Minggu, 19 April 2015

PENGALAMAN IKUT SIDANG MAHKAMAH KONSTITUSI



Tanggal 14 April 2015 pertama kalinya saya mengikuti sidang di Mahkamah Konstitusi, karena diminta menjadi saksi ahli oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.   Waktu itu gugatan terhadap UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pasal 13 ayat (1), pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 ayat (1) dan (2).  Penggugatnya teman-teman guru dari Banyuwangi.
Teman-teman guru itu bekerja sebagai guru tidak tetap (GTT) di sekolah negeri dan intinya ingin agar sebagai GTT “disetarakan” dengan guru tetap, sehingga dapat mengikuti sertifikasi dan mendapatkan gaji serta tunjangan profesi, dan seterusnya.
Yang menjadi saksi ahli dari pihak pemerintah 4 orang, yatitu Prof Udin dari UT, Pak Made dari Kementerian Keuangan, Dr. Dian dari Fakultas Hukum UI dan saya sendiri.   Sudah diatur, agar saya dan Prof Udin menyampaikan tentang guru dalam kaitannya dengan pendidikan, Dr. Dian membahasa aspek hukum dan Pak Made membahas tentang gaji/honor dan sebagainya, pokoknya yang terkait dengan itu.
Uraian yang kami (4 saksi ahli dari pemerintah) sebenarnya tidak ada yang istimewa.  Semua sudah sering kita dengan.  Misalnya saya menyampaikan pentingnya guru dalam proses pendidikan dan bahwa UU No 14/2005 sudah menempatkan guru dalam posisi yang bagus.  Guru difahami sebagai sebuah profesi dan untuk itu harus menempuh pendidikan profesi.  Sebagai imbalannya, guru mendapatkan tunjangan profesi.  Saya juga menyampaikan bahwa istulah GTT tidak dikenal dengan UU No. 14/2005.  Prof Udin menyampaikan filosofi pendidikan dan dukungan guru terhadap konsep itu.  Pak Made menyampaikan landasan hukum/aturan yang digunakan untuk memberi gaji, honor dan tunjangan kepada guru.  Dr. Dian tidak dapat hadir tetapi menyerahkan kesaksian secara tertulis tentang acuan hukum yang terkait dengan keuangan untuk guru.
Yang lebih menarik adalah persiapan dan jalannya sidang.  Untuk menyampaikan kesaksian yang masing-masing hanya dialokasikan waktu 20 menit, termasuk tanya jawab, diperlukan rapat dua kali. Kami juga harus menyampaikan naskah kesaksian, power point yang akan ditayangkan, bahkan ada semacam “latihan”, yang dihadiri banyak kolega dari Kemdikbud.
Karena belum pernah, saya membayangkan betapa sakralnya sidang di Mahkamah Konstitusi. Apalagi ketika “latihan” diinformasikan, kalau sidangnya sangat tertib, orang tidak boleh duduk dengan meyilangkan kaki dan sebagainya.  Bahkan setelah latihan, salah seorang pejabat Kemdikbud memberi catatan kepada saya agar tidak terlalu sabar.  Harus lebih tegas agar tampak meyakinkan dari aspek hukum.  Bahkan saya ditanya apakah daftar pustaka yang saya cantumkan di akhir kesaksian ada kutipannya dalam uraian kesaksian.  Kami juga diingatkan tidak boleh mulai bicara, berdiri atau duduk kembali sebelum diperintahkan hakim.
Pulang dari rapat dan sekaligus latihan, saya berpikir apakah harus seperti itu ya.  Bukankah sebagai saksi ahli saya dan saksi ahli lain, tugasnya menyampaikan pandangan dari keahlian masing-masing.  Bukahkah pada Hakim Konstitusi banyak yang “aslinya” dosen yang sudah terbiasa dengan iklim akademik.  Bukankah saya dan Prof Udin ditugasi menjadi saksi ahli bidang pendidikan/keguruan, yang tentu harus menampakkan sebagai guru yang semestinya “sabar” dalam menyampaikan pandangan.
Ketika masuk ke ruang sidang dan harus melewati pintu metal detector dan apalagi diputarkan rekaman tentang tata tertib sidang, saya mulai membenarkan pesan-pesan dari rekan-rekan Kemdikbud bahwa sidang di MK itu sakral. Apalagi saat para hakim memasuki ruag sidang, hadirin diminta berdiri.
Namun semua itu menjadi hilang, saat saya mengamati Ketua Sidang.  Ternyata ketuanya Pak Arif Hidayat dari Fakultas Hukum Undip.  Kalau tidak salah pernah menjadi dekan.  Apalagi ketika membaca nama Prof Udin menyebut sebagai teman yang sama-sama menekuni nilai-nilai Pancasila.  Jalannya sidang sangat santai.  Memang tertib, tetapi suasana jauh dari banyangan menegangkan.  Ketika meminta saya mulai memberikan kesaksian, beliau dengan nada sedikit bercanda, agar dari mimbar sebelah kiri biar imbang, karena Prof Udin menyampaikan dari mimbar sebelah kanan.  Ketika tanya jawab, kami diijinkan menjawab sambil duduk.
Simpulan saya, sidang di Mahkamah Konstitusi memang tertib.  Mulai dan selesainya relatif tepat waktu.  Suasana tertib, tidak ada hadirin yang hilir mudik. Tidak ada yang ber-HP ria.  Tidak ada yang bicara nyelonong.  Tetapi suasana sidang sangat santai dan bernuasa akademik.  Bravo untuk Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: