isi berita tersebut.
Menurut saya, dapat membaca tetapi tidak memahami isi bacaan itu tidak banyak manfaatnya.   Membaca itu bentuk belajar, sehingga cirinya ada perubahan pengetahuan dan atau perubahan perilaku.  Kalau dapat membaca tetapi tidak ada perubahan pengetahuan berarti tidak terjadi proses belajar.  Lebih baik membaca 1 halaman tetapi faham isi bacaan dibanding membaca 2 halaman tetapi tidak mengerti apa yang dibaca.
Oleh karena itu, kita harus mengajarkan membaca dengan memaknai apa yang dibaca.  Menceritakan kembali apa yang dibaca, membuat rangkuman sederhana adalah cara untuk sederhana ke arah itu.  Mungkin pada saatnya anak-anak diajak mendiskusikan hasil bacaan atau bahkan membuat kritik terhadap suatu bacaan.
Kedua, membaca tidak hanya terbatas pada tulisan.  Mencermati suatu gambar atau lukisan juga termasuk membaca.  Menurut saya mencermati fenomena alam, mencermati suatu mesin, mercermati suatu proses kerja termasuk membaca.  Kemampuan “membaca” yang terakhir ini sangat penting dan belum mendapat perhatian dalam pendidikan kita.  Pada hal, banyak yang dapat dipelajari dari “membaca” fenomena alam atau lingkungan sekitar.
Proses inkuiri atau proses berpikir induktif sebenarnya banya memerlukan “membaca” lingkungan.  Jika anak-anak mengamati warna air sungai sehabis hujan, akan mendorong pemahaman adanya proses erosi.  Jika anak-anak mengamati kemacetan lalu lintas akan mendorong mempertanyakan berapa pemborosan bahan bakar akibat kemacetan itu.  Jika anak-anak mengamati sumbangan dari uang kembalian di mini market akan mendorong betapa besar potensi donasi orang belanja.
Di beberapa negara maju yang pernah saya kunjungi, observasi (membaca lingkungan) dilatihan sejak dini.  Di TK anak-anak diajari mengamati tumbuhan dan binatang yang ada di sekolah.  Mereka juga belajar mengamati tinggi badan, baju yang dipakai serta hal-hal lain pada teman-temannya.  Dari observasi itu dilakukan pengelompokan dan seterusnya.
Dalam teori belajar kita mengenal Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) yang menjelaskan observasi adalah tahapan awal yang harus dipelajari anak.  Pengamatan itulah yang pada saatnya memunculkan rasa keingintahuan bahkan kepenasaran.  Bukankah anak kecil selalu mempertanyakan apa yang di lihat.
Ketiga, membaca itu keterampilan, sehingga harus dilatih.  Jika kita terbiasa membaca, apalagi membuat catatan kecil hasil bacaan, kita akan lancar membaca dan cepat memahami isi bacaan.  Sebaliknya jika kita agak lama berhenti membaca dan memulai lagi, biasanya kita agal “gratul-gratul”, tidak selancar dulu.  Juga lebih lambat dalam memahami isi bacaan.  Oleh karena itu membiasakan membaca dapat menjadi salah satu kunci program literasi.
Pernah ada sekolah yang punya program yang disebut DEAR (drop every things and read).  Pada jam tertentu (biasanya 07.00) ada bel yang menandakan semua orang di sekolah itu (kepala sekolah, guru, TU, siswa dan satpam) berhenti mengerjakan apapun dan mulai membaca. Mereka sudah membawa bahan bacaan, sehingga begitu bel berbunyi, mengambil bacaan tersebut dan mulai membaca.  Waktunya hanya 15 menit, tetapi dilakukan setiap hari, sehingga menjadi kebiasaan.




Tidak ada komentar: