Senin, 20 April 2015

PADANGAN AHLI (pada Sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 14 April 2015)



Assalamu ‘alaikum wr.wb.  Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konsitusi, pertama saya menyampaikan terima kasih atas  kesempatan untuk menyampaikan pandangan, terkait dengan gugatan terhadap pasal 13 ayat (1), pasal; 14 ayat (1) huruf a. dan pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sebagai Guru Besar bidang pendidikan yang menekuni bidang keguruan dan juga cukup lama menjadi Guru,  saya ingin menyampaikan pandangan dari sisi keahlian saya. Kepada hadirin, khususnya rekan-rekan pendidik saya ingin mengajak merenungkan makna profesi Guru secara utuh.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim, istilah Guru berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan kearifan serta kewenangan yang kemudian menggunakannya untuk membimbing orang lain.  Itulah sebabnya banyak orang mengatakan Guru bukanlah pekerjaan biasa, karena dengan kemampuan dan kewenangan itu, yang besangkutan rela mendarmabaktikan hidupnya untuk membimbing anak didik. Mungkin itu yang menjadi inspirasi Pak Sartono, penggubah Himne Guru, menyebut Guru adalah patriot pahlawan bangsa – tanpa tanda jasa.  Pahlawan dalam menyiapkan generasi penerus, tanpa tanda jasa karena yang bersangkutan melaksanakan tugas dengan tulus tanpa pamrih.
Bahwa Guru itu komponen sangat penting dalam proses pendidikan tidak terbantahkan.  Apapun kebijakan yang dibuat, ujungnya Gurulah yang melaksanakan di sekolah.  Penelitian Mourshed, Chijioke & Barber (2010) di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa 53% hasil belajar siswa ditentukan oleh Guru.  Sementara penelitian John Hattie (2008) di New Zeland menyebut kontribusi Guru terhadap hasil belajar siswa sebesar 58%.  Di Indonesia, penelitian Pujiastuti, Raharjo dan Widodo (2012) menyebutkan bahkan kompetensi profesional Guru berkontribusi 54,5% terhadap hasil belajar siswa.  Masih ada beberapa penelitan lain, tetapi semuanya memiliki angka kontribusi Guru terhadap hasil belajar siswa di atas 50% (Samani, Cholik dan Buditjahjanto, 2015).  Artinya jika di sekolah tersedia Guru yang kompeten dan bekerja dengan baik, maka lebih separuh masalah pendidikan di sekolah dapat terselesaikan. 
Uraian Abu-Duhou (1999) dapat menjelaskan dengan baik bagaimana pengaruh Guru terhadap hasil belajar siswa. Intensitas proses belajar siswa ditentukan oleh inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh Guru.  Pola pembelajaran yang baik dapat memudahkan siswa dalam memahami materi ajar dan menumbuhkan motivasi belajar siswa, sehingga hasilnya akan optimal.
Kajian Thomas Friedman (2013) terhadap pendidikan di Shanghai menyimpulkan bahwa pendidikan di Sanghai meningkat dengan cepat karena lima faktor, yaitu: (1) komitmen yang sangat tinggi terhadap pendidikan Guru, (2) pengembangan keprofesionalan Guru yang sangat sistematis, (3) pelibatan orangtua dalam proses belajar anak-anaknya, (4) dorongan dari pimpinan sekolah untuk memegang standar hasil belajar yang tinggi, dan (5) budaya menghargai pendidikan dan menghormati Guru.  Jadi peningkatan mutu pendidikan di Sanghai juga sangat digantungkan kepada Guru.
 Oleh karena itu wajar jika beberapa negara, misalnya Finlandia dan Jepang sangat memperhatikan faktor Guru dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.  Ketika kalah dalam Perang Dunia Kedua, yang ditanyakan oleh Kaisar Jepang bukan berapa tentara yang masih dimiliki, tetapi berapa Guru yang tersisa. Tampaknya Kaisar meyakini untuk membangun kembali Jepang, yang segera perlu dilakukan adalah mengejot pendidikan dan untuk itu yang paling diperlukan adalah Guru. 
Finlandia melakukan reformasi pendidikan dengan menempatkan profesi Guru pada posisi yang sangat tinggi setara dengan profesi dokter (Sahlberg, 2011).  Hanya lulusan SLTA yang bagus yang boleh menjadi Guru.  Melalui cara itu Finlandia dapat menggantungkan proses pendidikan kepada Guru, tanpa dirisaukan oleh kurikulum.  Sekarang pendidikan di Finlandia bermutu sangat bagus dan menjadi salah saru rujukan dunia.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (2004) yang mengenalkan pendidikan dengan sistem among juga menempatkan Guru sebagai kunci utama dalam pendidikan.  Guru ditempatkan sebagai pamong (pengasuh) yang mendampingi siswa dalam proses belajar, yang tentu saja harus memahami karateristik anak yang diasuh, kemana arah pengembangannya dan bagaimana metoda pengasuhan yang paling tepat.  Untuk itulah Ki Hajar mengenalkan konsep “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.  Maksudnya dalam mengemong atau mengasuh siswa, Guru harus memberi teladan ketika berada di depan siswanya, menumbuhkan prakarsa ketika berada di tengah-tengah mereka, dan memberi motivasi bahkan mendo’akan ketika berada di belakang siswanya.  Hanya dengan cara itu, siswa dapat belajar secara maksimal.
Peran Guru menjadi semakin sentral, ketika Indonesia mengarusutamakan pendidikan karakter.  Banyak pakar mengatakan bahwa karakter atau akhlak atau budi pekerti harus ditumbuhkembangkan melalui keteladanan.  Karakter tidak dapat diajarkan tetapi dapat ditularkan (Samani dan Haryanto, 2011).  Sekali lagi Gurulah yang menjadi teladan utama bagi siswa di sekolah.
Dalam budaya Jawa istilah Guru sering dimaknai “digugu dan ditiru” atau dipercaya dan diteladani.  Guru akan dipercaya kalau menguasai bidang ilmu yang diajarkan dan mampu mengajarkan dengan baik.  Guru akan diteladani jika perilaku kesehariannya baik dan sesuai dengan norma-norma masyarakat dimana yang berangkutan tinggal.  Sekali lagi Guru dimaknai sebagai sosok istimewa karena memiliki kompetensi hebat dan perilaku mulia.  Dengan kata lain, Guru haruslah seorang profesional.
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim, menurut pandangan saya, Indonesia juga menempatkan Guru sebagai profesi yang bergengsi.  UU No. 14 Tahun 2005 memaknai  Guru sebagai pendidik profesional.  Seorang disebut profesional jika memiliki pendidikan yang baik (well educated), berkineja tinggi (highly performance) dan bergaji bagus (well paid).  Tiga indikator itu sudah terumuskan dengan baik dalam UU 14 Tahun 2005.  Pasal 7 secara rinci menyebutkan ciri-ciri Guru profesional, mulai dari bakat, minat dan panggilan jiwa sampai dengan memiliki organisasi profesi.  Pasal 9 dan 10 menyebutkan kalau Guru tidak cukup berpendidikan S1 tetapi harus menempuh pendidikan profesi yang sekarang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG), sehingga mendapatkan sertifikat pendidik.  Bahkan pasal 23 ayat (1) mengamanatkan pendidikan Guru berikatan dinas dan berasrama untuk menjamin mutu pendidikan calon Guru.
Terkait dengan arahan agar Guru berkinerja tinggi, pasal 20 menjelaskan apa yang perlu dilakukan Guru untuk meningkatkan keprofesionalannya, antara lain merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan, bertindak obyektif dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kodel etik Guru, serta memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.  Pasal 35 ayat  (2) menyebutkan beban kerja Guru sekurang-kurang 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu.
Terkait dengan penghasilan Guru yang baik, pasal 15 dan 16 mengamanatkan agar pemerintah memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji bagi yang memiliki sertifikat pendidik.   Di samping itu Guru juga berhak mendapatkan tunjangan fungsional.  Bahkan pasal 18 ayat (2) dan (3) menyebutkan Guru yang bertugas di daerah khusus berhak mendapatkan tunjangan khusus dan rumah dinas yang disediakan oleh  pemerintah daerah.
Jadi Undang-undang Nomer 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menempatkan Guru sebagai pendidik profesional telah menjabarkan prinsip-prinsip profesional secara komprehensif.
Yang Mulia Majelis Hakim serta hadiran yang saya hormati, Istilah Guru tetap dan Guru tidak tetap tidak dikenal dalam UU No. 14 Tahun 2005.  Pasal 15 ayat (2) dan (3) hanya menyebut Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, dan Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Namun dalam sehari-hari dikenal istilah: (1) Guru PNS yang ditugaskan di sekolah negeri, (2) Guru PNS di tugaskan di sekolah swasta  yang biasa disebut Guru DPK, dan (3)  Guru yang diangkat sebagai Guru Tetap oleh Yayasan  untuk sekolah dibawahnya dan biasa disebut dengan GTY, (4) Guru Honor Daerah atau yang sering disebut guru Honda, (5) Guru Bantu, dan (6) Guru Tidak Tetap.  
Biasanya tiga kelompok pertama disebu guru tetap, sedangkah tiga kelompok terakhir disebut guru tidak tetap.  Guru tetap terikat oleh aturan-aturan baku sebagai guru tetap dari yang mengangkat, sedangkan guru tidak tetap terikat dengan aturan sebagai guru tidak tetap.  Membandingkan keduanya, biasanya hak dan kuwajiban dua kelompok itu juga berbeda.
Yang Mulia Majelis Hakim, demikian pendapat saya.  Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dan terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum ww.

Tidak ada komentar: